SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Sabtu atau Minggu?
Oleh Eka Darmaputera

"INGATLAH DAN KUDUSKANLAH HARI SABAT. HARI KETUJUH ADALAH HARI SABAT TUHAN, ALLAHMU; JANGAN MELAKUKAN SESUATU PEKERJAAN, ENGKAU ATAU ANAKMU ATAU HAMBAMU ATAU HEWANMU ATAU ORANG ASING YANG DI TEMPAT KEDIAMANMU".

Hukum sosial yang semula mengandung nilai pembebasan dan kemanusiaan yang sangat tinggi ini-bayangkanlah, bahkan budak dan hewan pun punya hak untuk beristirahat!-sayang sekali lambat-laun berubah menjadi sebuah hukum agama yang kaku dan penuh pembatasan. Hari yang seharusnya penuh sukacita berubah menjadi hari yang muram karena terlalu banyaknya larangan dan aturan.

Ada sebuah contoh ektsrem dari sejarah mengenai yang saya katakan itu. Konon, sewaktu terjadi pemberontakan Makabeus melawan penjajahan Roma, dikisahkan bagaimana orang-orang Yahudi memilih berdiri diam tanpa melawan, ketika serdadu musuh dengan dingin membantai dan membabat mereka-ribuan jumlahnya.

Menurut Yosefus, mereka juga cuma berdiri menonton dari ketinggian-tidak bereaksi apa-apa-tatkala pasukan Pompei di depan mata mereka membangun kubu-kubu untuk mengurung mereka. Mengapa? Karena ini terjadi pada hari Sabat.

Sikap yang heroik, bukan? Mungkin. Tapi kita juga dapat menyebutnya sebagai ekses. Legalisme yang telah mencapai titik ekstrem, jelas bertentangan dengan semangat Injil Kristus.

* * *

KARENA itu, ketika kekristenan mulai merambah muncul masalah. Masalah yang kontroversinya masih mewarnai hubungan antardenominasi di dalam tubuh gereja Protestantisme sampai sekarang. Inti masalahnya: bagaimana orang Kristen seharusnya menyikapi hukum hari Sabat? Apakah hukum tersebut masih mengikat? Atau tidak?

Pertanyaan yang kadang-kadang disertai perdebatan yang emosional ini masih merupakan isu hangat. Karena itu, saya merasa perlu membahasnya agak panjang lebar. Khususnya masalah asal-usul mengapa sebagian terbesar orang Kristen beribadah pada hari Minggu, bukan hari Sabtu. Bagaimana menjelaskannya secara historis, obyektif dan alkitabiah, teristimewa kepada mereka yang konsisten mempertahankan hari Sabat?

Titik berangkat yang paling penting, tidak bisa lain, adalah ALKITAB. Di situ, baik dalam PL maupun PB, jelaslah bahwa hari Sabat adalah hari Sabtu. Sebenarnya tidak perlu ada persoalan, sekiranya tidak terjadi perkembangan baru.

Orang-orang Kristen pertama yang berlatar belakang Yahudi hampir dapat dipastikan masih merayakan hari Sabat pada hari Sabtu. Sungguh tidak mudah menghilangkan begitu saja tradisi yang telah telanjur mendarah-daging turun-temurun, apalagi bila tradisi itu adalah tradisi suci, yang diyakini berasal dari Allah sendiri.

Tapi yang saya maksud dengan terjadinya "perkembangan baru" adalah, bahwa di samping hari Sabtu, mereka juga merayakan hari lain, yaitu hari Minggu, sebagai hari yang kudus. Mereka bahkan menamakannya "hari Tuhan". Dari pandangan iman mereka, hari Minggu adalah hari di mana Tuhan mereka bangkit dari kematian.

Dan kebangkitan Tuhan ini, bagi mereka, mengimplikasikan sebuah era yang sama sekali baru. Peristiwa Paskah adalah satu-satunya raison d'etre bagi seluruh eksistensi maupun misi mereka. "Andaikata Kristus tidak dibangkitkan," tulis Paulus, "maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu" (1 Korintus 15:14). Tidak ada kebangkitan, tidak ada kekristenan.

