HERLIANTO: BURUH DAN KERUSUHAN
"Bersatulah kaum Buruh," inilah slogan Karl Marx yang terkenal, tokoh yang
pernyataan-pernyataannya cukup kontroversial semacam komentarnya bahwa "Agama
adalah candu bagi masyarakat." Mengapa kaum buruh? Dan mengapa agama dianggap
mandul dalam membantu nasib golongan masyarakat ini? Memang soal kaum buruh akan
selalu mencuat setelah manusia mengklaim dirinya sebagai "homo economicus"
soalnya dalam masyarakat ekonomi, terutama dalam era industri kapitalis,
sebagian besar manusia akan menjadi buruh dibanding sebagian kecil manusia yang
menjadi pengusaha.
Dengan adanya keputusan menteri tenaga kerja yang dianggap merugikan kaum buruh
maka segera meledaklah demo-demo kaum buruh di banyak kota di Indonesia, dan
terutama di Bandung. Demo itu telah berimbas terjadinya anarki, soalnya demo
buruh yang panas dan melibatkan puluhan ribu buruh industri itu rentan sekali
disusupi provokator.
Ingat saja, pada bulan April 1994, di kota Medan meledak demo buruh menuntut
kenaikan upah berbuntut kerusuhan masal di seluruh kota yang sempat menjadikan
seorang pengusaha meninggal dunia, dan kerusuhan-kerusuhan sekitar kaum buruh
ini kemudian terjadi di mana-mana. Soal tunjangan hari raya yang terlambat bisa
saja berubah jadi kemarahan massal yang tidak terkendali seperti yang terjadi di
"Kahatex" pabrik tekstil terbesar di Jabar dengan hampir 10.000 buruh dan lebih
dari separuhnya berdemo dan menghancurkan pabrik dan mess dan berimbas dengan
merusak 68 mobil yang kebetulan lewat di depan pabrik.
Kita belum lupa akan demo-demo besar yang berkali-kali melanda pabrik rokok
terbesar Gudang Garam di Kediri dan Maspion di Surabaya, dan banyak lagi
demo-demo buruh terjadi di kawasan-kawasan industri yang kalau sudah bergerak
akan sulit diatasi, setidaknya mereka bisa memacetkan seluruh kota bahkan yang
sebesar Jakarta dimana demo buruh sempat menduduki satu ruas jalan tol kota dan
mengakibatkan kemacetan dibanyak bagian kota selama beberapa jam.
Soal buruh bukan saja soal buruh industri karena seorang penjaga toko di
Purwakarta yang ditengarai mencuri sepotong coklat dan dihukum mengepel lantai
kamar mandi sempat menjadikan puluhan rumah dan kendaraan dirusak massa. Belum
lupa kita akan peristiwa yang lebih sadis mengenai pembunuhan Marsinah yang
gigih menyuarakan tuntutan buruh, yang sampai sekarang kasusnya belum tuntas.
Memang apapun pencetusnya kaum buruh yang senasib cenderung bersatu.
Memang nasib kaum buruh cukup runyam dan bersangkut paut secara tripartit, di
pihak pertama berdiri kaum buruh yang selalu berada dalam posisi pecundang, gaji
rendah, jaminan sosial kurang, ancaman PHK, belum lagi kalau ada inflasi dan
penyebab lain di luar pabrik seperti kenaikan BBM yang merambat ke soal naiknya
biaya transpor maupun dapur. Di pihak kedua berdiri pengusaha yang sekan-akan
sudah nasibnya menjadi mitra kolusi para penguasa yang cenderung ingin mengeruk
untung sebanyak-banyaknya sekalipun mengorbankan nasib kaum buruh. Di pihak
ketiga berdiri kelompok-kelompok swadaya masyarakat seperti LSM dan kelompok
agama yang tidak terlibat langsung dalam kontroversi buruh-pengusaha, namun
hadir untuk membantu memecahkan masalah yang timbul.
Masyarakat pada umumnya tidak bisa menerima kaum buruh yang berperilaku anarkis
apalagi kalau mendatangkan korban jiwa yang tentu patut diadili dan dihukum,
namun kita perlu memaklumi mengapa kaum buruh menjadi begitu agar dapat
dicarikan solusi terbaik untuk tidak mengulang hal itu. Kenaikan UMR bak "siput"
(yang bodoh) melawan "kancil" (yang licik) yang selalu kalah berlomba dengan
kenaikan BBM, kenaikan harga komoditi sembilan bahan pokok, maupun kurs rupiah
yang terus menurun. Kenaikan UMR tidaklah mudah karena melibatkan begitu banyak
buruh dan perjuangan yang berat melalui rapat-rapat dan demo selalu hanya
berhasil menaikkan sekian persen dari gaji mereka. Gaji buruh secara rata-rata
masih berada di bawah sepersepuluh biaya produksi.
Di pihak lain pengusaha cenderung menjadikan biaya buruh sebagai alokasi yang
perlu dihemat, sehingga kenaikan kecil gaji buruh bisa memakan waktu lama untuk
diluluskan. Mochtar Pakpahan pernah mengungkapkan bahwa disatu segi pengusaha
memang ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya namun merekapun terjepit para
penguasa yang cenderung tamak. Bayangkan, bahwa untuk menaikan persentasi biaya
buruh (yang banyak itu) dari 8 sampai 9% biaya produksi saja susahnya bukan
main, padahal para pejabat korup (yang sedikit itu) bisa menyerap lebih dari 20%
biaya produksi dengan segala pungli mereka.
