SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Sederhana Itu Tidak Sederhana Oleh Eka Darmaputera Banyak orang merasa "risih" dengan hal-hal yang sederhana. Simplifikasi atau "penyederhanaan" dianggap sebagai pendangkalan dan pemangkasan kekayaan nuansa suatu fenomena. Ini pantangan keras bagi para cerdik cendekia. Sebab sesuatu yang "ilmiah" adalah bila yang "sederhana" bisa dibuat menjadi "tidak sederhana". "Penyederhanaan masalah" cuma pantas dilakukan oleh "orang-orang sederhana". Yakni orang-orang yang berpendidikan rendah (alias "bodoh"), dan yang penampilannya pun "sederhana". "Sederhana" yang ini, artinya: tidak "modis", jauh dari dunia gemerlapan, tidak mengikuti selera zaman. Mereka begitu, karena terpaksa begitu. Dan terpaksa begitu, karena kemampuan mereka ya memang cuma sampai di situ. Bila ada yang "mampu" tapi toh berpenampilan "begitu"-seperti Bob Sadino, si pemilik Kem Chick itu, misalnya -ini namanya "nyentrik". Tidak umum. "Kesederhanaan" karenanya cuma indah di tingkat penuturan, dan mungkin mengagumkan sebagai tontonan. Tapi untuk diterapkan ke diri sendiri? Wah, umumnya ini cuma bila sangat terpaksa. Mode mutakhir yang menonjolkan penampilan "sederhana" - biar "selebor" asal nyaman atau "comfi" - ternyata sama sekali tidak murah dan sederhana. Sebuah celana jean yang warnanya "belang-blentong", lututnya sobek, dan ujung-ujungnya seakan-akan lupa dijahit, harganya bisa ratusan ribu rupiah. Begitu pula kemeja "butut" yang tidak pernah bisa licin diseterika, atau kaus oblong buntung yang "pletat-pletot" bentuknya. Percaya atau tidak, yang mampu mengenakan ini, bukanlah "orang-orang sederhana". * * * * KARENA orang merasa kurang terhormat dengan hal-hal yang sederhana itulah, maka doa yang diajarkan oleh Yesus, "BERILAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI YANG SECUKUPNYA" pun, menurut pendapat beberapa orang, perlu difahami dan ditafsirkan lebih mendalam. Supaya tidak terlalu vulgar! Sebab, menurut mereka, tidak masuk akal-lah bila Yesus, Tuhan yang Maha Mulia itu, berbicara-apalagi mengajar-murid-murid-Nya, berdoa untuk sekadar minta roti atau nasi atau tiwul atau mi. Tambahan lagi, bukankah Ia sendiri pernah mengajarkan, " Janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah" (Matius 6:31-32)? Doa ini, kata orang-orang itu, karenanya mesti kita maknai secara lebih "canggih". Agustinus, misalnya, mengartikan "makanan" dalam doa Yesus, sebagai roti dalam sakramen Perjamuan Kudus yang seharusnya dirayakan setiap hari. Bila tafsiran Agustinus ini benar, maka doa ini lalu berarti memohon berkat Tuhan atas "roti" yang dipecahkan dan "anggur" yang dituangkan di "meja"-Nya yang kudus itu. Dengan kata lain, doa ini hendak mengingatkan, bahwa di samping "roti" bagi tubuh kita yang adalah hasil jerih lelah kita, setiap hari kita membutuhkan pula "roti rohani" bagi jiwa kita yang adalah "pemberian" Tuhan semata-mata. Karena itu kita berdoa, "Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya". * * * * JADI, sekali lagi menurut mereka, "makanan" yang dimaksud adalah "roti rohani"; "roti sorgawi"; "roti hidup". Dan ini adalah siapa lagi bila bukan Yesus sendiri? Ia yang berkata, "Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman" (Yohanes 6:51, 54). Penggubah KIDUNG JEMAAT 464 juga me"rohani"kan makna "roti" tersebut. Dalam liriknya, Mary Artemisia Lathbury (1877) menulis: "Tuhan, pecahkanlah roti hayat, bagai di tasik dulu Kau buat. Kau kerinduanku, ya Tuhanku, Dikau kucari dalam sabda-Mu. Kau Roti hidupku, Firman kudus; ajar 'ku makan roti itu t'rus. Kau kes'lamatanku dan hidupku; bri kucintai kebenaran-Mu". Dibayangkan di sini betapa kehidupan rohani manusia itu juga bisa merana kelaparan, kecuali bila setiap hari secara teratur diberi "makanan", yaitu Firman Tuhan. Makanan itu sebenarnya telah siap tersaji di hadapan kita. Namun tak ada artinya apa-apa, bila kita tidak bersedia meraihnya, menyuapkannya ke mulut kita, mengunyahnya, menelannya, dan mencernanya. Doa Yesus, menurut tafsiran ini, hendak mengingatkan kita akan dimensi kebutuhan ini: membaca dan merenungkan isi Alkitab secara teratur setiap hari. "Berilah kami pada hari ini makanan kami". * * * * DENGAN cara penafsiran seperti itu, doa kita memang lalu kelihatan "lebih kaya", "lebih subtil", "lebih dalam". Tidak terlalu "vulgar" dan tidak terlalu "sederhana" lagi. Namun sebagai tafsiran, yang selalu perlu kita tanyakan adalah, benarkah "tafsiran kita" itu sesuai dengan "maksud-Nya"? Artinya, ketika