SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Sebuah Homili Bagi yang Teraniaya Oleh: Eka Darmaputera Anak-anakku, Aku rasa jauh lebih baik bila aku bicara jujur saja. Terbuka. Apa adanya. "Ya" kalau memang "ya". "Tidak" kalau memang "tidak". Walau berbicara seperti itu, aku tahu, ketika mendengarnya, tidak menyenangkan. Tapi akhirnya, percayalah, pasti tidak akan menyakitkan. Sebaliknya, menyembunyikan kenyataan hanya akan menunda kekecewaan. Bahkan kian tinggi harapan dibawa terbang, bila terhempas, ngilunya sampai ke tulang. Ya, walaupun aku tahu pula, bahwa selalu ada saja "orang-orang aneh", yang agaknya lebih suka dibodohi, dibuai, dan dibelai, oleh iming-iming hampa, ketimbang melihat realitas yang sebenarnya. Karena itu, di zaman apa pun selalu ada nabi-nabi palsu, yang profesinya berdagang pengharapan semu, dan ... laku! Orang menyukainya, karena berita mereka memang enak di telinga, walau menyesatkan dan mempedaya. Terus terang saja aku khawatir, jangan-jangan mimbar-mimbar gereja kalian sekarang, juga penuh dengan hal-hal beginian. Sebab di zaman susah seperti sekarang, banyak orang pergi ke gereja untuk mencari hiburan. Katakanlah, untuk ber-"window-shopping" serta menikmati rekreasi rohani. Kotbah yang laku adalah yang entertaining (= menghibur), bukan yang challenging (= menantang). Karena orang sudah capek dan jenuh dengan kenyataan, mereka mencari "dunia fantasi" dan "taman impian". Dan di pusatnya, harapan semu itu. Semua ini, sudah barang tentu, menyedihkan hatiku. Tapi aku tidak terkejut. Tak ada yang aneh di situ. Sebab di bidang kerohanian pun, berlaku hukum pasar: di mana ada permintaan, di situ ada penawaran. Tapi hendak aku tegaskan, pantang bagiku menawarkan harapan palsu, cuma supaya "dagangan"-ku laku. Malah sebaliknya. Kepada mereka yang mau mengikutku cuma bermodalkan semangat sesaat, aku sarankan agar menghitung-hitung dulu biayanya. Sanggupkah mereka membayar risikonya nanti? Aku mau semua jelas dan transparan sejak awal. Yaitu, bahwa kedatanganku ke dunia bukanlah membuat hidup manusia menjadi mudah. Aku diutus Bapa, untuk membuat hidup manusia menjadi mulia. Karena itu, bukan "Injil Sukses" atau "Injil Kemakmuran" yang kutawarkan, tapi "Injil Pertobatan"! Tidak cuma kedamaian, tetapi juga pedang. Tidak hanya pintu sorga, tapi juga pintu penjara. Walau tentu aku akui, aku menawarkan kebahagiaan juga. Tapi dengar baik-baik, siapa yang aku sebut "berbahagia". Anak-anakku, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi sebelum kamu." Apakah teraniaya itu mes? Tentu saja tidak dalam bentuk yang sama seperti yang dialami oleh para martir di abad-abad silam. Namun di lain pihak, bila kalian benar-benar setia, persahabatan yang mesra dengan dunia agaknya juga tak mungkin pula. Di seluruh tataran dan tatanan kehidupan, tak terhindarkan, kalian akan mengalami banyak konflik kesetiaan--dengan segala risikonya. Ini, anak-anaku, adalah aniaya tersendiri. Kalian yang mencari nafkah di bidang bisnis (atau politik, atau hukum, atau ketentaraan, atau profesi apa pun), tidak dapat tidak, mesti menghadapi saat-saat sulit yang serba dilematis itu. Misalnya, apakah kalian menjalankan bisnis kalian sama persis seperti orang-orang dunia menjalankan bisnis mereka? Di satu sisi, orang mengatakan bahwa "uang adalah buta warna" dan "bisnis adalah bisnis"--tidak membeda-bedakan mana yang Kristen dan mana yang bukan. Tapi di sisi yang lain, kalian tahu bahwa ada begitu banyak praktik bisnis yang tidak dapat kita tolerir begitu saja. Atau toh bila kalian terpaksa melakukannya juga, ini pasti akan membuat kalian teraniaya secara batin. Jangan kalian sangka, bahwa ini cuma persoalan orang moderen. Beberapa ribu tahun yang lalu, seorang saudagar Kristen datang kepada Tertullianus guna menyampaikan pergumulan batinnya. Yaitu, bagaimana sulitnya memadukan antara hukum Kristus dan hukum dagang. Merelasikan antara apa yang ia maui dengan kenyataan yang ia hadapi. Di akhir kata-kata curahan hatinya, saudagar itu--dengan nada putus asa--berkata, "Apa yang bisa aku lakukan, ya bapa? Aku toh mesti hidup?!" Konon, Tertullianus menjawab sangat singkat dan sangat telak, "Oya?! Mestikah?!" Betapa pun berat aniaya, anak-anaku, ketika kalian mesti memilih antara "setia" atau "hidup", antara "integritas" atau "realitas", ia sebenarnya tak perlu berfikir apa-apa lagi. Ia cuma boleh memilih satu saja: kesetiaan. Anak-anakku, Aniaya--baik