SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Setengah Kebenaran Mesti Ditelanjangi Oleh: Eka Darmaputera "Terus teraang ... terang teruus ...". Ingatkah Anda siapa yang "menyanyikan" kalimat tersebut dengan suara serak, tiga perempat sumbang, menyakitkan telinga? Benar! Pak Bendot. Tokoh tua Srimulat yang punya wajah memelas dan mudah membuat orang iba, tapi selalu jadi objek perlakuan "sewenang-wenang" rekan-rekannya. Ia kini telah almarhum. Bagaimana dengan kalimat "Habis gelap, terbitlah terang"? Kalimat ini mengingatkan Anda kepada siapa? Ya, Anda benar lagi! Ia adalah judul tulisan RA Kartini. Lha, kalau yang berikut ini: "Kamu adalah terang dunia"? Sungguh keterlaluan, bila Anda sampai salah. Itu adalah kata-kata Yesus, tentu saja. Ucapan Yesus ini adalah kata-kata pujian. Anda dan saya seharusnya merasa sangat tersanjung. Berbunga-bunga. Mengapa? Sebab secara tidak langsung, melalui kalimat itu, Yesus mempersamakan kita dengan diri-Nya! Di Injil Yohanes, Ia bersabda, "Selama Aku di dalam dunia, Aku-lah terang dunia". Sekarang Ia berkata, "Kamu adalah terang dunia". Jelas kan, saudara, kesimpulannya? Ia dan kita sama-sama "terang dunia". Namun, jangan buru-buru membusungkan dada! Ini baru merupakan separo dari seluruh kenyataan. Maksud saya, baru mengemukakan aspek indikatif-nya. Baru menjelaskan siapa kita. Bahwa kita adalah "terang dunia". Apa yang sebenarnya terjadi sehingga kita kok bisa sama Dia? Sebabnya adalah karena Yesus bersedia menyamakan diri-Nya dengan kita. Dengan menjadi sama dengan kita, konsekuensi-nya adalah kita pun menjadi "sama" dengan Dia. Iya, kan? Bila Anda ingin berjalan seiring selangkah dengan anak Anda, yang panjang langkahnya jauh berbeda, apa yang harus dilakukan? Mudah sekali! Anda--yang berlangkah lebih panjang--mesti menyesuaikan diri. Memperlambat dan memperpendek langkah. Bukan sebaliknya, anak Anda yang kecil itu yang mesti lari terbirit-birit mengejar Anda. Ini juga merupakan metode pemerataan yang efektif. Maksud saya adalah bahwa yang kecil, yang lemah, yang papa. dan yang di bawah, tak mungkin kita paksa untuk melompat atau mengejar, agar menjadi sama dengan yang di atas. Tenaga mereka terlampau kecil. Kemauan serta semangat mereka pun, biasanya telah amat surut. Yang harus terjadi adalah yang sebaliknya. Yang di atas dan yang lebih berpunyalah yang mesti bersedia turun, menyatakan solidaritas ke bawah, untuk meraih dan memberdayakan mereka! "Kamu adalah terang dunia". Kita dimungkinkan dan dimampukan menjadi "terang dunia" (walau dengan huruf kecil), karena Sang "Terang Dunia" (yang huruf besar), berkenan "mengecilkan diri", menjadi sama dengan kita. Orang-orang miskin jangan dipersalahkan karena kekurangan mereka, dan orang-orang kecil jangan disesali karena ketidakberdayaan mereka. Keterkurungan mereka ke dalam belenggu "budaya kemiskinan" (Peter Berger), selalu pertama-tama adalah kesalahan dan tanggung jawab yang kuat dan yang kaya. Karena yang berlebih enggan "turun" untuk berbagi kelebihan mereka! Dan lebih terkutuk lagi, bila yang kuat memanfaatkan kekuatan mereka, dan yang kaya memanfaatkan kekayaan mereka, justru untuk mengeksploitasi si lemah dan si papa! * * * Yang kita bicarakan ini, baru satu sisi saja dari pernyataan Yesus. Sisi yang indikatif. Sisi yang memberi penjelasan, siapa kita yang sebenarnya. Namun, masih ada sisi yang lain. Seperti pedang, pernyataan Yesus selalu mempunyai dua "mata". Kalau yang