SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Segala Sesuatu Ada Tarifnya Oleh Eka Darmaputera SEMAKIN tinggi sebuah pohon, semakin kencang pula angin menderanya. Itulah bedanya "pohon pantai" dengan tanaman yang disemai di "pondok hijau" (= "green house"). Tanaman-tanaman "lunak" ini, justru aman-aman di cuaca apa saja. Didera angin kencang. Inilah harga yang mesti dibayar oleh sebuah sukses - kadang-kadang. Kian tinggi kedudukan, kian banyak orang ingin menjolok - sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Hukum besi kehidupan ini tidak mengecualikan seorang pun. Malah justru pemimpin-pemimpin yang "baik"-lah, yang paling rentan terhadap situasi ini. Mengapa kontradiksi ini? Sebab, seperti kita simak dari kitab Ayub, Iblis merasa risih dan penasaran, setiap kali ia melihat ada orang yang "saleh dan jujur; takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" hidup aman. (Ayub 1:1). "Gatal", tak bisa diam. Ia akan berpikir keras mencari jalan, untuk menghancurkan reputasi gemilang orang "baik" itu. Iblis berusaha membuktikan, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang hatinya melekat pada Allah, atau benar-benar dengan suka cita menyembah-Nya, tanpa ada pamrih apa-apa. Di balik batu, ada udangnya. Di balik puja, ada maunya. Kata Iblis, mempertahankan tesisnya itu di hadapan Allah, "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa, Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia, dan rumahnya, serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya Kau berkati, dan apa yang dimilikinya makin bertambah. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya. Ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu" (1:10). Tak percayakah Engkau, Allah? Buktikan saja! Dan dari sinilah berawal kisah panjang penderitaan Ayub. Ayub yang malang, si "kelinci percobaan". MAKA, mengingat semuanya itu, dengan ini saya serukan, agar pemimpin-pemimpin rakyat yang bersusah-payah berupaya mengabdi tanpa pamrih, apalagi yang diberkati Allah dengan kedudukan yang tinggi, kekuasaan yang besar, dan tanggungjawab yang luas - Anda bersiap-siaplah! Jangan lengah! Godaan atau pencobaan pasti akan datang! Lalu sewaktu pencobaan ini Anda alami, please, saya mohon, jangan Anda berkata, "Lho, saya 'kan sudah berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya, selurus-lurusnya, sejujur-jujurnya. Mengapa saya masih harus mengalami ini pula?!" Justru karena Anda telah berusaha sebaik-baiknya itulah, semua itu Anda alami. Ini, saya tahu, merupakan perjuangan yang sangat berat. Sebab Iblis, dengan lihainya, selalu menyerang titik-titik lemah manusia - "tumit Akhiles"nya. Pada Abraham sampai Elia, titik lemah ini adalah "rasa aman" mereka. Sedangkan pada Saul - sebelum menjadi "Paulus" - adalah fanatisme keagamaannya. Tidak jarang, Iblis juga memanfaatkan orang-orang yang paling dekat, yang karenanya permintaannya atau rayuannya sulit kita tolak. Bila bukan Hawa, Adam tak mungkin begitu mudah terbujuk. Bila bukan karena Herodias, Herodes tak mungkin memancung kepala Yohanes. Dan senjata Iblis yang paling ampuh adalah, tatkala ia menawarkan pertimbangan yang (seolah-olah) pragmatis dan rasional. "Ayo, kapan lagi?! Masakan rezeki di depan mata Anda sia-siakan? Soal benar atau salah, itu urusan belakang!" Bila kita hanya sekadar mengandalkan kemauan dan kemampuan kita bertahan saja maka, wah, saya jamin, kemungkinan kita untuk kalah adalah jauh lebih besar ketimbang kemungkinan kita untuk menang. Sebab itu, saya mohon, wahai para pemimpin, sehebat apa pun Anda, jangan jumawa! Jangan sesumbar, "Kalau saya? O, tak mungkin saya kalah!". Petrus pernah sesumbar begitu. Hasilnya, ia salah. Ia kalah. TAPI sebaliknya, jangan mau menyerah! Anda mesti bertahan! Anda mesti melawan! "Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh!" (1 Petrus 1:8-9). Dengan mengerahkan segenap daya, dan dengan berkat Tuhan, Anda bisa menang! Dengan susah payah, memang, tapi bisa. Lihat Ayub! Ayub harus melawan provokasi istrinya! Ayub harus melawan argumentasi sahabat-sahabatnya. Dan yang paling berat, Ayub harus melawan semua perasaan-nya sendiri! Berat nian perang batin yang harus ia alami. Tapi ia berhasil! Dan kalau Anda bertanya, apa resep kemenangannya, jawabnya adalah: Ayub menang justru ketika ia bersedia menerima kalah dan mengaku salah di hadapan Allah! Mengakui kedaulatan Allah - sepenuhnya! Sebulat-bulatnya. MENGINGAT bahwa cobaan, di satu