SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Teguh dalam Prinsip, Terbuka dalam Sikap Oleh Eka Darmaputera SETELAH "politeisme" dan "henoteisme", kini tiba saatnya kita akan membahas alternatif yang ketiga yang menurut Barclay adalah perkembangan yang paling "kemudian" dan yang paling "ideal" dari semua-yaitu "monoteisme". Ketika "politeisme" mengatakan bahwa "Allah" itu "banyak"; "monoteisme" menyatakan, "Tidak! Allah itu cuma satu! Tak mungkin banyak". Lalu kemudian, tatkala dengan simpatik "henoteisme" mengusulkan kompromi, "Oke, kami setuju, Allah itu cuma satu. Namun dalam pengertian, "satu Allah untuk satu bangsa", lagi-lagi "monoteisme" menampik. "Mustahil!," katanya, "Allah yang satu itu adalah Allah seluruh bumi. Satu Allah untuk segenap alam semesta. Allah yang universal, bukan "Allah" yang parokhial!" Keyakinan monoteistis seperti itulah yang mendasari ungkapan iman seorang pemazmur, sebagaimana terbaca dalam Mazmur 139:1-12. Bunyinya, "Jika aku mendaki ke langit, atau menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, atau membuat kediaman di ujung laut"-ya, ke mana pun aku pergi dan di mana pun aku berada- ketika duduk atau berdiri, ketika berjalan atau berbaring- Allah ada di situ!". Allah yang satu dan sama itu! YAHWEH! Sebab itu tak perlu Anda heran, bila perintah yang pertama-dan yang paling utama-dari DASA TITAH adalah, "JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU". Tidak ada-dan tidak boleh ada-"Allah" yang lain, kecuali Allah yang satu itu. YAHWEH! * * * AGAMA, supaya bisa memberi pegangan yang tegas dan jelas-bagi siapa saja, dan dalam konteks situasi apa saja-sebenarnya cuma punya satu pilihan: ia mesti monoteis. Mengapa? Ini bukan karena sombong, atau apa. Namun memang harus dikatakan, bahwa pilihan yang lain, "politeisme" misalnya,-walaupun menghasilkan toleransi yang seolah-olah tanpa batas-ia juga melahirkan situasi ketidak-pastian yang tanpa batas. Akibatnya, kehidupan manusia jadi limbung, terpontang-panting dan terombang-ambing kian kemari. Tanpa arah, tanpa tujuan, dan tanpa rasa aman. Sedang pilihan kedua, "henoteisme", walaupun sepintas memberi kesan lebih matang dan lebih seimbang, tanpa dikehendaki, menghasilkan kehidupan yang terpecah-pecah dan, pada gilirannya, kepribadian yang terbelah. Kehidupan yang semestinya bulat, utuh dan satu, jadi terkotak-kotak serta terkoyak-koyak menjadi "kerajaan-kerajaan" kecil yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa saling mengacuhkan. Situasi inilah yang membuat seseorang, pada satu saat, bisa meraung atau menyeringai bagaikan serigala lapar, misalnya ketika ia berada di wilayah bisnisnya. Tapi beberapa menit kemudian, ia bisa merunduk dengan khusyuk, berdoa bagai pertapa, tatkala berada di ruang gereja. Hidup manusia yang diseret kesana kemari ke pelbagai "dunia" yang masing-masing menuntut kepribadian yang berbeda-beda-sekali lalim, lain kali alim-adalah hidup yang sungguh melelahkan. Tidak menyejahterakan, apa lagi membahagiakan. * * * PERTANYAAN yang banyak dikemukakan orang adalah ini. "Baiklah, kalau benar "monoteisme" yang akhirnya menjadi pilihan terbaik. Kami tidak menolak. Tapi bagaimana dengan nasib "toleransi" selanjutnya? Tidakkah prinsip bahwa hanya ada satu Allah dan cuma ada satu kebenaran, berlawanan dengan semangat dan roh toleransi serta keterbukaan? Apakah kita rela mencampakkan nilai "toleransi" begitu saja, sekadar demi untuk memiliki pegangan hidup yang jelas? Tidakkah ini akan membawa umat manusia kembali ke "Abad-abad Kegelapan" (= Dark Ages), yang pengap oleh suasana kecurigaan, pengejaran, serta penindasan terhadap apa pun yang dianggap "sesat" oleh para penguasa agama- yang mengklaim kemutlakan eksklusif bagi diri sendiri?" Terhadap pertanyaan tersebut, jawab saya adalah: "Ya! Semua keprihatinan yang dikemukakan itu, saya akui, adalah canang peringatan yang penting sekali untuk diperhatikan. Kita tidak ingin dan tidak boleh kembali kepada tirani spiritual, yang mengklaim kebenaran tunggal bagi diri mereka sendiri. Walaupun, seperti akan saya jelaskan nanti, praktik-praktik penindasan yang mengatas-namakan "kebenaran tunggal" tersebut, sebenarnya justru total bertentangan dengan prinsip "monoteisme" yang sejati. Praktik-praktik tersebut adalah penyimpangan yang telah mencatut keluhuran prinsip "monoteisme" yang sesungguhnya. Karenanya saya setuju, masalah hubungan antara "monoteisme" dan "toleransi" perlu kita bahas". PADA satu pihak, tak pelak lagi, setiap orang perlu dengan sepenuh hati dan seputih nurani, menunjukkan keterbukaan serta penghargaan yang tulus kepada mereka yang berbeda kepercayaan. Namun demikian, di pihak lain, kita mesti menyadari bahwa toleransi yang murni hanya dapat terjadi, bila ia didasari dan dibarengi oleh keyakinan serta penghargaan yang penuh terhadap keyakinan sendiri. Bila terhadap keyakinannya sendiri saja orang sudah tak peduli, bagaimana dapat kita harapkan ia peduli dan menghargai keyakinan orang lain dengan sepenuh hati? Toleransi sejati bukanlah serta merta menelan bulat-bulat prinsip dan praktik apa saja. Tidak! Sikap seperti itu lebih mirip dengan reaksi panik orang yang nyaris tenggelam, lalu meraup apa saja yang kebetulan lewat di depannya, ketimbang toleransi yang dilandasi oleh kebesaran jiwa. Toleransi yang sejati adalah toleransi yang secara sadar mengenali perbedaan yang ada, tahu sampai sejauh mana ia bisa mengatakan "ya", serta kapan ia harus mengatakan "tidak". Semua ini cuma bisa terwujud, bila orang benar-benar serius terhadap keyakinannya sendiri. Sebaliknya, "toleransi" yang tanpa prinsip dan tanpa batas, adalah toleransi yang palsu. Mengapa? Sebab bila orang berkata ia menyetujui apa saja, ini sebenarnya hanya menunjukkan betapa ia tidak menyetujui apa-apa. Pujian orang akan kelezatan masakan Minang atau Manado, setelah yang bersangkutan merasakan kenikmatan masakan Tiociu atau Sechuan, adalah pujian yang jauh lebih bermakna, ketimbang pujian seseorang yang dengan enteng berkata, "Bagi saya, semua makanan di dunia ini sama lezatnya". Iya 'kan? * * * KARENA itu, tanpa sedikit pun bermaksud untuk bersombong-sombong, bersikap eksklusif , atau merasa superior, kita akan membicarakan di mana letak kekhasan serta keunggulan "monoteisme", sehingga dengan teguh dan sadar kita memeganginya. "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-KU". Titah ini menegaskan, bahwa ada satu yang mutlak. Lebih tepat, hanya ada satu yang mutlak. Itu berarti, relativisme serta toleransi tanpa batas ditolak mentah-mentah! "Ada yang mutlak" berarti, bahwa di dalam hidup ini ada yang benar dan ada yang salah; ada yang baik dan ada yang jahat. Ada etika atau moral untuk segala sesuatu. Juga untuk politik dan bisnis? Ya! Keduanya pun tidak "bebas nilai" atau "kedap moral". Mencari kuasa atau meraup laba, memang tidak salah pada dirinya. Namun tidak berarti lalu boleh semaunya. Kita mesti bertanya: bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana menggunakan hasilnya? Apakah dengan cara yang benar? Apakah untuk maksud dan tujuan yang baik? Apa yang saya kemukakan itu juga berlaku untuk agama. Ada agama yang benar, dan ada agama yang salah! Ada agama yang baik dan ada agama yang jahat! Agama yang meremehkan harkat dan martabat manusia, misalnya, adalah agama yang salah dan jahat. Ada norma yang mutlak dan obyektif untuk mengukurnya. * * * "JANGAN ada padamu allah lain di hadapan-KU". Artinya: yang mutlak itu bukan cuma ada; tetapi juga bahwa yang mutlak itu cuma satu. Cuma Dia! YAHWEH! Bila yang mutlak itu "cuma Dia", maka konsekuensinya adalah, semua yang lain-apa pun itu, kecuali Dia-tidak mutlak. Saya dan keyakinan kebenaran saya tidak mutlak. Tidak mutlak, berarti terbatas; bisa salah; tidak sempurna. Prinsip "monoteisme" sejati inilah, menurut keyakinan saya, merupakan dasar dari toleransi yang sejati! Sebab tidak satu pun-termasuk diri saya sendiri-yang boleh memutlakkan diri. Semuanya mengakui ketidak-sempurnaannya, dan oleh karena itu juga keterbukaannya untuk saling menerima dan saling belajar. Percaya bahwa ada satu yang mutlak, tidak serta merta mesti berarti "mutlak-mutlakan". Ini sangat menonjol pada konsep yang unik kristiani, yaitu TRINITAS atau TRITUNGGAL. Bahwa Allah yang "satu" itu hadir dalam ke"tiga"an-Nya, dan bahwa Allah yang "tiga" itu berada dalam ke"satu"an-Nya. Intinya: monoteisme tidak sama dengan monolitisme. Bahwa di dalam yang "satu" itu, ada kemajemukan. Konsep ini, saya akui, sulit dijelaskan secara matematis. Tapi bukankah begitu selalu kebenaran itu? Ia, saya akui, juga melampaui logika kita. Tapi bukankah kita sedang berbicara mengenai "Allah", yang memang selalu melampaui daya jangkau akal manusia? Bila kepala Anda pening dibuat oleh konsep "trinitas" ini, katakan saja, "Berbagai-bagai adalah alasan untuk berbagi-bagi; bukan untuk berbalah-balah". |