SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Sakit, Tapi Jangan Takluk
Oleh Eka Darmaputera

Masih ingatkah Anda, bahwa tatkala kita membuka rangkaian pembahasan kita tentang "kesakitan", diperlihatkan kepada kita betapa kesakitan yang paling parah, adalah ketika orang menderita sakit, tetapi tak mampu merasakannya. Walau sebuah paku besar menghunjam dalam ke telapak kakinya, dan darah mengucur deras, yang bersangkutan-alangkah mengerikannya-tidak merasakan apa-apa. "Sakit, tapi tidak sadar".

Kini kita akan menutup rangkaian pembahasan kita dengan mengatakan, bahwa sikap yang paling ideal dalam menghadapi kesakitan, adalah menyadari bahwa ia sakit, mungkin merasakan sakit yang teramat sangat, namun tidak mau menyerah. Seperti Yesus ketika Ia merasakan ngilunya aniaya salib di sekujur tubuhnya. "Sakit, tapi tidak takluk".

Jadi yang satu-yang terburuk-adalah "sakit, tapi tidak merasa sakit". Sedang yang lain-yang ideal-adalah "sakit, tapi merasa tidak sakit". Yang pertama-yang sebaiknya jangan kita alami --, adalah "tidak mampu merasa sakit". Sedang yang kedua-yang sebaiknya kita usahakan --, adalah "tidak mau merasa sakit". Begitulah kira-kira perbedaannya, secara amat sederhana.

* * *

SEBAGIAN besar kita pasti mengenal kisah mujizat penyembuhan yang dilakukan Yesus, terhadap seorang yang telah menderita sakit 38 tahun lamanya (Yohanes 5:1-18). Orang itu kini cuma mampu tergolek tanpa daya di tepi kolam Betesda. Menanti kalau-kalau ada orang bersedia menolong menceburkannya ke kolam, tepat di saat kolam itu bergejolak. Konon, begitu kepercayaan orang pada waktu itu, barang siapa berhasil masuk ke kolam tersebut pada saat yang tepat, ia akan sembuh,-apa pun penyakitnya.

Penantian yang sia-sia! Sebab sang penolong itu tak pernah muncul. Jadi? Jadi ya terbaringlah kawan kita di situ. Di tepi kolam. Bertahun-tahun lamanya. Pasrah. Sebab, bisa apa lagi? Sampai Yesus datang menghampirinya di tepi kolam. Dan memutuskan rantai rutinitas nasibnya, yang seolah-olah sudah tak mungkin terubahkan itu.

Ini berawal dengan pertanyaan Yesus. Pertanyaan yang sepintas lalu terdengar seperti tak perlu dijawab atau diperhatikan-saking pastinya. "Maukah engkau sembuh?, " begitu Yesus bertanya. Astaga! Pertanyaan macam apa ini ?! Siapa pun, tentu saja, akan menjawab dengan "mau", bukan? Atau Anda punya jawaban lain?

Tapi benarkah begitu? Sungguh-sungguhkah semua orang dengan sendirinya "mau sembuh"? Pada kasus kawan kita ini, soal "ingin sembuh" itu so pasti. Tapi "mau sembuh"? O, belum tentu! Sebab setelah tergolek selama 38 tahun, 99 persen dari seluruh semangat dan pengharapan yang pernah ada, pasti sudah luruh bagaikan daun kering. Justru sikap "menyerah" itulah, pikirnya, yang memungkinkan orang bisa bertahan. Bukan "melawan" yang cuma bakal membuahkan frustrasi! Karena itu, setelah 38 tahun, kawan kita itu lebih siap mental untuk sakit, ketimbang untuk sembuh.

* * *

DENGAN pertanyaan yang "aneh" itu, Yesus ingin mengembalikan lagi semangat dan pengharapan yang telah nyaris pupus, raib dan sirna itu. Prinsip dasar yang Ia mau perkenalkan, adalah: BILA ORANG INGIN SEMBUH, IA PERTAMA-TAMA HARUS MAU SEMBUH!

Prinsip dasar ini diperteguh dan dipertegas lagi melalui "resep" yang diberikan-Nya. Resep yang mengejutkan! Bunyinya: "Bangunlah, angkatlah tilammu, dan berjalanlah!" Astaga! Bangun? Angkat tempat tidur? Berjalan? Setelah 38 tahun? Apa tidak cuma mau ngeledek saja nih?

Ketika Yesus memberi perintah tersebut, Ia pasti belum membaca buku Philip Yancey, atau pun teori-teori kesehatan paling mutakhir, yang menjelaskan betapa kuatnya pengaruh dari apa yang kita pikirkan itu, terhadap fisiologi atau keadaan tubuh kita. Tapi itulah sebenarnya yang Yesus lakukan.

Sebab bila sikap mental Anda adalah "Sudahlah, takluk, tunduk, dan menyerah sajalah!", maka seluruh tubuh Anda pun akan lunglai dan litoy serta merta, tidak terpicu untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, bila spirit atau semangat Anda berkutat menolak untuk menyerah, maka seluruh kelenjar, hormon, syaraf, dan otot di tubuh Anda pun, akan bersikap laksana sepasukan tentara yang mendengar suara terompet, segera mengambil sikap siaga perang.

