SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Siapakah Sesamaku Manusia?
Oleh Eka Darmaputera

Kali ini saya ingin mengundang Anda menimba inspirasi dan pelajaran dari seseorang  yang, menurut Alkitab, betul-betul pantas disebut sebagai "orang baik". Bahan perenungan ini, saya akui, telah pula diilhami oleh karya tulis satu "orang baik" lainnya, seorang pejuang HAM dan anti kekerasan yang saya kagumi, Martin Luther King Jr.. Bukankah begitu hakikatnya hidup ini? Saling belajar dan mengajar. Saling memberi dan menerima.

Tokoh kita layak disebut "orang baik", bukan karena loyalitas atau fanatisme pasifnya memegangi doktrin-doktrin agama yang telah ditetapkan, melainkan karena keterlibatan aktifnya dalam upaya meringankan penderitaan manusia. Ia tidak kita kagumi atau acungi jempol, karena ziarah spiritualnya yang panjang telah membawanya tiba di tujuan, namun karena tindakan kasih konkret yang ia praktikkan di sepanjang jalan kehidupan. Singkat kata ia adalah "orang baik", sebab telah menjadi "sesama yang baik" bagi orang lain.

Kepedulian etis yang mengagumkan dari orang ini, mencuat dalam perumpamaan Yesus yang sangat terkenal, "Orang Samaria yang Baik Hati". Sebuah perumpamaan yang berawal dengan sebuah diskusi teologis abstrak tingkat tinggi mengenai makna kehidupan kekal-nanti, di kutub  kehidupan sana. "Guru, apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Pertanyaan ini berakhir dengan sebuah tindakan praktis, yang tanpa kata-kata menjelaskan apa artinya menyatukan diri dengan penderitaan sesama manusia-di sini, antara Yerusalem dan Yerikho, di pinggir-pinggir jalan kehidupan.

Dibuka dengan pertanyaan seorang ahli hukum agama, "Apa yang harus aku perbuat?" Ditutup dengan jawaban Yesus, "Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Maksud Yesus, "Praktikkan sajalah apa yang telah kauketahui dan selalu kaukatakan itu! Tak perlu banyak berfilsafat lagi." Apa yang harus diperbuat itu? "Kasihilah Tuhan Allahmu, dan kasihilah sesamamu."

Si ahli Taurat tidak puas, kemungkinan besar merasa dilecehkan, sebab jawaban Yesus itu "biasa-biasa saja". Jawaban yang "biasa-biasa saja" menurut mereka cocok untuk orang-orang "yang biasa-biasa" pula; untuk orang-orang seperti Jamidin atau Ponimin, Nasiyem atau Saritem. Tapi jelas merupakan penghinaan untuk para pemegang gelar S1, S2, apalagi S3 teologi. Mestinya yang lebih teologis, lebih filosofis, dan lebih akademis, gitu lo!

Sebab itu,  ulama tersebut mengajukan sebuah pertanyaan lagi, yang ia harapkan akan bisa memancing perdebatan teologis yang lebih seru, lebih panjang, dan lebih ilmiah. Sebuah pertanyaan yang memang memenuhi syarat untuk menjadi judul sebuah buku referensi teologi, atau menjadi tema sebuah seminar sehari. "Siapakah sesamaku manusia"?

Namun Yesus tidak menggubris pancingan ter-sebut. Ia tidak mau terjebak dalam sebuah situasi yang lazim disebut sebagai "paralysis of analysis." Artinya: suatu keadaan di mana orang, karena begitu sibuk dan asyiknya menganalisis, lalu "lumpuh," tidak sempat, tidak minat, dan tidak dapat, berbuat apa-apa lagi. Yesus mengerek turun pembicaraan dari kemungkinan berputar-putar di awan-awan, untuk mendaratkannya di sebuah kelokan tajam di jalan antara Yerusalem dan Yerikho.

Siapakah sesamaku manusia? "Aku tak tahu namanya," jawab Yesus. "Dan dalam banyak kasus, tak perlu tahu. Sebab "sesama manusia" itu bisa siapa saja. Sesama adalah siapa saja yang tergeletak tanpa daya di pinggir-pinggir jalan yang kaulalui. Tak penting apakah ia Yahudi atau Samaria, Islam atau Kristen, Afghanistan atau Amerika, warga keturunan atau pribumi.

Yang jelas, ia adalah sosok manusia nyata  yang  sedang mengerang menanti pertolongan, di begitu banyak jalan antara Yerusalem dan Yerikho di muka bumi ini." Begitulah, Saudara, bagaimana Yesus mendefinisikan "siapakah sesamaku manusia." Bagi Yesus, persoalan "siapakah sesamaku manusia" bukanlah bagian dari sebuah wacana perdebatan tingkat tinggi, melainkan bagian dari situasi dan pengalaman kehidupan sehari-hari.

* * *

DALAM ilmu etika, apa yang dilakukan orang Samaria itu, yaitu menolong korban kesewenang-wenangan yang terkapar di tepi jalan, biasanya disebut sebagai tindakan "altruisme". Apakah "altruisme" itu? Istilah ini, di dalam kamus, biasanya dijelaskan sebagai "perbuatan yang didorong oleh rasa kepedulian terhadap, serta diabdikan bagi, kepentingan orang lain". Orang Samaria itu kita sebut "baik", karena ia telah menunjukkan kepedulian (= concern, care) kepada orang lain, teristimewa yang menderita, sebagai prinsip hidupnya yang  utama dan pertama.