Tuhan mengajarkan doa tersebut, benarkah memang masalah "sakramen" itulah yang terlintas di benak-Nya? Benarkah soal "makanan rohani" yang hendak disampaikan-Nya? Atau hal pentingnya "membaca Alkitab"? Atau bukan? Saya cenderung mengatakan, "Tidak". Keyakinan saya adalah, yang Ia ucapkan itulah, yang Ia maksudkan. Yesus bukan seorang "eufimis". Ia tidak pernah berusaha membungkus berita buruk dengan kata-kata manis. Bagi-Nya, "kelaparan" ya "kelaparan", bukan "kelangkaan pangan". "Melarat" ya "melarat", tidak menjadi "pra-sejahtera". Itulah gaya Tuhan kita. "Ya" untuk "ya"; "tidak" bila "tidak". Berbeda sekali, bukan, dengan gaya bicara penggede-penggede kita? "Saya tidak mencalonkan diri, tetapi .". "O, saya setuju saja mengundurkan diri, tetapi ." Eufimisme adalah penyakit dan kegenitan orang kota. Sedang Yesus adalah orang desa. Gaya-Nya lugu, jujur, terus-terang, tanpa pretensi. Tak pernah merasa risih atau kehilangan gengsi dengan hal-hal yang kecil dan sederhana. Rakyat kecil-dengan siapa Yesus mengidentifikasikan diri-Nya-memang begitu. Silakan Anda tanya apa pendapat mereka tentang "demokrasi" atau "demonstrasi". Jawab mereka pasti, "Ah, bagi kami orang kecil, yang penting mah asal bisa makan, anak-anak bisa sekolah, dan semua aman-aman ajah". Mengatakan, "Bagi saya yang penting asal bisa makan", bagi mereka, bukanlah soal gengsi. Seperti Yesus, yang juga tidak merasa "minder" berbicara soal roti, soal ikan, soal garam, soal ragi, dan soal biji sesawi. Itu alasan saya, mengapa saya yakin benar, bahwa apa yang Ia ucapkan, itulah yang Ia maksudkan. Salah satu sifat Allah yang hakiki adalah itu. Tak pernah membuat jarak antara kata-kata dan realita. Tak pernah menggali jurang antara yang diucapkan dan yang dimaksudkan. Tak pernah membangun tembok antara yang dikatakan oleh mulut dan yang dikerjakan oleh tangan. Tak pernah bersikap "lain di depan lain di belakang"; atau "lain di mulut lain di hati". Bila Anda mau merefleksikan Allah, teladanilah integritas-Nya! Buang jauh-jauh kemunafikan dan kepalsuan! * * * * "BERIKANLAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI YANG SECUKUPNYA". Menurut anggapan Anda, doa ini masih juga terlalu dangkal, terlalu vulgar, dan terlalu sederhana? Dari satu sisi, Anda tidak salah berpendapat begitu. Doa ini memang tidak bermaksud bicara yang "dalam-dalam" atau yang "tinggi-tinggi". Ia mau berbicara mengenai hal-hal yang amat sederhana, masalah kebutuhan hidup manusia sehari-hari: "Makan apa saya hari ini?" Ya. Namun, di balik kesederhanaannya itu, doa ini sesungguhnya mempunyai implikasi yang luar biasa. Yaitu, bahwa Tuhan memperkenankan kita membawa persoalan-persoalan kita yang "sepele" dan "sederhana", kebutuhan-kebutuhan hidup kita yang kongkret dan nyata, di dalam doa-doa kita! Allah kita tidak cuma mau peduli terhadap "orang-orang besar" dengan "persoalan-persoalan besar". Melainkan Allah yang punya perhatian khusus kepada "orang-orang kecil" dengan "persoalan-persoalan kecil". Soal "makanan mereka sehari-hari". Ia bersedia mendengarkan doa si Cynthia kecil, yang mengkhawatirkan anjingnya, sebab akan ditinggal pergi berlibur ke Bali selama beberapa hari. Berkenan memberi tempat di hati-Nya bagi keluhan para petani yang sawahnya puso akibat kemarau panjang. Hati-Nya bergetar mendengarkan protes diam para nelayan yang kehilangan sumber nafkah mereka, sebab pantai di mana mereka tinggal selama ratusan tahun akan direklamasi menjadi daerah pariwisata. Ia merintih bersama nenek tua yang kambuh penyakit rematiknya. Resah bersama anak-anak muda yang tak melihat banyak harapan di masa depan mereka. Ikut gamang bersama dengan buruh-buruh lepas, yang sewaktu-waktu bisa kehilangan pekerjaan. Bila di zaman sulit ini, sulit pula mencari orang-orang yang bersedia mendengarkan keluhan-keluhan kita, apalagi mengenai soal-soal yang "remeh" dan "sepele", doa ini hendak membesarkan hati kita, karena kita punya Tuhan yang bersedia mendengarkan dengan penuh perhatian setiap keluh-kesah kita. Di hadapan-Nya, tak ada orang yang terlalu kecil, dan tak ada persoalan yang terlalu sepele. Termasuk soal "makanan kita untuk hari ini". Itulah "Bapa kita yang di sorga". Konsekuensinya, untuk hal-hal yang paling kecil sekali pun, kita harus menyadari dan mengakui ketergantungan kita kepada-Nya. Sebab tak satu bulir padi pun yang kita peroleh, dan tak satu butir nasi pun yang kita telan, yang bukan anugerah Allah. Karena itu doa kita, "Berilah kami hari ini makanan kami yang secukupnya". |