batin maupun fisik--tidak terbatas cuma terjadi dalam kehidupan profesi. Tapi terjadi juga dalam kehidupan sosial dan keluarga. Bukan hanya pada masa-masa lalu, tapi sampai sekarang. Misalnya ketika, demi iman kalian, kalian dicampakkan ke luar dari lingkungan kalian, mesti hidup dalam kesendirian dan kesepian, sebab dikucilkan oleh lingkungan sosial maupun keluarga. Bila ini terjadi, alangkah pedihnya! Entah berapa kali dan berapa orang, yang jiwanya meraung kesakitan, nyaris tak kuat menanggung kesepian. "Tuhanku, tidak mungkinkah aku mengikut Engkau, tanpa perlu harus tercerabut dari lingkunganku?" Tentu saja tidak selalu terjadi begitu. Tapi kalian mesti siap. Sebab mengenai ini, aku telah memberi peringatan yang sangat jelas, "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya". Ayat ini, aku tahu, banyak disalah-tafsirkan dan disalah-gunakan, ironisnya, justru khususnya oleh pendeta-pendeta tertentu. Jangan kalian sangka bahwa aku tidak tahu, bagaimana mereka menyalah-gunakan kata-kataku itu, untuk memisahkan anak dari orangtua mereka, atau istri dari suami mereka, dengan tujuan agar menunjukkan loyalitas mutlak mereka hanya kepada si pendeta! Alangkah bejatnya! Pendeta-pendeta itu jelas-jelas telah memperkosa makna kata-kataku. Sebab itu. jangan kalian ikuti kata-kata mereka! Sebab kalau kalian benar-benar Kristen sejati, bukan kalian yang harus meninggalkan siapa pun--apa lagi keluarga sendiri! Tapi sebaliknya, kalian lah yang akan ditinggalkan oleh mereka--karena aku! Kalian tak perlu memusuhi siapa pun. Sebab kalian-lah yang akan dimusuhi! Anak-anakku, tentu pertanyaanmu adalah, mengapa sudah teraniaya, toh aku katakan kalian "berbahagia"? Berikut ini adalah beberapa alasanku. Pertama, bagi seorang kekasih, tak ada kebahagiaan yang lebih besar, dari pada kesempatan untuk menyatakan serta membuktikan kasihnya itu. Nah, bila kasih itu benar-benar memang kasih sejati, maka tak ada cara yang lebih otentik untuk membuktikannya ketimbang melalui pengorbanan. Dan tak ada pengorbanan yang lebih besar dan lebih berharga, dari pada berkorban diri. Jadi, kalian yang teraniaya, dan dinista, dan difitnah karena aku, aku sebut "berbahagia", mengapa? Karena melalui itulah, kalian memperoleh kesempatan menyatakan kasih dan kesetiaan kalian. Jangan kalian contoh ungkapan "kasih" seorang aktifis gereja berikut ini. "Ya, Gusti sembahanku serta tambatan sukmaku! Betapa aku mengasihimu dengan sepenuh hatiku, dengan segenap jiwaku, dan dengan sepenuh akal budiku--plus seribu rupiah dari kantongku. Tidak lebih! Gombal! Kedua, aku menyebut kalian yang teraniaya "berbahagia", karena melalui itu kalian mengalami apa yang sebelumnya dialami oleh para nabi. Menapak-tilasi jalan berdarah yang pernah mereka lintasi. Ikut serta dalam prosesi besar orang-orang suci yang telah "mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba". Lalu bersama dengan para syuhada, pada akhir zaman nanti, kalian duduk di tribun kehormatan. Membahagiakan, bukan, kehormatan ini? Ketiga, aku sebut kalian yang teraniaya "berbahagia", karena melalui pengalaman ini, kalian menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Tidak pernah di kesempatan lain, Tuhan begitu dekat seperti di saat-saat aniaya! Seperti pengalaman Sadrakh, Mesakh dan Abednego, yang dicampakkan ke tanur api karena kesetiaan mereka kepada Allah. Ketika tak seorang mampu mendekat ke tanur tersebut karena panasnya, apa yang dilihat oleh Nebukadnezar dengan terheran-heran? "Bukankah tiga orang yang telah kita campakkan dengan terikat ke dalam api itu? Tetapi (mengapa) ada empat orang kulihat berjalan-jalan dengan bebas di tengah-tengah api itu; mereka tidak terluka, dan yang keempat itu rupanya seperti anak dewa!?" Bagi Sadrakh, Mesakh dan Abednego, tidak ada peristiwa yang lebih membahagiakan, dari pada ketika Tuhan begitu dekat dengan mereka. Ketika itulah, aniaya yang paling hebat pun menjadi tidak bermakna. Orang yang sepanjang hidupnya dikejar-kejar oleh rasa takut akan aniaya, dan karenanya mempergunakan segala daya hanya untuk menghindarinya, adalah orang yang paling tidak berbahagia. Sebaliknya yang paling berbahagia adalah mereka yang bisa hidup dengan tenang, melangkah dengan pasti, dan memandang ke depan tanpa keraguan di hati. sebab rintangan dan aniaya apa pun tak lagi mampu menakut-nakuti. Tubuh mereka penuh parut luka, tapi jiwa mereka bebas merdeka! Berbahagia. |