SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
SKEPTIS PERLU, ASAL TIDAK TERLALU Oleh: Eka Darmaputera Menurut dugaan saya, sedikit saja orang-orang Kristen yang tidak mengetahui bahwa di antara 66 kitab di dalam Alkitabnya ada satu yang bernama "Pengkhotbah." Namun, saya berani memastikan, di antara yang tahu itu hanya sedikit saja yang menjadikan kitab ini favoritnya. Malah saya tidak terkejut, sekiranya ada yang mengatakan bahwa ia tidak menyukainya. Kitab ini memang lain daripada yang lain. Ia unik. Nyentrik. Melawan arus. Bila semua agama di dunia ini menekankan, kesalehan itu baik dan hikmat kebijaksanaan itu mulia, apa kata Pengkhotbah? "Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan ... segala sesuatu sama bagi sekalian: nasib orang sama baik orang yang benar maupun orang yang fasik; orang yang baik maupun orang yang jahat; orang yang tahir maupun orang yang najis" (9:1-2). Bila Anda bertanya, "Nasib orang sama, bagaimana maksud Anda?" maka Pengkhotbah pun menjawab, "kedua-duanya menuju ke satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu" (3:19-20). Oleh karenanya, kata Pengkhotbah pula, jadi orang itu yang wajar-wajar serta normal-normal sajalah. Yang moderat. Tidak ekstrem. Tidak perlu berlebih-lebihan. Jangan kelewatan. Kalau saleh jangan terlalu saleh, sampai tidak bisa menikmati hidup. Kalau jahat jangan terlalu jahat, sehingga memasang jerat bagi diri sendiri. "Dalam hidupku yang sia-sia, aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya. Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri? Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu? Sesungguhnya di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tidak pernah berbuat dosa!" (7:15-20) * * * Ada lagi yang "mengganggu." Bilamana hampir di seluruh Alkitab ditekankan, bagaimana orang beriman diamanatkan untuk bertekun serta bertahan dalam iman dan pelayanan karena, seperti kata Paulus, "dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia" (1 Korintus 15:58), eee, apa kata Koheleth? "Segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?" (1:2-3). Saya cukupkan sekian saja contoh-contoh tentang betapa "kontroversial" serta membingungkannya kitab ini. Di mana-mana di seluruh kitab ini, kita mencium bau sangit dari sinisme yang menyengat; dan melihat skeptisisme yang mencolok. Maksud saya: sikap Pengkhotbah yang tidak bisa mempercayai apa pun atau menghargai siapa pun. * * * NAMUN karena ini pulalah, kitab ini amat disukai dan banyak dirujuk oleh sekelompok orang. Anehnya, justru oleh para radikalis. Mengapa? Karena kitab ini--seperti ciri khas mereka--berani menggugat serta mempertanyakan apa-apa yang dianggap suci, mapan, dan benar. Cocok sekali dengan situasi terkini kita, bukan? Apa sih yang sekarang tidak digugat dan didebat orang? Semua yang semula dianggap "final" dan "sakral," kini diragukan: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan. Sebaliknya, yang semula dianggap tabu, justru ramai dijadikan wacana terbuka: Piagam Jakarta, Negara Islam, Syari’ah Islam. Dalam Alkitab, ada tiga kitab yang menurut tradisi dianggap sebagai warisan Salomo, yaitu, Amsal, Kidung Agung, dan Pengkhotbah. Tiga kitab yang punya sifat serta karakter yang amat berbeda. Namun orang toh melihat saling keterhubungan menarik di antara ketiganya. Seorang rabi Yahudi mengatakan, yang pertama-tama ditulis Salomo, pastilah Kidung Agung. Inilah karya si Salomo muda. Yang sedang hebat-hebatnya dibakar api asmara, ketika seluruh sisi kehidupan bagaikan puisi. Setelah Kidung Agung, karya selanjutnya adalah Amsal. Ketika Salomo muda telah bertumbuh matang dan dewasa. Ketika hidup tak lagi dilihat puisi yang romantis, tapi sebagai tantangan-tantangan praktis yang menuntut sikap realistis. Lalu yang terakhir, Pengkhotbah,. Kitab ini ditulis setelah Salomo semakin renta. Ketika ia coba menengok ke belakang. Menelusuri liku-liku jalan kehidupan yang telah dilaluinya. Merefleksi semua energi dan jerih lelah yang telah dicurahkannya. Dan kesimpulannya? "Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia" (1:3) Bagi Salomo yang telah memasuki senja, segala sesuatu jadi tampak lebih redup. * * * Pesimiskah ini? Boleh Anda katakan begitu. Tapi bagi saya, realis lebih tepat. Hanya saja, realitas yang dilihat dari sisi yang lain. Bila kitab-kitab lain, melihat realitas dari sudut pandang Tuhan, Pengkhotbah melihat realitas secara lebih "obyektif." Ia melukiskan realitas kehidupan, sekiranya Tuhan tidak ada di situ. Realitas tanpa Tuhan. Kesimpulannya: "kesia-siaan." Sikap skeptis dan sinis Pengkhotbah, saya harap, jangan dijadikan satu-satunya sikap. Bagaimana pun, Pengkhotbah hanyalah satu di antara 66 kitab yang ada. Namun, di lain pihak, jangan pula menyepelekannya. Perspektif, bahkan skeptisisme, Pengkhotbah kita perlukan juga. Sebab, ia mengingatkan agar kita jangan kelewat optimistis. Maksud saya, jangan mempertaruhkan seluruh harapan kepada capaian manusia. Ini pasti mengecewakan. Anda hanya akan memungut kesia-siaan belaka pada akhirnya. Semua yang pernah jadi tumpuan utama harapan manusia, disebutkan oleh Pengkhotbah. Pertama, hikmat dan pengetahuan (baca: "iptek"). Kedua, kesalehan dan agama (baca: "iman" dan "takwa"). Dan ketiga, upaya-upaya pembaharuan (baca: "revolusi" atau "reformasi"). Dalam tiga bidang ini, sebenarnya manusia berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang spektakuler. Tapi persoalannya adalah apakah secara esensial ada yang berubah? Apakah manusia jadi lebih bahagia? Kepentingan rakyat kecil lebih terlindungi? Kehidupan orang miskin lebih terpelihara? Orang dibebaskan dari ketakutan? Atau, seperti kata Pengkhotbah, semuanya berakhir dengan "Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia"? Kata Pengkhotbah, "Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari" (1:9b). Peringatan Pengkhotbah ini perlu. Kita dikembalikan ke realisme yang sehat, dan proporsionalisme yang benar. Banyak yang kelihatannya saja "baru," tapi palsu. Tapi toh memang ada yang baru, dalam arti benar-benar baru! Tanpa sinambung dengan apa pun yang pernah ada. Yang baru yang datang dari Allah. Yang intinya adalah "shalom." Damai sejahtera dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Bila Anda ingin membedakan antara mana yang dari Allah dan mana yang tidak, tolok ukurnya adalah ini: segala sesuatu, sementereng apa pun bungkusnya, bila tidak mendatangkan damai dan tidak membawa sejahtera, ia pasti tidak berasal dari Allah. Sia-sia! |