SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Supremasi Hukum Bukan Segalanya Oleh Eka Darmaputera Banyak orang beranggapan bahwa sekiranya saja supremasi hukum betul-betul dijalankan dan kepastian hukum dilaksanakan, semua carut-marut negeri ini akan beres dengan sendirinya. Krisis panjang ini pun segera akan tamat riwayatnya. Mengapa? Tertib hukum, begitu mereka berkata, akan menjamin investasi modal luar negeri kembali antri mengalir masuk dengan derasnya. Iklim dunia usaha Indonesia jadi nyaman dan bergairah yang pada gilirannya akan merangsang miliaran dolar yang selama ini di-"parkir" di luar negeri pulang kandang. Tidak cuma itu. Konflik-konflik, semisal di Maluku dan Poso, yang seolah-olah telah menjadi "borok" yang membusuk di tubuh kita -- sebentar mengering sebentar meradang -- dan tak mempan dilawan dengan "antibiotik" apa pun, akan berhenti tiba-tiba. Tingkat laju kemakmuran dan kesejahteraan menaik tajam. Sementara itu, kriminalitas akan menurun drastis. Apalagi yang disebut "KKN": korupsi, kolusi, dan nepotisme. Uh, pasti mati kutu! Lalu Indonesia kembali jadi sorga! Lalu Indonesia kembali jaya! Indonesia Jaya, sudah pasti, adalah doa serta kerinduan kita semua. Namun, pertanyaannya adalah benarkah semua yang dikatakan itu? Benarkah supremasi serta kepastian hukum adalah penentu segala sesuatu? Tentu tak salah mengatakan bahwa keduanya -- kepastian serta supremasi hukum -- sangat penting dan amat menentukan. Negara apa pun di seluruh dunia yang pantas disebut aman, makmur, dan sejahtera, tidak ada yang tidak menjamin kepastian serta supremasi hukum di negerinya. Pelanggaran hukum tentu ada. Mungkin banyak. Namun, setiap pelanggaran hukum yang kedapatan pasti ditindak tegas, tanpa pandang bulu, sesuai dengan hukum yang berlaku. Ingat kasus Chun Do Hwan dan Roh Tae Wo, keduanya mantan presiden Korea Selatan, bagaimana mereka diperlakukan di pengadilan? Dan sekarang putra ketiga Presiden Kim Dae Jung. Tak perlu diragukan, betapa saya dan amat banyak orang lagi sangat merindukan ditegakkannya hukum secara konsisten dan konsekuen. Sudah muak betul kita melihat bagaimana hukum dilecehkan dan aturan diinjak-injak, justru oleh mereka yang seharusnya menegakkannya. Dan toh masih tanpa malu-malunya, mereka berani menyebut diri "penegak-penegak hukum" dan "pelayan-pelayan masyarakat"! Muka badak betul! * * * Jalankan hukum dan tegakkan aturan dengan tanpa pandang bulu! Jangan kalau untuk pejabat atau mantan pejabat atau anak presiden, yang ditinjau dari logika mana saja sudah jelas-jelas koruptor besar, kepadanya diberlakukan asas "praduga tak bersalah", tapi bila tersangkanya cuma maling kelas teri, yang diberlakukan adalah prinsip "gebuk dulu sampai remuk, supaya mengaku". Kemunafikan dan kesewenang-wenangan seperti ini amat memuakkan. Ketidakadilan yang telanjang seperti ini sangat melukai hati rakyat. Yang tidak merasa terluka, tidak pantas disebut "rakyat"! Ada hubungan timbal balik antara "kesejahteraan masyarakat" dan "kepastian hukum". Saya setuju! Kalau masyarakatnya jauh dari sejahtera, mustahil penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan konsekuen. Perut lapar cenderung tidak mempedulikan aturan. Itu sebabnya selama tingkat pengangguran masih tinggi, mustahil membersihkan jalan-jalan dari para pedagang kaki lima. Kecuali, mungkin, dengan mengerahkan demonstran bayaran, seperti