SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Saya Pemimpin? Apa Iya Sih?
Oleh Eka Darmaputera

Bila untuk memenuhi kriteria sebagai pemimpin, seseorang harus kapabel sekaligus fleksibel; pemberani sekaligus hati-hati; tegas sekaligus bijak; berpandangan jauh ke depan sekaligus teguh berpijak di kekinian; dan ”sekaligus-sekaligus” yang lainnya lagi; maka, wah, di mana kita dapat menemukan manusia sesempurna itu?!

Wajar, bukan, bila kemudian orang berkesimpulan, bahwa pemimpin itu tergolong ”makhluk langka”? Cuma bisa dilahirkan, tak mungkin dibentuk. Kemunculannya hanya bisa ditunggu, tak mungkin direncanakan atau diusahakan. Anda ingat bagaimana orang Tibet ”mencari” bayi titisan, bakal pengganti Dalai Lama mereka?

Memang tak dapat disangkal, kepemimpinan yang baik tentu saja menuntut persyaratan istimewa. Pemimpin bukan ”orang biasa”. Lebih sekadar ”biasa-biasa”. Namun perkenankanlah saya mengingatkan, bahwa terlampau melebih-lebihkannya pun, saya harap jangan Anda lakukan. Sebab akibatnya, bisa panjang dan serius.

APA misalnya? Misalnya orang lalu jadi terlampau cepat menerima begitu saja ketika dipimpin oleh ”pemimpin-pemimpin gadungan”. Terlalu cepat memaafkan para ”pejabat” yang sebenarnya tak lebih dari ”penjahat”.

Alasan mereka: sebab pemimpin yang memenuhi syarat itu, amat sulit didapat. Jadi, apa boleh buat, tiada rotan akar pun berguna.

Tak mengherankanlah, bila di tengah krisis kepemimpinan yang parah di tanah-air kita sekarang ini, orang tidak merasakan urgensi untuk mempersiapkan kader-kader atau calon-calon pemimpin secara serius dan terencana.

Banyak yang malah memilih untuk pasif menunggu munculnya seorang ”satrio piningit” – yang entah kapan tibanya. Disebut ”piningit”, karena sekarang ia masih dalam keadaan ”dipingit” atau ”disembunyikan”, menunggu saat yang ditentukan para dewa untuk tampil.

Jadi kalau sekarang kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin ”busuk”, ya maklumlah. Boleh saja Anda tidak suka – ini pun wajar-wajar saja --, tapi ”ojo nggege mongso”. Jangan memaksakan keadaan! Jangan memaksakan sesuatu sebelum waktunya! Nrimo saja, ini yang paling bijaksana!

Sikap apatis, fatalis, dan pasif seperti ini amat berbahaya. Sebab secara tak langsung ia membiarkan pemimpin-pemimpin ”busuk” bebas merajalela ke mana-mana dengan leluasa.

Dan bila ketidakpuasan cuma bisa ditekan, kita mesti lebih khawatir lagi. Sebab sampai kapan ia bisa bertahan, sebelum meledak?

PAHAMLAH kita sekarang, mengapa begitu amburadulnya keadaan kita. Sebab sang satrio piningit, kepada siapa semua harapan bertumpu, siapa dia sebenarnya tak ada orang tahu. Bahkan orang tak pernah pasti, benar-benarkah ia akan muncul? Dan andaikata pun ia muncul juga, bagaimana orang tahu, bahwa ia-lah dia?

Demikianlah sementara orang sibuk berandai-andai, para ”tikus” dan para ”kecoa” – pemimpin-pemimpin gadungan itu – berkembang biak dengan cepatnya. Seraya dengan giatnya menggerogoti bangunan rumah kita, yang bernama Indonesia.

Tapi bukan cuma dugaan yang berbau mistis seperti di atas saja, yang beranggapan bahwa pemimpin sejati itu ”antik” dan ”langka”. Seorang pakar kepemimpinan yang amat terkenal – nota bene, seorang penulis yang rasional, intelektual, dan juga religius – , juga punya kesimpulan yang sama.

Dengan perspektif yang pasti berbeda, ia tiba pada kesimpulan, bahwa, ”Sangat sedikitlah orang yang diahirkan atau ditakdirkan sebagai pemimpin. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Namun sebaliknya, semua orang – tanpa kecuali -- dilahirkan dan dipanggil untuk menjadi pelayan”.

Inti yang ingin ia sampaikan adalah, bahwa bila ”kepemimpinan” itu hanya ditakdirkan hanya bagi sangat sedikit ”orang pilihan”; ”kepelayanan” sebaliknya. Kepelayanan ditakdirkan untuk semua orang. Dan ”takdir” ini terus melekat, tak pernah tanggal dari bahu manusia.

Ya sekali pun, katakanlah, yang bersangkutan kini sudah menjadi seorang pemimpin. Si pemimpin ini toh tetap seorang pelayan.

Seorang hamba. Ia harus menjalankan kepemimpinannya itu sebagai seorang pelayan. Itu sebabnya, ia menamakan teorinya itu ”Kepemimpinan yang Menghamba”. Servant leadership.