satu adalah sisi yang indikatif atau yang mesti diketahui, maka sisi yang lain adalah yang imperatif atau yang mesti dilakukan. Antara keduanya--yang indikatif dan yang imperatif--itu ada hubungan yang erat. Yang indikatif merupakan konsekuensi dari yang imperatif. Sebaliknya, yang imperatif merupakan persyaratan untuk yang indikatif. Hanya apabila "perintah" terpenuh, maka "upah" akan dilunasi. Hanya kalau yang imperatif ditaati, maka yang indikatif terealisasi. "Kamu adalah Terang Dunia" mengimplikasikan bahwa untuk menjadi "terang dunia", kita mesti berkutat sekuat tenaga, berjuang sepenuh hati, untuk menjadi imitasi Sang Terang Dunia. "Kamu adalah terang dunia". Apa saja implikasi praktisnya? Yang paling pertama ditekankan oleh Yesus ternyata adalah, bahwa: "terang dunia" berarti transparan. Tembus pandang. Visible. Kata-Nya, "kota yang di atas gunung, tidak mungkin tersembunyi". Di dunia ini, orang Kristen tidak main "petak umpet", ia bukan spion melayu yang tengah menyaru. Penekanan pada transparansi ini membuat kita mesti mempertanyakan keabsahan teologis dari cara-cara pekabaran Injil yang terselubung dan "sembunyi-sembunyi". Sebagian memuji cara ini sebagai tindakan kreatif dan cerdik, tapi saya mengecamnya sebagai manipulatif dan licik. Maksud sebenarnya memberitakan Injil, tapi mengakunya dan lagaknya seperti "tukang mindring". Dengan tujuan bisa bebas keluar masuk kampung, tanpa takut dikejar kelewang. Menurut Anda, patutkah ini? Yesus mempertanyakannya, "Mengapa menyalakan pelita, lalu meletakkannya di bawah gantang?" Apakah mungkin suatu tipu muslihat yang terencana dibenarkan oleh motivasinya yang "luhur"? Padahal, kata Yesus, bila orang memilih untuk menolak Injil, biarkanlah dengan bebas mereka menolaknya. Ucapkan selamat tinggal, kebaskan debu dari kakimu, lalu tinggalkan kota dengan baik-baik. Petrus dan Yohanes juga begitu. Pada satu pihak, mereka menolak diam ketika dibujuk untuk bungkam. Di lain pihak, mereka lebih memilih dipenjarakan, sebagai konsekuensi atas pembangkangan mereka kepada manusia, dan sekaligus ketaatan mereka kepada Allah, dari pada mencari-cari jalan yang cerdik. Mereka memilih untuk berjalan di jalan yang lurus dan terang. Pelita harus diletakkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah. * * * Transparan juga berarti kekristenan yang sejati tidak pernah tersembunyi. Iman kristiani bukanlah KTP, yang dibawa-bawa di dalam saku. Tapi bukan pula seperti papan billboard untuk dipamer-pamerkan. Iman adalah untuk disaksikan. Iman adalah untuk dimanifestasikan melalui seluruh kehidupan. Tuhan tidak hanya berkata, "Kamu adalah terang, titik". Tapi: "Kamu adalah terang dunia". Terang itu mesti memancar ke luar, ke dunia. Sebab itu, sebagaimana yang telah berulang-ulang saya katakan, orang Kristen mesti ekstrovert. Maksud saya, harus menaruh kepedulian yang sangat terhadap dunia. Saya mengatakan ini sebab saya menyaksikan gejala yang amat memrihatinkan. Saya menyaksikan, semakin banyak saja orang Kristen yang bersikap seperti "orang kaya" dalam perumpamaan Yesus. Yang kepeduliannya dan kesibukannya adalah berpesta pora, makan enak, memuaskan nafsu hedonisme rohani mereka. Kegemarannya adalah mengejar "makanan rohani" yang "enak" -- di "restoran" mana saja. Apakah "sehat" itu nomor dua. Yang penting, "nikmat". Kelihatannya yang mereka lakukan itu sungguh terpuji. Berupaya memuaskan lapar dan dahaga mereka akan kebenaran. Tapi