yang pernah dilakukan oleh seorang wali kota. Ironisnya: bapak kita ini mau menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum! Sebaliknya, tidak mungkin pula meningkatkan kesejahteraan rakyat, tanpa menegakkan kepastian hukum. Itulah yang pertama-tama dilakukan oleh Lee Kuan Yew, begitu partainya menang pemilu. Mengubah Singapura dari "negara gangster" menjadi negara-kota yang paling "tertib hukum" di dunia. Ia mengatur warganya, mulai dari soal makan permen karet, buang ludah, sampai soal siapa yang memperoleh prioritas untuk hamil. Ironisnya: keadilan ekonomi ingin dibangun tanpa keadilan politik. * * * Jadi bagaimana mengatasi dilema ini? Tidak mudah. Tapi yang pertama-tama harus kita sadari adalah: betapa pun penting dan menentukannya supremasi hukum, ia bukan yang terpenting, dan tidak boleh diperlakukan sebagai segala-galanya! Anarkisme jangan diatasi dengan legalisme. Kedua-duanya racun. Masih dalam rangka "Kotbah di Bukit" -- Magna Charta-nya Tata Dunia Baru -- Yesus bersabda, "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya". Dengan pernyataan ini, secara tegas Yesus menjelaskan posisi-Nya. "Kebebasan" yes, "kebablasan" no! Karenanya Ia menampik baik anarkisme maupun nihilisme. Allah yang Ia representasikan, adalah Allah yang tertib. Allah "kosmos", bukan Allah "khaos". Ia pun amat menghormati hukum. "Selama belum lenyap langit dan bumi ini," kata-Nya, "satu iota dan satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat". Untuk apa penegasan yang agak "berlebihan" ini? Mengapa Yesus mengawali pernyataan-Nya dengan, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum ..."? Sebabnya adalah, karena banyak orang yang salah sangka. Yesus ditentang dan dimusuhi, khususnya oleh para ulama, karena dalam tindak-tanduk-Nya sehari-hari, Ia dianggap mengabaikan dan melecehkan hukum, tradisi dan aturan agama. Orang-orang Yahudi amat menghormati Musa dan hukum-hukum yang disampaikan melalui-nya. Tapi apa kata Yesus? Dengan nada seolah-olah menantang, Ia berkata, "Musa mengatakan begitu, tapi Aku mengatakan begini". Di mata mereka, Yesus adalah "urakan" yang tak peduli aturan dan tata krama. Tuduhan tersebut tidak seluruhnya salah. Yesus memang sering "nyeleneh". Tidak patuh pada apa yang tersurat dalam hukum. Kadang-kadang Ia tidak mencuci tangan sebelum makan. Tidak mengharuskan murid-murid-Nya berpuasa. Malah menyembuhkan orang pada hari Sabat. Dan sebagainya. Jadi cukup beralasan bila para ulama Yahudi menjadi berang dibuat Yesus. * * * Namun, Ia toh mengatakan, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum ...." Ia menolak disebut "anti-nomian" atau tidak peduli aturan. Bagaimana menjelaskan ini? Tidak sulit, sebenarnya. Yesus memang sering tidak mematuhi hukum yang "tersurat" serinci-rincinya. Namun demikian ini dilakukan-Nya, justru demi memelihara serta menggenapi apa yang "tersirat". Sebab keduanya -- "yang tersurat" dan "yang tersirat" -- di dalam praktik, tidak selalu identik. Secara umum dapat dikatakan, bahwa apa yang "tersirat" nyaris dapat dijamin. Yang tersirat adalah yang mewakili situasi ideal yang dirindukan dan dikehendaki oleh manusia. Tidak ada kan orang yang menginginkan yang tidak baik? Tetapi ketika "yang tersirat" itu hendak di-"kongkret-"kan dalam bentuk "tersurat", di sinilah sering muncul masalah. Dalam bentuknya "yang tersurat", atau "hukum