SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

SEBERAPA LAPAR DAN HAUSKAH ANDA AKAN KEBENARAN?
Oleh: Eka Darmaputera

Menurut Yesus, siapakah orang yang berbahagia? Siapakah warga teladan Kerajaan Allah? Ia menjawab, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." Lalu kita pun mengangguk-anggukkan kepala kita, tanda setuju. Pikir kita, "Tentu saja! Siapa lagi, kalau bukan para pencinta kebenaran, yang pantas disebut warga teladan Kerajaan Allah?!"

Kita menyangka, bahwa kita paham betul akan apa yang dikatakan oleh Yesus.

Padahal tidak. Sebagian terbesar dari kita, tidak memahaminya. Orang-orang yang masih bisa membaca koran setiap hari, atau memiliki lemari es di rumahnya, atau makan di restoran sekali-sekali, tidak mungkin memahami perkataan Yesus. Mengertinya, barangkali ya. Tapi menghayatinya, kemungkinan besar tidak.

Mustahil kita memahami apalagi menghayati perkataan Yesus, sebelum kita memahami benar apa artinya "lapar" dan apa artinya "haus" yang sebenarnya. Kita menyangka lapar dan haus adalah pengalaman kita sehari-hari. "Kemarin saya rapat nonstop dari pagi sampai sore, tanpa lunch break. Wah, lapar benar rasanya! Sebab itu begitu rapat selesai, segera kami menyerbu warung makan di seberang jalan."

Bila ini yang Anda maksudkan dengan lapar dan haus, maka Anda belum memahami apa yang Yesus maksudkan. Kita memang sering merasa lapar dan haus. Tapi ada warung makan di seberang jalan. Ada dispenser dan lemari es di rumah kita. Atau masak mi instan--3 menit selesai.

Sebenarnya amat sedikit orang tahu, apa artinya lapar dan haus yang sebenarnya. Menyadari kenyataan inilah, beberapa lembaga kemanusiaan mentradisikan gerakan berpuasa secara teratur setiap tahun. Misalnya selama 30 jam berturut-turut tidak diperkenankan menelan makanan apapun, kecuali minum air putih. Tujuannya? Supaya yang bersangkutan secara pribadi dapat merasakan, bagaimana sih rasanya lapar dan haus itu. Dan karena itu, lebih bersungguh-sungguh pula dalam menolong sesama yang berada dalam keadaan tersebut.

Ide yang jempol, memang! Namun demikian, cara tersebut toh tidak menjamin apa-apa. Sengaja membuat diri lapar selama 30 jam, sungguh tak dapat dibandingkan dengan orang-orang yang tanpa mereka mau harus hidup kurang makan dan kurang minum bertahun-tahun lamanya, bahkan mungkin sepanjang usia mereka, seperti misalnya yang terjadi di Korea Utara, Sudan dan Etiopia.

* * *

TATKALA Yesus mengucapkan kata-kata itu, maka yang ada di benak-Nya adalah situasi nyata di sekitar-Nya waktu itu. Situasi di mana para buruh dan petani kecil memperoleh penghasilan yang amat minim. Begitu minimnya, hingga sekadar cukup untuk membuat mereka tidak mati. Namun dari waktu ke waktu menempatkan mereka berada di perbatasan antara "lapar" dan "mati kelaparan".

Begitu pula ketika Yesus mengucapkan kata "haus". Yang terbayang di dalam pikiranNya adalah, sebagian besar masyarakat Palestina yang hidup amat jauh dari sumber air besih. Seperti saudara-saudara kita di Gunung Kidul, mereka pun harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya, untuk memperoleh air satu dua buyung. Apa lagi di musim kering.

Dengan demikian yang ingin saya tegaskan adalah, bahwa ketika Yesus berbicara tentang "lapar" dan "haus", Ia tidak berbicara tentang rasa lapar yang cukup di-"ganjal" dengan beberapa potong pisang goreng atau croissant keju. Ia juga tidak berbicara tentang rasa haus yang cukup terpuaskan dengan meneguk secawan kopi panas atau sekaleng soda dingin.