sayang seribu sayang, "benar" mereka identikkan dengan "lezat". Mereka tak menaruh kepedulian sedikit pun pada "lazarus-lazarus" yang duduk di depan pintu gerbang rumah mereka, sedang menanti remah-remah makanan yang jatuh dari meja si kaya. Orang-orang "kaya" ini adalah "terang" -- mungkin -- tapi pasti bukan "terang dunia"! "Kamu adalah terang dunia". Ini juga berarti, pada prinsipnya tidak ada kekristenan yang tersembunyi. Seseorang pernah dengan tepatnya mengatakan, "Menjadi murid Kristus secara rahasia itu mustahil. Mengapa? Kemungkinan pertama, ke'rahasia'an itu akan menghancurkan ke'murid'an-nya. Atau, kemungkinan kedua, yang sebaliknya. Ke'murid'an itulah yang akan mendobrak tembok-tembok ke'rahasia'an-nya." Ini adalah peringatan Tuhan bagi mereka, yang dengan "enteng" menyembunyikan imannya ke bawah karpet, demi jabatan, atau promosi, atau jodoh, atau laba, atau "selamat". Anda tidak bisa berlindung di belakang dalih, "Pokoknya dalam hati saya kan tetap percaya kepadaNya!" Komentar saya: iman memang mesti berakar di hati. Tapi bagaimana mungkin, sesuatu yang ada di dalam hati, tidak termanifestasi? Bagaimana mungkin membungkus "terang" ke dalam kain? Mungkin Anda bertanya, bagaimana dengan mereka -- yang karena situasi ekstrem mereka -- tidak mungkin secara terang-terangan mengekspresikan iman mereka? Jawab saya: Benar, kita lebih baik jangan mengadili mereka. Situasi ekstrem menuntut perlakuan khusus. Namun, saya toh mempunyai keyakinan bahwa seperti halnya dengan Nikodemus, ke"rahasia"an itu selalu bersifat sementara. Ada satu saat, di mana Nikodemus mesti menyatakan, di mana ia berdiri dan apa yang ia yakini. Saat ini datangnya bisa cepat, bisa lambat. Caranya, bisa amat terbuka, bisa pula sangat terbatas. * * * "Kamu adalah terang dunia". Implikasi yang lain adalah terang selalu bersifat menelanjangi kepalsuan. Tidak heran, perbuatan jahat cenderung dilakukan di dalam keremangan. Tugas kita sebagai "terang dunia" adalah menyalakan terang peringatan -- warning light -- menunjukkan mana yang "benar" dan mana yang "salah". Juga menjadi terang pembimbing -- guiding light -- menuntun orang menuju kepada kebenaran. Ini merupakan tugas yang sangat mendesak dan relevan. Sebab demi rasa aman, betapa banyak orang cenderung bersikap ambigu. Mereka memang tidak memuja kesalahan. Tapi tidak pula kebenaran. Yang mereka pegangi adalah "setengah kebenaran". Benar tidak, salah pun tidak. Otak manusia moderen dijejali bukan terutama dengan "dis-informasi", atau informasi yang salah, melainkan oleh "mis-informasi". atau informasi yang setengah benar. Oleh kebenaran yang telah dibengkokkan atau disajikan tidak sepenuhnya. Iklan-iklan dan setiap propaganda (termasuk propaganda agama!) pada hakikatnya berisi kebenaran jenis itu. Anggota-anggota parlemen kita juga sering memilih sikap cari aman itu: menerima tidak, menolak pun tidak -- lalu membolos atau abstain. Tugas kita adalah menelanjanginya. Memperlihatkan apa yang sebenarnya ada di balik jargon-jargon politik yang manis-manis itu. Bangsa ini telah terlalu lama dan terlalu banyak diracuni oleh setengah kebenaran semacam itu. Membuat kita sekarang kehilangan orientasi dan kepekaan terhadap kebenaran yang sejati! Karena itu, bangsa ini memerlukan bangkitnya seorang "yohanes" yang berani menelanjangi kepalsuan "herodes". Selama dunia ini masih menunggu, itu berarti orang Kristen belum melaksanakan tugasnya sebagai "terang dunia". |