Cuma itu? Ternyata tidak. Sebab di dalam beberapa hal, altruisme yang dilakukan oleh orang Samaria tersebut, berbeda secara prinsipiil dengan "perbuatan baik" para altruis umumnya.

Pertama, altruisme tokoh kita adalah "altruisme yang universal". Disebut 'universal', karena kepeduliannya kepada sesama itu melampaui batas-batas ras, agama, kebangsaan, dan pembatas lainnya. Padahal kecenderungan naluriah manusia pada umumnya adalah, seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan Belanda, "soort zoekt soort". Masing-masing mencari yang se-"jenis"-nya; yang se-"level". Yang putih cari putih, yang kuning cari kuning.

Altruisme universal ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Di wilayah-wilayah konflik, kita tahu, tidak semua korban ditangisi. Ada yang diratapi, sebab berasal dari kelompok sendiri. Namun ada pula yang disoraki, karena berasal dari kelompok lawan. Orang-orang yang melakukan "sweeping KTP" di Makasar baru-baru ini, adalah contoh paling menusuk tentang bagaimana orang, walau mungkin 'intelek', bisa begitu terjerembab ke titik nadir kenaifan, kepicikan, dan kesewenang-wenangan. Dan bagaimana orang, walau mengaku modern, sebenarnya pantasnya tinggal di gua-gua, sebab tidak mampu berinteraksi dengan yang berbeda.

Untuk kurun waktu yang amat panjang, umat manusia hidup dalam kecupetan pemahaman, bahwa 'sesama' mereka adalah orang-orang yang 'sama' dengan mereka. Sebab itu perintah "jangan membunuh", serta-merta dimengerti sebagai "jangan membunuh sesama Yahudi, tapi tumpas orang Filistin atau Amori".

Anda mengagumi Yunani karena demokrasinya? Untuk pengetahuan Anda, demokrasi mereka waktu itu cuma berlaku bagi lapisan aristokrat, bukan bagi segenap rakyat. Sedang bagi sementara orang di Amerika, pernyataan bahwa "semua orang diciptakan setara" adalah berarti "semua orang kulit putih diciptakan setara"; tapi tidak yang "hitam", "merah", atau "kuning".

Kecenderungan serupa terjadi di beberapa negara agama. Memang mereka menegaskan, betapa kebebasan beragama berlaku bagi semua. Tapi dalam kenyataan, ini cuma berlaku selama atau sepanjang  yang beragama lain tunduk kepada hukum agama yang mayoritas. Hak-hak minoritas, kata mereka, dilindungi. Tapi yang dilindungi adalah hak-hak mereka sebagai warga negara kelas dua atau kelas tiga.

* * *

APAKAH konsekuensi dari altruisme yang provinsial seperti itu? Yang jelas adalah kepedulian menjadi sangat terbatas. Perhatian kepada  kelompok lain-kalau ada-biasanya lebih didorong oleh perasaan cemburu atau perasaan terancam. Memperhatikan, dengan mata curiga.

Pada tataran yang lebih praktis, provinsialisme selalu berakibat tragis. Martin Luther King Jr. menuturkan apa yang terjadi ketika sebuah bis yang mengangkut rombongan pemain bola basket-semuanya hitam-mengalami kecelakaan. Beberapa terluka parah. Tapi ketika ambulans tiba, tanpa minta maaf, si sopir mengeloyor pergi. "Ambulansnya tidak untuk mengangkut negro," katanya. Ketika seorang pengendara mobil yang kebetulan lewat berbaik hati membawa para korban ke rumah sakit terdekat, dokter jaga serta-merta menolak. "Rumah sakit ini khusus untuk orang kulit putih," dalihnya. Dan tatkala para korban akhirnya tiba di rumah sakit yang mau melayani mereka, 100 kilometer dari situ, seorang mati ditengah jalan, dan dua orang lagi menyusul setengah jam kemudian.

Sisi paling tragis dari provinsialisme adalah,  bahwa manusia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Ini adalah akibat semacam penyakit rabun dekat atau miopia rohani. Orang-orang tidak mampu dan tidak mau melihat sesamanya sekadar sebagai sesama. Tapi plus label-label atau cap-cap tertentu. Karena itu, Yohan tidak sekadar disebut "Kristen", tapi "Kristen KTP"; berbeda dengan Yofan yang adalah "Kristen Lahir Baru". Pendeta Simon itu "liberal", berbahaya!  Penginjil Yoas itu "fundamentalis", hati-hati! Dan sebagainya.

Inilah yang tidak dilakukan oleh orang Samaria yang baik hati itu. Kalau ada yang terpenting yang dapat kita pelajari dari orang ini, maka itu adalah bagaimana ia berhasil menghilangkan selaput katarak dari mata rohaninya. Sehingga ia tidak lagi melihat si korban sebagai Yahudi, tetapi semata-mata sebagai sesama.