SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Tuhan, Ajarlah Kami Berdoa! Oleh Eka Darmaputera Lukas bertutur demikian, "Pada suatu kali Yesus sedang berdoa di salah satu tempat. Ketika Ia berhenti berdoa, berkatalah seorang dari murid-muridNya kepada-Nya: "Tuhan, ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-murid-Nya." "Tuhan, ajarlah kami berdoa". Anda pasti pernah berdoa meminta kesembuhan atau keberhasilan atau keberuntungan. Namun, pernahkah Anda berdoa memohon "Tuhan, ajarlah kami berdoa?" Belum? Lalu mengapa para murid minta agar Yesus mengajar mereka berdoa? Apakah ini karena mereka belum pernah berdoa? Atau karena mereka belum bisa berdoa? Sudah barang tentu tidak. Bagi orang Yahudi, berdoa adalah seperti makan, minum, tidur, mandi-bagian dari rutinitas hidup sehari-hari. Maksud saya, seperti mereka makan tiga kali sehari, mereka berdoa sekian kali sehari. Ini mereka lakukan dengan amat fasihnya, sebab telah terlatih sejak dini. Ada ungkapan terkenal yang berkata, "Begitu anak-anak Yahudi mulai bisa berbicara, mereka telah bisa berdoa". Bahkan sampai sewaktu akan menarik napas penghabisan, kata-kata terakhir mereka pun adalah sebuah doa. Yesus sendiri pun tak lupa mengucapkannya. "Ya Bapa, ke tangan-Mu kuserahkan rohku". Karena itu kalau mereka minta, "Tuhan, ajarlah kami berdoa", sekali lagi, ini pasti bukan karena mereka tidak tahu bagaimana caranya berdoa. Mereka telah mengetahuinya dan mempraktikkannya sejak masa balita mereka. Jadi? Yang kadang-kadang masih mengganjal dan meragukan hati, adalah sudah benarkah doa mereka selama ini? Mirip seperti tatkala kita masih kecil, lalu ayah atau ibu kita berkata, "Nak, ayo dong tulis ke Oma. Oma 'kan ulang-tahun hari ini". Ingatkah Anda bagaimana perasaan Anda waktu itu? Bukan soal tidak tahu bagaimana menulis. Bukan soal tidak tahu apa yang akan ditulis, bukan pula soal Anda sayang atau tidak sayang kepada Oma, melainkan, "Saya mesti omong apa ?" * * * ORANG-ORANG Yahudi mengenal apa yang disebut "doa-doa bebas". Di sini mereka bebas mengatakan apa saja dalam doa-doa mereka, juga bebas untuk tidak mengatakan apa-apa. Alias berdoa dalam diam. Tapi pada kesempatan-kesempatan khusus, ada pula "doa-doa khusus", dengan rumusan-rumusan khusus, yang harus mereka hafalkan dan ucapkan. Setiap guru agama mengajarkan formula mereka sendiri-sendiri, yang satu berbeda dari yang lain. Yang satu dianggap lebih ampuh ketimbang yang lain. Kemungkinan besar karena alasan itulah, seorang murid meminta, "Tuhan, ajarlah kami berdoa". Minta diajarkan doa yang paling "mujarab". Sebuah permintaan yang sederhana. Hampir-hampir naif. Namun demikian, toh ada sesuatu yang indah tersembunyi dalam permohonan ini. Sesuatu yang baik untuk ditiru oleh kita semua. Pertama, permintaan "Tuhan, ajarlah kami berdoa" menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang percaya akan kegunaan atau faedah doa. Karena itu, meraka ingin belajar berdoa. Kelompok ini kian lama kian tipis, walaupun jumlah orang-orang yang berdoa - secara formal dan ritual - masih banyak, bila tidak semakin banyak. Mayoritas orang sudah tidak lagi merasa kebutuhan untuk memohon, "Tuhan, ajarlah kami berdoa". Dalam hati, mereka berkata, "Doa tidak mengubah apa-apa dan tidak menolong apa-apa. Cuma tindakan nyata dan kerja keras tangan kita saja yang bisa." Karena itu, bukan "Tuhan, ajarlah kami berdoa", tapi "Profesor, ajarilah kami caranya", atau "Dokter, katakanlah apa obatnya"; atau "Pak pejabat, tolong dong katabelece-nya". Orang-orang ini tidak sadar bahwa mereka yang tidak mempercayai manfaat doa adalah orang yang sangat malang. Mengapa? Mereka cuma bisa bergantung kepada kemampuan otak atau ototnya. Tidak berkuasa berbuat apa-apa lagi, begitu otak dan otot mereka keok