Yang Ia bicarakan adalah orang-orang yang berada dalam keadaan, di mana survival atau kelangsungan hidup mereka tergantung sepenuhnya pada ada tidaknya makanan dan minuman. Orang-orang yang mesti makan dan minum, bukan sekadar mencicipi kudapan. Atau mereka akan mati. adaan ketika makan dan minum tidak merupakan bagian dari kenikmatan, tapi telah menjadi soal hidup atau mati. Sesuatu yang tidak dapat tidak.

* * *

OLEH karena itu, di dalam realitas, kata-kata Yesus itu memperhadapkan kepada kita sebuah "pertanyaan" sekaligus sebuah "tantangan". Maksud saya, seberapa bersungguh-sungguhkah Anda menginginkan kebenaran? Apakah Anda mendambakannya laksana orang yang nyaris mati kelaparan atau hampir mati kehausan? Seberapa "lapar" dan "haus"-kah Anda akan kebenaran? Begitu tergantung kepadanya? Dan tak mungkin hidup tanpa itu?

Kalau hanya masalah menginginkan kebenaran saja, wah, siapa yang tidak?! Setiap orang punya naluri untuk menginginkan kebenaran. Tapi, ya begitulah, keinginan tersebut seringkali adalah keinginan yang "biasa-biasa" saja. Artinya, bila dapat, ya puji syukur. Tapi kalau tidak, ya apa hendak dikata ?! Tidak ada kekosongan ataupun keresahan mengikutinya.

Padahal yang Yesus kehendaki adalah, kedambaan akan kebenaran yang begitu tajam dan intens-nya, yang mendesak-desak terus dari dalam tanpa henti, membuat orang bersedia mengerahkan seluruh tenaga, bahkan bila perlu membayar harga yang amat tinggi.

Orang bisa mempunyai komitmen yang begitu hebat, bersedia melakukan apa saja, guna mendapatkan kekasih yang telah lama diincarnya. Orang juga bersedia mengerahkan seluruh daya, dana, dan tenaga untuk meraih sukses yang sebesar-besarnya Bahkan bisa begitu ngotot dalam perdebatan dengan tetangga, mengenai mana kesebelasan sepak-bola yang terbaik di dunia saat ini.

Tetapi seberapa besarkah komitmennya kepada kebenaran? Bersedia berkorban baginya? Mau ngotot mempertahankannya? Ringkas kata, seberapa "lapar" dan "haus"-kah yang bersangkutan akan kebenaran?

* * *

DI SAMPING sebuah tantangan, perkataan Yesus ternyata juga adalah sebuah penghiburan yang luar biasa besar bagi kita semua. Memang, pada sisinya yang satu, di situ ada tuntutan yang sangat tinggi, sangat dahsyat, dan karenanya sangat mengerikan. Namun di sisi yang lain, kita juga dapat bernafas amat lega.

Sebab, bila dipelajari dengan cermat, yang dituntut oleh Yesus, ternyata bukanlah bahwa kita harus berhasil mencapai tingkat kebenaran yang tertinggi. Bila keberhasilan-lah yang dijadikan patokan, wah, habislah kita semua. Sebab siapa dapat mengatakan di dapan Yesus, bahwa ia telah memiliki semua kebenaran?!

Tapi yang berbahagia, menurut Yesus, sekali lagi, bukanlah orang yang telah berhasil merangkul dan merangkum semua kebenaran. Melainkan ia yang--terlepas dari segala kegagalan dan keterbatasannya--merindukan kebenaran dengan sepenuh hati, segenap jiwa, dan seluruh akal budinya.

Kemuliaan manusia yang sejati tidaklah terletak pada kesempurnaannya. Keluhurannya adalah bilamana di jurang dosa sedalam apa pun di mana ia berkubang, ia masih mendengar kebenaran tak pernah berhenti mengetuk pintu hatinya, dan memanggilnya kembali. Atau, menurut William Barclay, bila di lumpur kejatuhannya yang pekat dan dalam, ia toh tak seluruhnya lupa akan syahdunya cahaya bintang-bintang.