PANDANGAN seperti itu tentu banyak benarnya. Tak kurang dari Yesus sendiri yang pasti akan mendukungnya. ”Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,” begitu Yesus pernah berkata, ”hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Markus 10:43-44)

Seorang ”pemimpin” yang baik harus mau menjadi ”pengikut” yang baik. Tidak hanya pintar bekoar, tapi juga mesti peka mendengar.

Tidak sekadar mahir dan gemar mendamprat, tapi harus pula bersedia taat dan hormat. Dengan itulah ia memperlihatkan kualitas karakter dan kepribadiannya. Seorang ”pemimpin” yang bajik harus terlebih dahulu lulus sebagai ”hamba” yang baik.

Sebab dengan merendahkan diri itulah, yang bersangkutan membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri. Dan ini, saudaraku, betapa krusialnya! Sebab bayangkanlah, apa yang bisa lebih mengerikan dan lebih destruktif dari pada seorang pemimpin, yang tak mampu mengendalikan dirinya, mengekang nafsunya, dan mengontrol ambisinya?

Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh pakar itu penting dan benar. Hanya saja, menurut penilaian saya, ada sisi lain dari amanat alkitab yang – entah mengapa -- tidak ia sebut-sebut.

Sisi yang mana itu? Yaitu bahwa, alkitab juga mengatakan, orang itu tidak cuma ditakdirkan sebagai ”pelayan”, tetapi juga sebagai ”pemimpin”! Setiap orang. Anda. Saya. Dia. Mereka. Semua.

BENARKAH yang saya katakan itu? O, benar sekali! Kebenaran ini malah sudah berlaku sebelum dosa datang. Bahkan sebelum manusia diciptakan.

Ia merupakan bagian dari rancangan atau desain ciptaan Allah dari awalnya.

Setelah selesai menciptakan segala sesuatu, termasuk yang terakhir yaitu menciptakan segala jenis binatang darat, Allah bersabda lagi, ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kejadian 1:26)

Bagaikan nomor terakhir dalam pagelaran sebuah orkes simfoni, yang biasanya merupakan karya puncak, Allah hendak menutup seluruh karya penciptaan-Nya dengan menciptakan semacam ”mahluk unggul”; -- ”mahkota” seluruh ciptaan. ”Manusia”.

Dalam desain tersebut, ”manusia” dijadikan ”menurut gambar dan rupa Allah”. Artinya, pada satu pihak, ia bukan Allah. Ia tetap mahluk. Ciptaan. Tak lebih dari mahluk-mahluk lain. Namun demikian, di lain pihak, ia lebih. Lebih, karena mahluk yang satu ini – ”manusia” – adalah ”citra Allah”.

DALAM hal apa saja manusia merefleksikan Allah? Dalam banyak hal. Seluruh kedirian manusia -- kecuali dalam hal kefanaan dan keterbatasannya -- diciptakan untuk mencerminkan (bukan menyamai!) kedirian Allah.

Bila tidak dalam ”hakikat” atau dalam ”zat”, ya paling sedikit ada kesejajaran dalam ”sifat”. Misalnya, dalam kehendak bebas dan kreativitas, dalam kecerahan akal-budi dan kesadaran hati nurani.

Dalam Kejadian 1:26 yang saya kutipkan di atas, ke”ilahi”an manusia secara khusus dinampakkan melalui ”kekuasaan” yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dengan perkataan lain, keilahian dalam diri manusia nampak melalui KEPEMIMPINANNYA!

Itu artinya, sejak awal mula penciptaan, manusia telah ditakdirkan sebagai ”pemimpin”. Semua yang menyandang sebutan sebagai ”manusia”! Jadi, apakah saya juga ”pemimpin”? Jawabnya adalah, ”Ya”. Paling sedikit, Anda ditentukan dan dipanggil Tuhan untuk menjadi ”pemimpin”!

Kepemimpinan manusia itu, menurut Kejadian 1:26, adalah sekaligus merupakan hakikat, mandat, dan berkat Allah. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada ”hakikat” manusia. Karenanya, hakikat kemanusiaan seseorang tercermin melalui kepemimpinannya. Kepemimpinan yang brengsek mencerminkan kualitas kemanusiaannya yang brengsek pula.

Kedua, kepemimpinan adalah ”mandat”. Artinya, kelayakan seseorang menjadi pemimpin, bukanlah terutama merupakan hasil kelihaian sebuah tim sukses, atau hasil kepandaian yang bersangkutan mengobral janji dan menebar uang gizi.

Kepemimpinan adalah penugasan Allah, karena itu mesti dilaksanakan sesuai dengan kehendak-Nya. Memimpin bukanlah beroleh lisensi untuk berbuat semau-maunya atau mengeruk untung sebanyak-banyaknya -- mumpung!

Dan akhirnya, ketiga, kepemimpinan adalah ”berkat”. Menjadi pemimpin adalah karunia ilahi yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain. Sebab itu luhur dan mulia.

Konsekuensinya, orang harus menjalankan kepempimpinannya dengan syukur, hormat dan khidmat. Jangan menodainya dengan tindakan-tindakan yang serampangan dan tidak ilahi! Sebab bila itu yang dilakukan, maka yang dihadapi tak kurang adalah Allah sendiri!