Etika kristen Buruan Tampar Gue, Dong
Oleh Eka Darmaputera
Yesus berkata, ”Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,
melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya
pipi kirimu” (Matius 5:39). Ya, siapa yang tidak kenal kata-kata ini?
Namun demikian, saya bayangkan, 99,9 persen orang ”waras” di dunia ini
akan lebih sepaham dengan Nietzsche, yang mengatakan bahwa sikap seperti
itu adalah sikap ”bunuh diri” (”suicidal”). Mula-mula menghancurkan diri
sendiri. Akhirnya, meluluh-lantakkan seluruh peradaban dunia.
Betapa tidak! Anda pasti ingat apa yang dikatakan Charles Darwin. Dari
pengamatan empirisnya, ia menyimpulkan bahwa ciri kehidupan yang
terpenting adalah ”persaingan”. Untuk bisa ”survive” atau ”bertahan
hidup”, semua makhluk mesti berjuang. Dan siapa yang berhasil ”survive”?
Kata Darwin, yang ”survive” adalah makhluk yang paling ”pas”, paling ”cocok”,
paling ”fit” dengan kondisi lingkungannya. Survival of the fittest.
Misalnya ada satu zaman, di mana alam sedemikian kerasnya, sehingga yang
mampu bertahan hanyalah yang paling kuat dan paling besar. Tapi itu
berubah. Digantikan oleh zaman, di mana ”kuat” dan ”besar” justru
merupakan kelemahan. Sebab yang dibutuhkan adalah ”kelincahan” dan ”kecerdikan”.
Di sini berakhirlah masa kejayaan makhluk-makhluk raksasa dan perkasa,
sejenis dinosaurus, brontosaurus, mastodon, dan sebagainya. Dan
sebaliknya, justru makhluk-makhluk ”kecil” sebangsa kura-kura, buaya,
dan biawak — yang lebih ”fit” – yang lebih mampu bertahan. Dan, tentu
saja, ... manusia!
SURVIVAL of the fittest”. Makhluk macam apa yang paling ”fit”, atau
paling memenuhi syarat, untuk mampu bertahan, memang bervariasi. Orang
”bule” lebih tahan di iklim dingin. Sedang orang ”keling” lebih nyaman
di daerah panas. Tanaman teh tumbuh subur di Puncak, di daerah
pegunungan Tapi jangan harap bisa bertahan di Parangtritis, di daerah
pantai.
Ya. Tapi yang jelas, kapan pun dan di mana pun, menurut Nietzsche dan
kawan-kawan, orang tak akan mampu survive dengan prinsip Yesus:
”ditampar pipi kiri, malah menawarkan pipi kanan”. Guna mampu bertahan –
apa lagi berkembang –, kata mereka, diperlukan makhluk yang punya ”nilai
lebih”. ”Uebermensch”. ”Super-human”.
Makhluk ini memang tidak mesti seperkasa Gatotkaca, berotot kawat
bertulang besi. Namun yang pasti, ia juga bukan makhluk yang serba
”nrimo” walau ”dikuyo-kuyo”; artinya, manda diperlakukan apa saja. Yang
bila ditampar, malah meminta, ”Buruan tampar lagi, dong!”. Sikap seperti
ini tidak ”fit” untuk keadaan apa saja. Tidak bakalan mampu ”survive” di
zaman kapan saja.
BISA saja dalam keadaan-keadaan tertentu, orang cuma bisa diam. Tidak
mampu berbuat apa-apa. Misalnya, di masa jaya-jayanya rezim Orde Baru,
siapa berani terang-terangan melawan Soeharto? Tak banyak. Tapi sikap
”tiarap” ini hanya boleh untuk sementara. Yaitu sampai tiba saat yang
tepat untuk berdiri, untuk bertindak, untuk membalas. Kalau perlu, plus
bunganya sekalian!
Ini baru bisa disebut sebagai sikap ”diam” yang bertanggung-jawab! Tapi
bersikap seperti yang dianjurkan Yesus – ”ditampar pipi kanan, malah
menawarkan pipi kiri”? Ini adalah sikap ”pecundang” yang tidak
bertanggung-jawab.
Sebab bayangkanlah, bila seorang pengusaha, di tengah-tengah persaingan,
berkata tergopoh-gopoh, ”Saya mengalah sajalah!”. Bila di tengah-tengah
pemilu, seorang pemimpin parpol berkata dengan segera, ”Bila berminat,
ambil sajalah konstituen saya”. Dan bila seorang komandan pasukan,
ketika diserang, buru-buru mengibarkan bendera putih, ”Silakan Anda
kuasai wilayah kami. Kami pergi!”
Terlebih-lebih bila sikap-sikap tidak wajar itu didasari oleh prinsip,
”Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat terhadap kamu”. Reaksi
orang, tentu, ”Lha namanya saja ”orang berbuat jahat”. Kok tidak boleh
dilawan sih? Apakah ini tidak sama dengan mempersilakan angkara murka
bersimaharajalela dengan leluasa?” Benar inikah yang dimaksudkan oleh
Yesus?
YANG pertama-tama harus kita katakan adalah, bahwa kita sungguh salah
sangka bila mengira kata-kata Yesus tersebut adalah menganjurkan sikap
lemah atau menyerah. Apabila ada orang yang karena takut, lalu buru-buru
menawarkan pipinya untuk ditampar, maka, ya, ini memang adalah tanda
kelemahan. Pengecut. Pecundang.
