SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
catatan Di ruangan itu, antara sadar dan tidak, aku merasa berada dalam suatu ruangan. Tak ada hal yang menarik di sana, kecuali pada salah satu dindingnya, terdapat lemari dengan laci-laci kecil, membentang dari lantai sampai langit-langit. Tiap laci berisi catatan-catatan sesuai dengan judul pada tiap laci. Kudekati salah satu laci yang bertuliskan "Gadis-gadis yang kusukai." Kubuka laci tersebut dan mulai membaca catatan-catatan yang ada di dalamnya. Aku terkejut, kututup laci tersebut, aku mengenal semua nama yang tertulis disana.... Kini aku sadar di mana aku berada, ruangan dengan catatan-catatan yang ada di dalamnya merupakan ruang penyimpanan data kehidupanku ... Semua hal dalam hidupku tercatat secara rinci disana. Heran, penasaran, dan takut berbaur menjadi satu. Kubuka laci demi laci secara acak, kubaca tiap catatan yang ada di dalamnya. Beberapa catatan memberikan sukacita dan kenangan manis, ada pula yang membuat aku malu, bahkan kecewa terhadap diriku sendiri. Berbagai catatan mengenai kehidupanku ada disana, ada catatan yang berjudul "Teman-teman", dan di sebelahnya terdapat juga catatan yang berjudul "Teman-teman yang aku khianati". Catatan-catatan itu memiliki bermacam-macam judul, mulai dari yang biasa-biasa saja sampai yang bagiku cukup "aneh." "Buku-buku yang aku baca", "Kebohongan yang pernah aku ucapkan", sampai kepada "Hal-hal yang telah aku lakukan ketika marah", dan masih banyak lagi... Aku tak henti-hentinya merasa heran dengan apa yang tertulis di dalamnya. Sering kutemui begitu banyak catatan, lebih banyak dari yang kuharapkan. Sering pula aku berharap catatan yang kubaca berisi lebih banyak data. Catatan ini merupakan sejarah kehidupanku secara terperinci. Mungkinkah aku memiliki cukup waktu untuk membuat semua catatan ini? Kartu-kartu ucapan ini begitu banyak, ribuan bahkan jutaan catatan ada di dalamnya. Semuanya benar, dibuat dengan tulisan tanganku, bahkan ada tanda tanganku pada setiap kartu. Tiba-tiba aku tersentak, "Catatan-catatan ini tidak boleh dilihat orang lain, tak seorangpun...!" Aku harus menghancurkan catatan-catatan ini. Aku mencoba mengeluarkan kartu-kartu ini dari lacinya, namun tiap kartu seolah melekat erat pada lacinya ... Aku berusaha sekuat tenaga, kucoba merobek catatan tersebut, namun kertas itu begitu keras, sekuat baja, aku tak dapat merobeknya. Tak berdaya ... aku mengembalikan laci-laci itu ke tempatnya. Kusandarkan kepalaku ke dinding, malu, marah, kecewa, dan putus asa berbaur menjadi satu. Lalu aku melihat sebuah laci, judulnya "Orang-orang Dengan Siapa Aku Berbagi Kasih Yesus". Kubuka laci itu ... sangat ringan ... ringan sekali ... isinya pun hanya sedikit, bahkan dapat kuhitung dengan sebelah tangan. Airmataku mulai bercucuran, aku menangis tersedu-sedu .... Aku terjatuh, berlutut, dan menangis, airmata mengaburkan pandanganku ... Aku malu ... sangat malu ... aku malu melihat perjalanan hidupku. Tidak! Tak seorangpun boleh memasuki ruangan ini, rintihku... Tiba-tiba aku melihat Yesus berdiri di hadapanku, aku tertunduk, tak sanggup berhadapan dengan-Nya dalam keadaan seperti ini. Dia berjalan menghampiri laci-laci tersebut dan membaca catatan di dalamnya. Aku tak sanggup memandang wajah-Nya, aku takut ... Ketika aku beradu pandang dengan-Nya, kulihat kesedihan yang sangat dalam di mata-Nya, jauh lebih dalam dari yang mampu aku rasakan. Ya Tuhan ... Mengapa Engkau harus membaca semua itu??? Setelah selesai membaca semuanya, Dia menghampiri aku, tampak penyesalan di wajah-Nya ... aku tak sanggup memandang-Nya. Kutundukkan kepalaku dan menangis dengan sedih, aku orang yang berdosa. Kemudian Yesus merangkulku, tanpa kata, Dia turut menangis bersamaku... Tiba-tiba Dia berdiri, menghampiri laci-laci itu, dan mengeluarkan semua catatan itu. Satu-persatu dikeluarkan-Nya catatan itu, Dia tersenyum, sebuah senyuman pilu. Lalu Ia mulai membubuhkan tandatangan-Nya di atas namaku. Tidak!!! Yesus terlalu suci untuk membubuhkan nama-Nya di atas dosaku. Kucoba merebut catatan-catatan itu, lalu kulihat nama-Nya, menutupi namaku dan tanda tanganku... Nama Yesus tertera disana, dengan tinta merah, tebal, dan tampak hidup. Tidak ... Itu bukan tinta ... itu darah Yesus ... Kemudian Dia menghampiri aku, meletakkan tangan-Nya di pundakku dan berkata "Sudah Selesai." Yesus membantuku berdiri, menuntunku keluar ruangan itu. Ruangan itu terbuka, tak ada kunci di sana, yang tinggal hanyalah kartu-kartu kosong yang masih harus kuisi. |