SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

YANG PAPA, YANG JELATA, YANG BAHAGIA
Oleh: Eka Darmaputera

Apakah Anda, seperti saya, mengalami kesulitan memahami KHOTBAH DI BUKIT? Maksud saya, bukan memahami kata-katanya. Kalau menyangkut kata-katanya, o, no problem-lah.

Yesus, seperti biasa, menggunakan kata-kata yang sangat sederhana, malah cenderung lugu dan apa adanya, gaya khas petani Yahudi kelas bawah masa itu. Provokatif, singkat, tanpa basa-basi. Tanpa bedak, tanpa gincu.

Jadi, apanya yang sulit? Kesulitan agaknya bukan terletak pada apa makna kata-katanya, melainkan pada bagaimana memaknainya. Artinya, bagaimana orang harus memahami, menafsirkan, dan (terutama) menerapkan KHOTBAH DI BUKIT? Sekali pun kata demi kata kita pahami tanpa kesulitan, tetap saja tak terhindarkan KHOTBAH tersebut kedengaran begitu absurd, begitu asing, begitu imposibel.

Ini, apa gerangan sebabnya? Richard Rohr berpendapat semua ini berawal pada tahun 313, ketika gereja mengalami titik-balik yang sangat radikal di dalam perjalanan sejarahnya. Setelah melalui masa penganiayaan yang panjang dan berdarah-darah, akhirnya dengan "Edict of Milan"-nya yang terkenal itu, Konstantinus Agung membalikkan "nasib" gereja.

Berawal dan berasal sebagai gerejanya kaum jelata, papa, dan tertindas, bagaikan tiba-tiba ia kini masuk ke struktur kemapanan serta kekuasaan. Atau, lebih tepat, struktur kekuasaan-lah yang memasuki gereja.

Konsekuensinya, gereja tidak cuma berpindah tempat, tapi juga bertukar sahabat. Tidak lagi berada di pihak mereka yang miskin dan tertindas, tapi--walau tidak terang-terangan--berada di pihak yang berpunya dan berkuasa.

Gereja menjadi tuan tanah paling kaya di Eropa. Ini sungguh mengubah citra. Mengubah seluruh mentalitas, cara berpikir dan pola sikapnya.

Ketika gereja masih berpihak kepada yang lemah, miskin, dan tertindas, ia adalah gereja yang revolusioner. Gereja yang berjuang bagi perubahan.

Namun begitu gereja menjadi bagian dari kemapanan itu sendiri, apa yang terjadi? Ia menjadi gereja yang konservatif. Artinya, kecenderungannya adalah meng-"conserve" atau mengawetkan status-quo. Setiap perubahan dipandang sebagai ancaman terhadap posisi nyaman dan rasa aman yang dimilikinya.

Gereja menjadi kian jauh dari jati dirinya yang asli, yaitu jati diri Yohanes Pembaptis, seperti yang dilukiskan Yesus. "Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin kian ke mari? Melihat orang yang berpakaian halus? Orang yang berpakaian halus itu tempatnya di istana raja."

Dari mentalitas orang yang berpakaian kulit unta, yang makanannya madu hutan, dan yang tinggalnya di padang gurun, gereja kini kian gemar berpakaian halus dan berada di istana raja. Gereja menjadi bagian dari revolusi Konstantinus, bukan revolusi Yesus. Orientasinya ke istana raja. Tidak ke rakyat jelata.

* * *

SETELAH mengatakan semua itu, tibalah saatnya menjawab pertanyaan awal kita. Mengapa sulit sekali memaknai KHOTBAH DI BUKIT? Mengapa KHOTBAH itu terasa begitu absurd, asing, dan mustahil?

Jawabnya: karena kita tidak lagi berada di tempat dan di pihak di mana Yesus berada, yaitu di pihak yang papa, yang lemah, dan yang jelata. Seorang Teresa atau seorang Solagratia Lumy pasti tidak terlalu sulit menghayatinya.

Sayang sekali, kita keburu tersangkut di ketinggian--di "istana raja". Semua yang dikatakan Yesus lalu jadi terdengar begitu nonsens dan mustahil.

"Orang gedongan" dan "orang gedean" memang tak akan pernah mampu mencerna etika KHOTBAH DI BUKIT. Tata Dunia Baru versi Yesus terasa mengancam sebab kemapanan, keamanan serta kenyamanan kita terletak pada tata yang lama.

Ketika Anda membaca Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Apa reaksi Anda? Anak saya, Arya, serta-merta memprotesnya.

"Saya tahu," demikian ia berkata, "orang kaya belum tentu bahagia. Tapi jelas, orang miskin pasti tidak bahagia." Padahal, waktu itu baru tujuh tahun usianya. Di usia sebelia itu, semacam selaput telah melekat di matanya, serta menghalangi pandangannya.

Sebagian terbesar yang lain, memilih tidak bereaksi apa-apa. Menurut mereka, tesis Yesus ini begitu tidak realistisnya sehingga tak perlu dikomentari apa-apa.

Tak perlu diperhatikan. Buang-buang tenaga saja. Sama sia-sianya seperti berdebat dengan orang yang ngotot bahwa bumi kita berbentuk kubus. Untuk apa diladenin?!

* * *

ORANG tentu saja bebas berpendapat apa saja. Namun kalau kekristenan--untuk menebus kredibilitas dan kewibawaannya yang kian aus--mau kembali kepada jati-dirinya yang asli, ia harus mau dan mampu memaknai kembali isi KHOTBAH DI BUKIT. Jiwanya dipertahankan setekstual mungkin, namun penghayatannya diusahakan sekontekstual mungkin.