Memang kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat yang umumnya idealis itu sangat
membantu nasib kaum buruh sehingga setidaknya ada pihak lain yang ikut
menyuarakan nasib mereka, namun sekarang banyak orang mempertanyakan sampai di
manakah "agama-agama" sudah berbuat demi kesejahteraan kaum buruh demikian?
Kritik Marx yang disatu sisi ingin membela kaum buruh dan di sisi lain
mencemoohkan agama dapat dimaklumi, soalnya dalam konteks industri Eropah dalam
zamannya, ia melihat kaum buruh menjadi korban yang memilukan dari perkembangan
industri namun kaum agama, apalagi institusi resminya, sering bahkan memperparah
keadaan karena kedekatan mereka dengan para pengusaha dan penguasa. Bila kaum
pengusaha tidak terelakkan menjadi sponsor institusi agama, di pihak lain agama
sering berfungsi sebagai 'pelipur lara' untuk menghibur dan meninabobokan kamu
buruh.
Gerakan "liberation theology" yang timbul di Amerika latin dan mengimbas ke
mana-mana terjadi karena di sana institusi agama cenderung dekat sekali dengan
kaum penguasa dan pengusaha. Namun keberadaan pastor-pastor muda di sana
menghasilkan terobosan agar kaum buruh dan rakyat miskin tidak selalu
dikorbankan. Ada "liberation theology" yang bernafas agama yang melakukan
usahanya dengan jalan damai (Gutierez) namun banyak pula yang disusupi semangat
Marxisme dengan konsep pertentangan kelasnya itu (Che Guevara) yang melakukan
cara-cara anarkis ala komunis.
Agama-agama memang dituntut untuk berperan dalam kehidupan keseharian umat
manusia yang banyak (dan bukan untuk sedikit penderma). Bukankah kita sering
melihat bahwa agama sering mandul? Biaya-biaya yang dikucurkan untuk membangun
gedung-gedung agama bisa mencapai puluhan bahkan ratusan milyar rupiah, namun
berapa persen anggaran 'institusi agama' tersebut dialokasikan untuk memecahkan
dan membantu kaum buruh yang mengalami pergumulan sehari-hari?
Banyak sekolah agama hanya bisa dimasuki anak-anak para pengusaha dan penguasa.
Di kota-kota besar kita melihat banyak mimbar "agama-agama" yang menawarkan
hiburan dan isu-isu surgawi yang tidak mendarat sedangkan umat bergumul dalam
kesendirian mereka baik di rumah maupun di kantor dan pabrik-pabrik. Kasus
"Ajinomoto" merupakan contoh yang jelas betapa agama bisa malah merugikan kaum
buruh maupun rakyat kecil konsumen demi idealisme aqidah. Di Bandung pernah isu
"baso babi" terlontar dan yang menjadi korban adalah pedagang-pedagang mi-baso
(yang ribuan) yang berjualan di pinggir-pinggir jalan, sedangkan pengusaha baso
besar (yang belasan) tetap laku karena mereka sudah memiliki jaringan peminat
sendiri.
Kaum agama dituntut untuk lebih berusaha menjalankan kesaksian agama daripada
mengucapkan slogan-slogan agamis. Banyak kritik yang mengkritik kaum agama yang
terlalu sering ber"do-a" namun kurang melakukan perintah kepada siapa mereka
berdoa. Susahnya lagi banyak institusi agama cenderung mengumpulkan "du-it"
daripada "do-it" (melakukan kehendak Tuhan). Kaum agama perlu lebih banyak
berperan untuk mendidik kaum buruh agar lebih bekerja keras, jujur dan tidak
bersemangat anarkis, dan membantu pengembangan ketrampilan dan keahlian mereka
agar berkembang dalam keikutsertaan mereka dalam proses produksi, namun harus
diiringi usaha untuk mengingatkan para pengusaha dan penguasa (sekalipun mereka
adalah penderma-penderma yang potensial) agar mereka lebih memperhatikan
kebutuhan kaum buruh yang menunjang usaha mereka.
Di Upsala pernah "Persidangan Dewan Gereja Dunia" di demo massa yang salah satu
poster yang mereka bawa berbunyi "No Tracts but Tractors," yang mereka perlukan
bukan traktat kampanye agama namun traktor untuk membajak sawah mereka. Memang
kita tidak boleh lari kepada ekstrim dimana manusia ingin hidup hanya dengan
traktor saja karena masyarakat negara-negara industri maju sudah menunjukkan
bahwa kehebatan industri mereka berdampak kekosongan batin yang luar biasa,
namun krtitik poster itu benar bahwa institusi agama sering hanya berbicara
namun kurang berbuat sesuatu secara nyata.
Dari pengalaman kerusuhan buruh yang ada di antaranya menjurus anarkis itu,
sudah saatnya masyarakat pengusaha, penguasa maupun agama menyadari peran mereka
yang lebih luhur sebagai "service" (pelayanan) dan bukan menuntut untuk
"di-servis" (dilayani). Dalam Kitab Perjanjian Lama Kristen ada nabi Amos yang
dengan bersuara lantang menyuarakan firman Tuhan, dan dalam Perjanjian Baru kita
melihat peringatan Yakobus kepada para pengusaha, penguasa dan orang kaya:
"Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir. Sesungguhnya
telah terjadi teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah
menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan
mereka yang menyabit panenmu. Dalam kemewahan kamu telah hidup dan berfoya-foya
di bumi, kamu telah memuaskan hatimu sama seperti pada hari penyembelihan. Kamu
telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan
kamu" (Yakobus 5:1-6). (Salam kasih dari Herlianto.)
|