tak berdaya. Doa padahal memberi kemungkinan kepada mereka untuk melampaui keterbatasan alamiah mereka, yaitu dengan memanfaatkan kuasa kekuatan Allah. Mereka adalah orang-orang yang malang, sebab situasi mereka analog dengan orang yang memiliki lembaran uang seratus ribuan sepuluh lembar, tapi cuma dimanfaatkan untuk menyeka peluh. Mubazir, bukan? * * * KEDUA, barangkali tanpa disadari oleh si pengucapnya sendiri, permohonan "Tuhan, ajarlah kami berdoa" menyiratkan pengakuan bahwa setiap orang perlu terus-menerus belajar dan diajar berdoa. Belajar bagaimana berdoa dengan benar. Berdoa itu seperti berbicara. Pada satu pihak, berbicara itu alangkah mudahnya! Begitu lahir, setiap bayi yang normal-tanpa belajar-sudah bisa berbicara. Maksud saya, mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulutnya. Tapi untuk dapat berbicara dengan benar, apalagi untuk berbicara dengan baik (dan menarik, di depan umum), orang harus belajar terus-menerus seumur hidup. Tak seorang pun dilahirkan jebrol sebagai orator. Ada dua hal yang paling sering membuat orang salah memahami doa. Di satu sisi adalah orang-orang yang begitu yakinnya akan kuasa doa sehingga doa menjadi satu-satunya dan segala-galanya. "Berdoa saja, nanti semuanya akan dibereskan oleh Tuhan," begitu kata mereka. Seperti di restoran, kita cuma tinggal "order", makanan akan datang sesuai dengan pesanan. Lha kalau kurang sesuai dengan selera? Seperti misalnya daging steak-nya terlalu matang, atau makanan yang dipesan terlalu lama datang? O, kita berhak marah! Kepada Tuhan pun kita marah, kita kecewa, kita ngambeg, bila "serpis"nya kurang memuaskan. Pernah terpikirkankah oleh Anda, Tuhan kita "marah-marah"-i? Keterlaluan, bukan? Sebab itu kita perlu berdoa, "Tuhan, ajarilah kami berdoa". Pada sisi yang lain, ada sejumlah besar orang yang skeptis dan memandang remeh doa. Orang-orang ini tidak menolak doa. Namun, menurut mereka, doa sebenarnya hanya cocok untuk orang-orang yang sudah kepepet, tidak berdaya, putus asa, bagaikan tersudut di jalan buntu. Desperate. Prinsip mereka adalah, "Selama masih ada yang bisa dilakukan, pakailah otak dan tangan. Baru setelah segala upaya menthok, bolehlah coba-coba berdoa. Siapa tahu ada gunanya?" "Siapa tahu ada gunanya". Yesus, saudara, pernah menghardik seorang ayah yang datang meminta pertolongan-Nya dengan sikap seperti itu. Orang ini mempunyai anak laki-laki yang sakit ayan berat, semua upaya telah dicoba, kini ia datang kepada Yesus, berkata, "Jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami" Yesus-saya bayangkan dengan sorot mata yang tajam dan nada suara meninggi-berkata, "Katamu jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" Berdoa, saudaraku, adalah bagi orang yang yakin. Haqul yakin. Berdoa bukanlah bagi mereka yang cuma setengah yakin, "Coba-coba saja deh, siapa tahu, ada manfaatnya". Berdoa bukanlah bagi mereka yang tidak yakin. "Kalau doaku benar-benar terkabul, aku berjanji, aku akan percaya. Tapi mesti bukti lebih dahulu". Sebaliknya, doa juga bukan bagi orang yang terlalu yakin, tapi dengan keyakinan yang salah. "Toko Anda pasti laris, karena telah saya doakan. Kalau tidak laris juga, itu tandanya Anda kurang berdoa". * * * SIKAP-SIKAP yang salah tentang doa, terdapat baik pada orang-orang Kristen lama maupun baru. Penyakit ini sungguh tidak membeda-bedakan orang. Siapa saja diserangnya, dan siapa saja bisa terkena. Bila Anda merasa perlu belajar berdoa, inilah satu-satunya alamat yang tepat untuk itu: Tuhan sendiri. Bukan pendeta Anu atau penginjil Itu. Masih banyak yang harus kita pelajari tentang doa. Karena itu mulai minggu depan, bila Tuhan berkenan, saya ingin mengajak Anda mulai belajar berdoa secara intensif, dengan doa yang Tuhan sendiri ajarkan, DOA BAPA KAMI. |