SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Seks, Dulu Merana Kini Primadona
Oleh Eka Darmaputera

Seorang rekan pendeta dari Australia bercerita, bahwa di gerejanya ada tiga macam dosa, yang disebutnya "dosa tak berampun", khususnya bila pelakunya adalah seorang pendeta. Pertama, yang terberat, adalah dosa di bidang ajaran. Misalnya, menganut atau mengajarkan doktrin yang sesat. Dosa berat kedua, adalah dosa di bidang keuangan, misalnya, korupsi. Dan yang ketiga, adalah dosa di bidang moral, misalnya seks.

Saya tidak terheran-heran mendengarnya. Mengapa? Sebab di gereja saya di Indonesia, juga berlaku hal yang sama bahkan sampai ke urut-urutannya. Yang paling "serius", misalnya, adalah dosa di bidang ajaran. Sebab ini menyangkut Tuhan: kebenaran tentang Tuhan, kebenaran dari Tuhan.

Kemudian yang "sedikit kurang serius" adalah, dosa di bidang keuangan. Sebab eksesnya mengena pada kesejahteraan sesama manusia. Sedang yang "paling kurang serius" dari ketiganya adalah, dosa di bidang moral. Mengapa? Karena akibat buruknya "cuma" menimpa diri sendiri.

Anehnya, walaupun secara rasional begitu, dalam kenyataan - maksud saya, dalam pandangan dan perasaan orang - urut-urutannya justru sebaliknya. Di gereja saya, seorang pendeta yang mengajarkan hal-hal yang "melenceng" - asal tidak sangat keterlaluan - mudah sekali dimaafkan. Selama kotbahnya menarik, orangnya simpatik, dan "human relationship"nya baik, it's ok. "Lamun soal tinggi-tinggi bagitu, eta teh urusan bapak-bapak di luhur. Abdi mah teu nyaho".

Yang lebih dipergunjingkan orang adalah bila jemaat punya "pendeta matre" alias "mata duitan"; atau punya hobi "ngemplang"; apa lagi bila kedapatan menggelapkan uang. Namun, toh masih banyak juga yang bersedia menerima kenyataan ini. "Yah, dimaklumi sajalah, habis gaji pendeta itu berapa sih".

Tapi situasinya berbeda 180 derajat, bila seorang pendeta kedapatan atau tertangkap basah melakukan "zinah". Bahkan kampanye bisik-bisik pun sudah dimulai, dan cepat sekali meluas, walau yang terjadi baru "dugaan" ke arah itu. Biasanya, tak ampun lagi, pendeta seperti itu harus segera "out".

* * *

HUKUM ketujuh Dasa Titah, "JANGAN BERZINAH", memang cuma menduduki urutan ke-7. Tapi dalam hal keseriusannya? Tak diragukan lagi, pasti menempati nomor satu.

Ada yang berpendapat, bahwa sikap seperti ini adalah sisa-sisa mentalitas zaman "victorian" atau "puritan" beberapa abad lalu. Zaman ketika "kesucian" -- khususnya "kesucian seksual" -- amat ditekankan. Dan ditekankan sedemikian eksesifnya, sehingga yang dihasilkan justru amoralitas yang lebih parah. Amoralitas yang saya maksud adalah, tindakan dan sikap yang tidak manusiawi.

Konon, Sigmund Freud melahirkan "teori psiko-analisis"nya yang termashur itu, sebab didorong oleh banyaknya orang yang mengalami stres, depresi, bahkan sampai bunuh diri, gara-gara tidak tahan hidup dalam dualisme seksual.

Pada satu pihak, secara alamiah, mereka merasakan dorongan seksual yang meronta-ronta menuntut penyaluran. Namun di pada pihak lain, mereka berhadapan dengan tuntutan moral masyarakat, yang menghendaki mereka menekan kuat-kuat dorongan seksual tersebut. Hasilnya, ya situasi yang saya sebut "amoral" tadi. Situasi yang tidak manusiawi.

Tuntutan menekan dorongan seksual secara berlebih-lebihan, bila tidak membuat orang depresi, biasanya membuat orang munafik. "Kemunafikan victorian" yang masih kentara melekat pada sikap moral orang-orang kristen sampai sekarang. Ketika seksualitas digayuti oleh 1001 macam tabu dan pamali. Dianggap kotor dan menjijikkan. Karenanya, ia menjadi kegiatan yang hanya boleh dilakukan dalam "gelap". Tak layak dibicarakan secara terbuka.

Yang tak banyak disadari orang adalah, bahwa justru karena ia cuma boleh dilakukan dalam "gelap" itu, maka segala amoralitas yang terjadi lalu tak terawasi. Padahal, entah berapa banyak dan berapa ragam perkosaan, penindasan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di balik pintu yang terkunci rapat itu!

* * *

KINI pendulum - khususnya dalam kehidupan nyata di luar gereja - telah bergerak - mungkin lebih tepat, melompat -- ke kutub yang ektsrem berbeda. Dari merana, sekarang seksualitas menjadi primadona. Dieksplorasi, dieksploitasi, dan dimanipulasi habis-habisan. Nafsu syahwat diumbar, seolah-olah itulah kunci dan sumber kebahagiaan manusia.