Raja Daud berobsesi serta berambisi untuk membangun sebuah rumah ibadah bagi Allah. Tapi karena masa silamnya yang kelam, Tuhan menolak. Daud tak pernah mampu mewujudkan kerinduannya. Namun demikian, kata Alkitab, Allah toh bersedia mengakui, "Maksudmu itu memanglah baik."

Allah tidak menghakimi manusia, hanya berdasarkan prestasi-prestasinya, tapi juga berdasarkan mimpi-mimpinya, kedambaannya, dan apa yang diperjuangkannya. Karenanya, kita tak perlu terlalu risau, bila kita tetap tak mampu mencapai tingkat kebaikan yang sempurna, sampai ke akhir hayat kita. Sebab yang jauh lebih penting bagi Allah adalah, apakah sepanjang umur hidup kita itu, kita "lapar" dan "haus" akan kebenaran.

* * *

ADA hal lain yang perlu kita catat dari kata-kata Yesus. Bila kita memeriksa lebih teliti teks bahasa aslinya, ternyata apa yang dikatakan oleh Yesus, mengambil bentuk yang amat khas, yang tidak biasa dijumpai dalam pemakaian sehari-hari. Yang biasa adalah, bila orang mengatakan "Saya lapar akan roti", maka yang dimaksudkannya adalah "Saya lapar akan sepotong roti". Begitu pula bila orang mengatakan "Saya haus akan air". Yang ia maksudkan ialah, "Saya haus akan seteguk air atau secawan air".

Tapi bentuk tata-bahasa yang dipakai oleh Yesus, sungguh berbeda. Ketika Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran", maka yang artinya adalah "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan seluruh kebenaran". Yang lapar dan haus akan kebenaran yang lengkap, yang paripurna, yang menyeluruh. Bukan kebenaran yang sepenggal-sepenggal.

Namun bukankah dengan sedih hati harus kita akui, bahwa justru itulah yang acapkali terjadi? Saya kenal seseorang, yang benar-benar lapar dan haus untuk merumuskan apa itu kebenaran. Seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk itu. Tapi, sayang seribu sayang, cuma kebenaran dalam teori doang. Sedang dalam praktik hidupnya? O, jauh! Yang ini bukanlah segenap kebenaran.

Ada pula orang yang dalam kehidupan pribadinya, amat terpuji integritas moralnya. Kejujurannya, keteguhannya memegang prinsip, kesalehannya, membuat banyak orang terkagum-kagum, mengangkat topi dan mengacungkan jempol. Kendati demikian, jangan Anda harap orang ini menjadi alamat yang tepat, bagi orang yang sedang berdukacita mencari penghiburan, atau bagi orang yang sedang bimbang mencari keteguhan, atau bagi orang yang membutuhkan dan mencari pertolongan. Terhadap orang-orang ini, ia tidak menaruh kepedulian. Yang ini, juga bukan segenap kebenaran.

Kebenaran, saudaraku, tidak mengenal kualifikasi "lumayan". Terhadap apa yang disebut sebagai "kebenaran", kita tidak bisa mengatakan "Ya, lumayanlah!" atau "Not too bad-lah". Orang harus benar seluruhnya dan selengkap-lengkapnya, atau tidak sama sekali. Karena itu, Yesus tidak memberi tempat berlindung bagi seorang pemimpin yang hebat prestasinya, tapi hebat pula korupsinya. Ia tidak memberi suaka bagi orang-orang yang--seperti Hitler--bisa sangat sayang kepada kucing dan anak-anak, tapi hatinya dibakar benci kepada orang-orang Yahudi. Seluruh kebenaran atau tidak sama sekali.

Tuntutan Yesus ini jelas tak mungkin bisa kita penuhi. Manusia yang tidak pernah sempurna, mustahil bisa memiliki kebenaran yang paripurna. Tapi, puji Tuhan, Anda toh masih bisa berbahagia. Sebab, sekali lagi, yang berbahagia, bukanlah orang yang berhasil mencapainya. Melainkan orang yang sungguh-sungguh "lapar" dan "haus" untuk menggapainya.