Tatkala Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah," apakah Ia sedang meng-idealisisasi-kan atau me-romantisasi-kan kemiskinan, seperti kaum hippie Amerika di tahun 60-an yang mengidolakan kesederhanaan, tapi berhenti pada membenarkan kejorokan serta kemalasan?

Sudah pasti tidak. Walaupun Ia memang amat peduli terhadap, bahkan mengidentifikasikan diri-Nya dengan, orang miskin, Ia tidak memuja kemiskinan.

Walaupun benar Ia pernah mengatakan orang kaya sulit masuk Kerajaan Sorga, Ia tak pernah mengatakan bahwa orang miskin otomatis akan masuk ke sana.

Di antara murid-murid-Nya, ada yang miskin dan ada yang kaya. Tapi begitu pula di antara orang-orang yang menyalibkan dan membunuh-Nya. Yang Ia kehendaki ialah orang-orang kaya yang hatinya rindu berbagi, dan orang-orang miskin yang tak pernah kehilangan harga diri.

Mereka disebut berbahagia, bukan karena mereka miskin! Anak saya benar, kekayaan maupun kemiskinan an sich tidak serta-merta membawa kebahagiaan maupun penderitaan.

Jadi mengapa Yesus mengatakan mereka berbahagia? Kata Yesus, "Merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Inilah kunci kebahagiaan menurut Yesus: memiliki Kerajaan Sorga.

Bukankah ini juga salah satu kritik Yesus terhadap kecenderungan manusia, baik di zaman-Nya tapi terlebih-lebih lagi di zaman kita? Di mana racun materialisme, hedonisme dan konsumerisme telah mengalir bersama darah kita, dan dengan kadar yang telah melewati ambang batas toleransi?

Mengapa saya katakan demikian? Sebab, seperti yang dikatakan Aristoteles, manusia memang terus mencari dan mengejar kebahagiaan dari dulu sampai sekarang. Mereka berpikir, bila mereka memiliki ini atau memiliki itu, mereka akan berbahagia.

Misalnya, dengan memiliki kepandaian atau teknologi; kuasa atau hartabenda; kehormatan atau kenikmatan hidup. Jadilah seluruh hidup mereka mereka pakai untuk mengejar-ngejar semua itu. Seringkali berhasil. Tapi yang tak pernah berhasil adalah menjadi "yang empunya" kebahagiaan itu sendiri.

Di mana salahnya? Di sini: karena mereka berusaha memiliki begitu banyak hal, tapi tidak berupaya cukup keras untuk memiliki yang satu ini: Kerajaan Sorga. Suatu kebodohan yang paralel dengan kedunguan seorang tokoh dalam sebuah parodi yang pernah saya baca.

Tokoh ini sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk hari pernikahannya. Tepat pada waktunya, ia akhirnya berhasil mempersiapkan semuanya. Kecuali yang satu ini: ia belum memiliki orang yang akan dinikahinya.

Orang modern, saya akui, memang bertambah pandai dalam banyak hal, tapi seringkali bertambah bebal dalam hal yang paling esensial. Itu sebabnya, mereka tidak berbahagia.

Pertanyaan kedua ialah, mengapa "orang yang miskin di hadapan Allah" itulah yang disebut Yesus sebagai "yang empunya Kerajaan Sorga"? Siapa mereka itu? Apakah kita termasuk di dalamnya?

Pertama, "orang yang miskin di hadapan Allah" tentu saja mencakup mereka yang "miskin" secara ekonomis. Ini adalah penegasan yang luar biasa melegakan.

Dalam Tata Dunia Lama, ada banyak tempat, posisi, fasilitas yang tersedia. Namun tidak bagi yang miskin. Fasilitas untuk diperlakukan secara adil, terhormat dan manusiawi, misalnya, adalah hak eksklusif orang yang kaya dan berkuasa.

Tidak untuk yang papa, tapi Yesus menyatakan, fasilitas paling prima dalam Kerajaan Sorga tersedia bagi siapa saja, khususnya bagi si jelata.

Toh yang "miskin di hadapan Allah"--"ptokhoi", dalam bahasa Yunani--tidak hanya mencakup mereka yang miskin secara ekonomis, melainkan semua yang "miskin" di segala bidang kehidupan, termasuk orang-orang yang barangkali tidak miskin secara ekonomis, tapi tertindas secara politis atau kultural.

Mereka adalah "ptokhoi". "Miskin" berarti tidak memiliki apa-apa yang dapat dibanggakan. "Miskin" berarti mereka yang hak-haknya tidak dipedulikan.

Yang karena kemiskinannya justru menjadi obyek untuk diperah dan diperas. Kerajaan dunia tidak menyediakan tempat untuk mereka. Namun, kata Yesus, dalam Kerajaan Allah, bukan hanya ada tempat untuk mereka, tapi Kerajaan Allah adalah milik mereka.

Sebab itu, wahai kaum papa dan tertindas di seluruh dunia, bangunlah dan berbahagialah. Berhentilah tiarap atau tengkurap saja! Tunjukkan harga dirimu! Yesus mencintai dan menghormati kalian! Dan wahai, kalian yang kaya dan berkuasa, mulailah menghargai dan mengasihi mereka--si jelata, si papa, si miskin--sebagai sesama kalian!

Kata Yesus, merekalah yang empunya Keraajaan Sorga. Ini adalah satu-satunya harapan kalian untuk memilikinya juga, yaitu bila kalian--seperti Yesus--dengan tulus bersedia memperlakukan mereka dengan respek dan dengan adil, sebagai kekasih-kekasih Allah sendiri!