formal", ia tidak selalu dan tidak otomatis baik. Paling-paling baik untuk satu situasi tertentu saja, atau baik untuk orang-orang tertentu saja. Mengapa demikian? Karena kehidupan serta tingkah laku manusia itu begitu kaya nuansa, sehingga mustahil terekam dan terumuskan lengkap ke dalam "huruf-huruf" dan "kata-kata". Roh menghiupkan, kata-kata cenderung mematikan. Mem-"baku"-kan selalu mengandung risiko mem-"beku"-kan. Contoh yang sangat jelas adalah ini. Siapa yang bisa mengatakan bahwa "kerukunan beragama" itu buruk? Pasti tidak ada! Dan siapa bisa menolak bahwa kerukunan beragama itu mesti dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya, dan karena itu perlu dibuat aturan untuk itu? Saya kira, semua setuju. Yang tersirat, selalu baik. Tetapi begitu yang baik yang "tersirat" itu dijadikan peraturan yang "tersurat", apa yang kita lihat? Produk hukum yang berupa "Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang Pembangunan Rumah Ibadah" yang terkenal itu, justru menjadi produk hukum yang amat buruk, amat tidak adil, dan amat diskriminatif! Ia merusak baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Atau kalau pun ada yang mengatakan bahwa peraturan itu baik, peraturan itu cuma baik untuk satu golongan saja. Hukum "yang tersurat" tidak otomatis baik, karena yang membuat dan merumuskannya adalah manusia. Nota bene manusia yang punya kepentingan pribadi, dan karenanya mustahil membuat aturan yang bakal merugikan dirinya sendiri -- walaupun itulah sebenarnya yang adil dan yang benar. Karena itu tidak jarang, atau malah hampir selalu, hukum dan undang-undang dibuat untuk melindungi kepentingan pembuatnya -- walaupun jelas-jelas tidak adil dan tidak benar. Mengapa, misalnya, proses amandemen UUD 1945 berjalan maju-mundur? Bukan karena orang-orang di PAH-I BP.MPR itu tidak tahu apa yang benar dan apa yang baik. O, kalau tentang prinsip umum seperti itu, saya jamin, konsensus akan segera dapat dicapai dalam beberapa menit. Namun, ketika yang umum harus dirumuskan dan dirinci secara kongkret, dan mesti dirumuskan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin semua kepentingan terakomodasi, di situlah terjadi proses tarik-ulur dan dagang sapi terjadi, Karena itu, bagi Yesus, supremasi hukum bukan segala-galanya. Tentu saja! Sebab kalau yang di-"supremasi"-kan itu adalah produk-produk yang "konyol" seperti itu, bayangkan sendiri apa akibatnya. Kita tidak boleh lupa, bahwa semua tirani di dunia ini, semua pelanggaran HAM di muka bumi ini, dan semua bentuk ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan dari yang biadab sampai yang terselubung, semuanya itu sah dan punya dasar hukum! Artinya, memenuhi "asas legalitas". Legal, tapi tanpa moral. Bagi Yesus, ada yang lebih tinggi dari pada supremasi hukum. Yang lebih tinggi itu adalah martabat manusia. Karena itu, Ia mengatakan: "Hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia diciptakan untuk hukum". Apa pun yang menginjak-injak martabat manusia, betapa legal-nya sekali pun, ia salah. Ia jahat. Bagi Yesus ada yang lebih tinggi dari pada supremasi hukum. Yang lebih tinggi itu adalah supremasi keadilan dan kebenaran. Karena itu, betapa pun legal-nya, suatu produk hukum yang tidak adil dan tidak benar, kehilangan legitimitasnya. Dan yang paling penting, adalah : Sang Pemberi Legitimitas dan Sang Sumber Hukum itu sendiri: Tuhan! |