Tapi saya yakin, Anda tentu pernah menyaksikan adegan pilem, ketika dua
jagoan siap berlaga. Yang satu bertubuh kecil, sedang lawannya
berperawakan raksasa. Dengan lincahnya, si Kecil mengayunkan tinju dan
memukul perut lawannya. Buuuk!
Tapi si Raksasa cuma tertawa mengejek. Ia malah mempersilakan si Kecil
menghantam lagi perutnya. Dan lagi, dan lagi, dan lagi, sampai kelelahan
sendiri. Perkenankanlah kini saya bertanya, sikap si Raksasa itu, apakah
ini, menurut Anda, adalah tanda kelemahan?
SAMA SEKALI bukan maksud saya untuk mengatakan, bahwa orang Kristen
dianjurkan untuk menyontek bulat-bulat sikap si Raksasa. Orang Kristen
bukan raksasa. Ia ”Daud”, bukan ”Goliat”.
Sikap si Raksasa itu jelas-jelas mencerminkan sikap jumawa, sikap pede
yang berlebih-lebihan, sikap memandang remeh kekuatan lawan. Kalau pun
kelihatannya ia mengalah, itu cuma awal saja dari niat sebenarnya yang
ada di hatnya. Yakni, niat membalas yang berlipat-ganda. Niat
menghancurkan lawan habis-habisan. Sebab setelah si Kecil kehabisan
tenaga, tibalah saat membuatnya jadi bulan-bulanan. Dihantam. Ditendang.
Ditelikung. Dibanting. Dan si Raksasa itu akan tertawa terbahak-bahak.
Puas.
Sikap kristiani yang dianjurkan Yesus, kita tahu, bukan begitu.
Sebaliknya dari bersikap jumawa, orang Kristen dituntut rendah hati.
Sebaliknya dari percaya berlebih-lebihan pada kemampuan diri sendiri, ia
menggantungkan diri sepenuh-penuhnya pada kuasa Allah. Dan sebaliknya
dari dibakar nafsu ingin membalas, ia rindu mengampuni.
TOH dari ilustrasi di atas, kita dapat menggali satu kebenaran penting.
Yaitu bahwa sikap seperti yang dianjurkan Yesus itu, ternyata bisa lahir
dari kekuatan dan keyakinan diri. Bukan, seperti tuduhan Nietzsche,
tanda kelemahan dan sikap tidak berdaya semata-mata.
Dan kekuatan yang luar biasa! Mengapa? Sebab apa sih sebenarnya esensi
yang paling hakiki dari kata-kata Yesus yang sedang kita bicarakan ini?
Jelas bukan soal tampar-menampar.
Ketika Yesus sendiri mengalami – dengan mata tertutup — ditampar oleh
serdadu-serdadu Romawi, apa yang Ia lakukan? Apakah Ia menyorongkan
pipi-Nya yang sebelah lagi, seraya berkata, ”Buruan tampar gua lagi,
dong!”? Tidak, bukan?
Sebaliknya, dengan penuh wibawa, Ia bertanya, ”Apa sebabnya, apa salahku,
sehingga kalian menampar Aku?” Yesus yang ”terdakwa”, bersikap sebagai
”hakim” yang meminta pertanggung-jawaban mereka!
Yesus tidak ”tiarap”! Yesus tidak Cuma ”nrimo”! Karenanya, Ia juga mau
agar pengikut-pengikut-Nya – Anda dan saya – juga begitu! Tidak
menjilat-jilat, sekadar supaya selamat. Tidak menjual kehormatan, hanya
supaya aman. Tidak menukar keyakinan, dengan kedudukan.
BILA tidak menyerah, lalu apa? Menurut pandangan dunia pada umumnya,
satu-satunya alternatif yang tersedia, bila orang tidak menerima
perlakuan orang lain, adalah — apa lagi — kalau bukan ”membalas”. ”Mata
ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa”.
”Membalas” adalah sikap ”kodrati” manusia. Malah salah satu nilai yang
terpuji! Misalnya, dari beberapa jenis ”keadilan” yang ada, ada satu
yang disebut ”keadilan retributif”. Apa ini? Menurut pengertian
”keadilan retributif”, ”adil” itu artinya ialah, membalas orang setimpal
dengan apa yang dilakukannya. Jadi, pahala bagi yang berbuat baik. Dan
hukuman bagi yang berlaku jahat.
Yesus tidak menafikan perlunya ”pembalasan” atau ”hukuman”. Namun Ia
juga menawarkan alternatif lain. Yang lebih luhur, yang lebih mulia,
yang lebih ilahi. Yakni, bukan ”membalas” melainkan ”mengampuni”. Bukan
”membalas” melainkan ”mengasihi”.
Mengapa lebih luhur? Sebab ketika kita mampu mengendalikan kecenderungan
kodrati kita untuk ”membalas”, itu berarti kita telah membuktikan
kemampuan kita mengendalikan diri sendiri; mengontrol hawa-nafsu kita.
Adakah yang lebih mulia dari pada ini?
Dan dengan itu kita menunjukkan kepada dunia, bagaimana kita
memanfaatkan kekuatan yang kita miliki. Bukan untuk melanggengkan
permusuhan, tapi mendatangkan perdamaian. Bukan untuk melukai, tapi
menyembuhkan. Ini amat ilahi, bukan?
|