Dr. Curt Richter, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins, AS, melakukan eksperimen dengan dua ekor tikus. Tikus pertama dicemplungkannya ke sebuah bak tertutup yang telah diisi dengan air hangat, untuk dipantau reaksinya. Sebab pintar berenang, baru setelah 60 jam tikus ini tenggelam sebab kelelahan.

Berbeda dengan tikus kedua. Tikus ini terlebih dahulu telah digenggam erat-erat dengan tangan beberapa menit, sampai berhenti menggelinjang. Tatkala dicemplungkan ke air, reaksinya berbeda. Hanya beberapa menit saja dengan lemah ia berusaha berenang, lalu tenggelam.

Richter menyimpulkan, bahwa tikus kedua ini-karena pengalamannya memberontak dari genggaman tangan yang sia-sia sebelumnya --, ia telah menyerah bahkan sebelum tubuhnya menyentuh air. Ia mati karena perasaan ketidak-berdayaannya.

* * *

EKSPERIMEN yang dilakukan pada manusia-tentu saja dengan metode yang berbeda-juga memberikan hasil akhir yang sama. Perasaan putus asa dan tidak berdaya bukan saja mengubah sikap kejiwaan, tetapi juga mengubah tingkat kesakitan yang dirasakan seseorang. Dengan cara-cara tertentu, batas toleransi seseorang terhadap rasa sakit, dapat ditingkatkan atau diturunkan sampai 45 persen.

Williamson, misalnya, bisa tahan tidak kedinginan di tengah suhu yang hanya 2 derajat Celsius, yaitu ketika ia sedang berusaha keras menolong kucing kesayangannya, yang tidak bisa turun dari pohon di pekarangan rumahnya. Namun ketika ia tak punya apa-apa untuk dikerjakan, suhu kamar duduknya yang 15 derajat pun sudah terasa menyiksa. Ia membebat kakinya dengan kaus tebal, lehernya dengan syal panjang, dan duduk dekat-dekat pendiangan.

* * *

BEBERAPA orang akhir-akhir ini berbicara mengenai sindrom "mati pre-mortem", atau "mati sebelum mati" , sebagai akibat yang lebih lanjut dari perasaan takluk, menyerah dan tak berdaya. Orang bisa mengalami sindrom ini, ketika sedikit demi sedikit tetapi secara sistematis, diyakinkan bahwa ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan karena itu sebaiknya juga jangan mencoba berbuat apa-apa lagi.

Keadaan ini bisa berawal dengan maksud baik. Dengan sahabat atau kerabat yang datang untuk menjenguk dan bermaksud menghibur. "Sudah, berbaring sajalah. Kalau perlu apa-apa, panggil suster! Jangan dilakukan sendiri!". Atau, "Istirahat saja tenang-tenang di sini, ya! Jangan pikir apa-apa, nanti stress. Saya nanti akan bereskan segalanya untuk Anda!" Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!

Tanpa sadar, sedikit demi sedikit, perasaan bahwa ia punya tempat dan peran yang bermakna dalam hidup ini, akan memudar. Orang segera merasa kehilangan identitas kediriannya. Merasa tak berharga. Hidup tergantung. Ia mati sebelum ajal. Mati pre-mortem.

Tentu saja orang yang sakit amat parah sangat tergantung kepada bantuan orang lain. Bahkan kadang-kadang sampai sekadar untuk bernafas atau menelan makanan. Ya! Dan orang-orang yang mampu, wajib menolongnya.

Namun yang ingin saya tekankan adalah, orang-orang yang ingin membantu itu mesti selalu sadar dan jeli membedakan antara "menawarkan pertolongan" dan "menawarkan pertolongan terlalu banyak". Sebab pertolongan yang berlebih-lebihan, seperti halnya sikap protektif yang kelewatan, tidak akan menguatkan si penderita, melainkan justru meperlemahnya. Membuat ia tak berdaya dan tak berharga. Bagaikan "tikus yang kedua" dalam eksperimen Richter.

* * *

SISTEM pengobatan moderen-termasuk cara-cara perawatan di rumah sakit-sekarang ini cenderung melihat penyakit dan memperlakukan orang sakit terlalu serius. Orang-orang yang dikategorikan sebagai "sakit" diberi perhatian, perlakuan dan tempat yang khusus.

Terpisah serta terasing dari kehidupan biasa. Setiap saat, yang bersangkutan-melalui perlakuan-perlakuan yang diterimanya itu-seolah-olah diingatkan, "Hey, ingat, Anda sakit! Anda tidak normal! Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!"

Padahal teolog besar asal Jerman, Juergen Moltmann, dengan tepatnya mengatakan, "Orang moderen cenderung melakukan pemisahan yang berlebih-lebihan antara "sehat" dan "sakit". "Sehat" didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja dan kemampuan untuk menikmati segala sesuatu.

Padahal, "sehat" yang sesungguhnya bukan itu. "Sehat" yang sejati adalah kemampuan untuk hidup, tapi juga kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan kesanggupan untuk menghadapi kematian. "Sehat" tidak terutama berhubungan dengan kondisi tubuh, melainkan kekuatan jiwa untuk mengatasi kondisi tubuh yang berubah-ubah."

Difahami demikian, semua orang-tanpa kecuali-sebenarnya "sakit". Lemah, terbatas, rentan. Tapi semua orang-termasuk Anda yang kini tergolek di tempat tidur-sebenarnya "sehat". Artinya, masih punya peran, tempat, makna!