sisi, adalah keniscayaan yang tak terhindarkan, dan, di lain pihak, menyadari betapa beratnya perjuangan bila melawan, maka -- di samping selalu bersikap eling lan waspada -- , setiap pemimpin hendaknya "siap mental" menghadapinya. Caranya? Dengan berusaha sejauh mungkin mengenali karakter "lawan" yang akan dihadapi. Seperti yang biasa dilakukan oleh dua regu olah-raga yang, menjelang pertandingan penting, berusaha saling mengintai kekuatan lawan. Dengan mengutus orang menyaksikan lawannya bertanding atau berlatih. Dengan memutar dan mempelajari video yang merekam permainan lawan. Dan sebagainya. Setiap pemimpin seyogianya juga serius bersiap diri seperti itu. Dalam rangka itulah, kali ini saya ingin memutarkan bagi Anda "video", tentang salah satu lawan kita yang terpenting. Saya namakan saja, musuh kita itu "ROH YUDAS". Saya sebut "roh", karena orangnya - si Yudas Iskariot - kita tahu sudah tidak ada lagi. Sudah mati menggantung diri. Tapi "roh"nya, "semangat"nya, o, masih sangat aktif merajalela di mana-mana -- merasuk ke sini merasuk ke sana. Lawan kita ini amat berbahaya, terutama karena kelicikan dan kelicinannya. Ia langsung menusuk dan menyusup ke jantung pertahanan orang. Hadir dan beroperasi sebagai bagian dari diri orang tersebut.. Mengendalikan seluruh motivasinya dari dalam. Hebatnya, tanpa yang bersangkutan menyadari bahwa ia "kesusupan". YUDAS Iskariot adalah salah seorang dari 12 murid Yesus. Ia memang tidak termasuk "lingkaran dalam", seperti Yakobus, Petrus atau Yohanes. Tapi pasti cukup dekat. Buktinya, Yesus mempercayakan tugas yang vital kepadanya. Sebagai "pemegang kas". Selama 3? tahun, ia bersama-sama dengan sang Guru. Menjelajahi jalan-jalan berdebu sepanjang jazirah Palestina, menyusuri tepian danau Galilea, mendaki jalan berbukit menuju Yerusalem. Memecah roti, berdoa, belajar. Bersama-sama. Ini berlangsung dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari tahun ke tahun. Selama 3? tahun. Bukan waktu yang pendek. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa hubungan antara mereka berdua dangkal dan tipis, hanya menyentuh permukaan. Hubungan batin antar mereka sedikit banyak pasti mendalam. Namun demikian toh murid yang seorang ini - Yudas Iskariot ini - kemudian menjadi pengkhianat-Nya. Kita bertanya, mengapa? Bagaimana setan sampai bisa menguasainya begitu rupa? Kok bisa-bisanya? Matius menjelaskan begini, "Kemudian pergilah Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: 'Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?' Mereka membayar 30 uang perak kepadanya. Dan mulai saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus" (26:14-16) ́Mulai saat itu ." Kapan "saat itu" mulai? Jawabnya: sejak Yudas bersedia melakukan apa saja, tergantung dari "APA YANG HENDAK KAMU BERIKAN KEPADAKU?" Sejak Yudas beranggapan, bahwa apa pun benar dan halal untuk ditransaksikan, asal ada kecocokan mengenai "APA YANG HENDAK KAMU BERIKAN KEPADAKU?" ROH YUDAS adalah itu. Roh yang memandang segala sesuatu oke, bila tercapai kesesuaian atau kesepakatan antara "Kamu minta apa?" di satu pihak, dan "Aku terima apa?" di pihak yang lain. Betapa sering kita menilai orang seperti Yudas Iskariot, dengan mulut mencibir dan pandangan mencemooh. Ia kita sebut "si pengkhianat nista". Dan kita sesumbar seperti Petrus, "Biarpun mereka semua (begitu), aku sekali-kali tidak!" (Matius 26:33). Padahal, lihatlah, betapa akrab dan menyatunya "roh Yudas" itu sebenarnya, dengan praktek keseharian hidup kita! Seperti dalam filem "Indecent Proposal", yang (kalau tidak salah) dibintangi oleh Demi Moore dan Michael Douglas, Anda ingat? Filem itu mempermasalahkan benar-tidaknya tesis, bahwa di dunia ini segala sesuatu ada harganya. Bahwa pada akhirnya, yang menentukan adalah, "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku .?" Kebenaran? Prinsip? Agama? Kesetiaan? Harga diri? Anda mengatakan, ini tidak diperjual-belikan? Yang saya lihat dalam praktik, justru sebaliknya. Meniru Basuki, "Lewaaaaaat .!". "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku?" Inilah motivasi kepemimpinan jenis pertama. Yang menghasilkan tokoh-tokoh semacam Yudas. Tapi Yesus memperkenalkan motivasi kepemimpinan yang lain. Yakni, "APA YANG DAPAT KUBERIKAN KEPADAMU?" Tepat di titik inilah, saudara, dua tipe kepemimpinan tiba di persimpangan! Tepat di titik ini pulalah, Anda, wahai para pemimpin, sudah mesti punya pilihan yang tegas! "Roh Yudas" atau "Roh Yesus"? |