Seks bebas, pornografi, promiskuitas, dan deviasi seksual, menjadi gaya hidup, bahkan lambang status. Baca saja, misalnya, "Jakarta Undercover"-nya Moammar Emka. Dan seiring dengan itu, kriminalitas seksual juga menjadi-jadi. Sekarang ini, apa lagi sih yang tidak di"seksual"kan?

Ketika seksualitas diusung dari "kegelapan", dan kini "dipajang" telanjang di tempat terang, muncullah masalah baru. Orang cenderung menjadi jenuh dan muak. Mereka bertanya, tak ada lagikah tempat bagi sopan santun, misteri dan kesucian? Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah, ketika semua tabir dan tabu diangkat dari sudut kehidupan manusia yang paling pribadi, maka apa yang tersisa?

Ketika semua menjadi halal dan tak ada lagi yang haram, itu berarti tak ada pula yang bisa disebut "suci". Dan ketika tak ada lagi yang terlarang, hukum hilang. Hidup menjadi bagaikan lalu lintas yang padat, tapi tanpa rambu-rambu.

Mengingat semua itu, tak ayal lagi, hukum ke-7 berbicara mengenai hal yang sangat sentral dalam kehidupan manusia. Ia tidak sekadar berbicara mengenai salah satu organ tubuh manusia, melainkan mengenai seluruh kehidupan. Seluruh kehidupan yang perlu disucikan, atau ia akan kehilangan nilai dan urgensinya untuk dibela dan dipertahankan mati-matian. Orang tak akan berkelahi demi secarik lap kotor, bukan?

Kita perlu dengan serius mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki, mengenai bagaimana menjalani hidup ini dengan seluruh kesukacitaan, tapi juga dengan sepenuh kekhidmatan. Dan kehidupan seksual adalah wilayah yang paling tepat untuk dijadikan "proyek percontohan" untuk itu.

* * *

MANUSIA, tak perlu diragukan, adalah makhluk seksual. Sudah begitu adanya, sejak ia tercipta. Kejadian 1:27 menjelaskannya sebagai berikut, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarnya .; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka".

Yang pertama-tama diperkenalkan oleh alkitab tentang manusia, bukanlah tentang berapa tangan atau kaki atau telinga yang dimilikinya. Bukan tentang apakah ia berjalan merayap atau melangkah tegak. Dan bukan pula bahwa ia memiliki otak yang proporsional paling besar di antara semua makhluk. Tapi apa? Alkitab memperkenalkan manusia sebagai "laki-laki" dan "perempuan".

Kesadaran seksual ini terus berlanjut. Juga ketika kesetaraan laki-laki dan perempuan menjadi salah satu simbol terpenting zaman ini. Berikut ini adalah contohnya.

Bayangkanlah Anda sedang berada di rumah sakit menunggu kelahiran putra atau putri Anda. Lalu bidan memberitahukan bahwa bayi Anda telah lahir. Nah, pertanyaan apa atau pernyataan apa yang pertama-tama keluar dari mulut Anda? Dugaan saya adalah, "Laki-laki atau perempuan, zus?". Atau malah sebelum Anda sempat bertanya, barangkali bidan itu telah mengatakannya, "Selamat, pak, anak bapak "perempuan" (atau: "lelaki")!".

Jadi seksualitas memang menduduki posisi sentral dalam kemanusiaan kita. Baik secara teologis, maupun secara praktis. Sebab itu, sekali lagi, sangat penting bagi kita untuk memahaminya -- dan kemudian menyikapinya - dengan benar.

* * *

KHUSUSNYA, seperti telah saya singgung di atas, ketika sekarang ini kita sedang terpontang-panting di tengah-tengah sebuah "revolusi seksual" (baca: "disorientasi seksual") yang amat dahsyat, yang belum pernah ada presedennya sejak awal kelahiran kekristenan.

Disorientasi seksual ini telah menyebabkan banyak sekali orang kristen tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tergagap-gagap, karena nilai-nilai lama berguguran jauh lebih cepat ketimbang munculnya nilai-nilai baru yang menggantikannya.

Sebagian yang lain, karena begitu mencemasi perubahan ini, mengambil sikap yang reaksioner. Mereka mengutuk semua perubahan, dan tanpa kompromi memerangi apa saja yang mereka sebut sebagai "maksiat". Mereka tidak mau tahu bahwa bumi terus berputar, zaman terus berubah, dan sejarah terus bergerak ke depan. Mereka mau - kalau perlu dengan pedang atau pentungan - memutar sejarah ke belakang.

Kedua-duanya, sungguh, tidak menjanjikan penyelesaian. Sebaliknya hanya akan menambah keruwetan. Yang memilih menghanyutkan diri, akan terus terseret arus, sampai satu saat terbentur atau terdampar entah di mana.

Sedang yang menutup diri, bukan hanya akan mendapati bahwa usaha membendung sejarah itu sia-sia, bagaikan usaha menggenggam angin. Tapi juga akan menciptakan konflik yang tidak perlu. Menghancurkan warung remang-remang dan tempat biliar, saya jamin, tidak akan membawa pengaruh baik apa-apa. Kecuali menyebarkan ketakutan, menanam kebencian, dan . memperpanjang penderitaan.