* * *

BEGITU sentralnya peristiwa kebangkitan ini, hingga nyaris mustahillah bila mereka tidak merayakannya. Sebagai tradisi, mereka mungkin masih merayakan hari Sabat. Seperti orang Kristen Jawa masih memelihara tradisi "mitoni" (ketika kandungan berusia tujuh bulan), atau orang Kristen Tionghoa memelihara tradisi "sincia". Namun, yang secara teologis jauh lebih penting adalah apa yang terjadi pagi-pagi sekali, pada hari pertama di minggu itu - Tuhan bangkit!

Kita kemudian menengarai perkembangan selanjutnya, di mana "pamor" hari Sabat kian lama kian redup, digantikan oleh hari Minggu. Hari Sabat tidak sentral lagi.

Menjalankan hukum hari Sabat, misalnya, tidak termasuk dalam daftar hal-hal yang ditetapkan oleh para rasul sebagai ketentuan yang mutlak harus dipatuhi, bila orang hendak memeluk iman Kristen. Aturan mengenai makanan serta kesusilaan dianggap lebih penting (Kisah Rasul 15:20,29).

Beribadah bersama pada hari Minggu juga kian mentradisi. Pada hari pertama itu, mereka berkumpul "untuk memecah-mecahkan roti" (Kisah Rasul 20:7); dan mengumpulkan persembahan (1 Korintus 16:2). Kesimpulan kita adalah, paling sedikit bagi orang-orang Kristen Perjanjian Baru, hari Minggu memperoleh tempat yang kian istimewa dalam hidup peribadahan mereka.

Ini oleh Paulus diberi pendasaran teologis. Dengan tanpa tedeng aling-aling ia mengecam dan menyerang praktik-praktik pelaksanaan hukum hari Sabat, yang lebih dikuasai oleh roh legalisme yang membelenggu, ketimbang oleh Roh Tuhan yang membebaskan.

Ini ditudingnya sebagai berlawanan secara diametral dengan semangat Injil. "Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia? Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun?" (Galatia 4:9,10).

Lebih tegas lagi, ia katakan, " Janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat. Semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus" (Kolose 2:16-17).

Menurut Paulus, orang-orang Kristen yang kuat dan dewasa dalam iman tidak boleh mengikatkan diri kepada hari-hari atau bulan-bulan atau tahun-tahun tertentu. Semua hari adalah baik! Setiap saat adalah waktu Tuhan!

ìYang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam dirinya sendiri". Yang menentukan adalah-apa pun yang diyakini, Sabtu atau Minggu-lakukanlah itu untuk Tuhan dan dengan rasa syukur! (Roma 14:6-7).

* * *

DALAM perjalanan sejarah, kecenderungan untuk beribadah pada hari Minggu dengan cepat kian menguat. Sudah sejak awal abad ke-2, "Hari Tuhan" (= hari Minggu) telah sepenuhnya mengambil-oper tempat "Hari Sabat" (= hari Sabtu). Kitab penuntun ibadah yang resmi pada waktu itu, Didache (100 AD), misalnya, menulis, "Pada hari Tuhan, berkumpullah, pecahkan roti, dan selenggarakan ekaristi".

Ignatius lebih gamblang lagi. Katanya, "Mereka yang telah meninggalkan kebiasaan lama, dan masuk ke dalam pengharapan baru, tidak boleh lagi hidup untuk hari Sabat, melainkan untuk hari Tuhan". Nada yang sama dapat kita jumpai dalam tulisan bapak-bapak gereja lainnya, seperti Yustinus Martir, Dionysius dari Korintus , Tertulianus, Athanasius, sampai Agustinus.

Sidang sinode di Laodikea (363 AD), secara resmi memutuskan, "Orang-orang Kristen tidak boleh meng'yahudi'kan diri mereka dengan beristirahat pada hari Sabat. Pada hari itu mereka harus bekerja, dan baru pada hari Tuhan, mereka beristirahat sebagai orang-orang Kristen".

Proses ini menjadi lengkap, ketika pada pada tahun 321, Kaisar Konstatinus Agung, menetapkan dalam undang-undang negara, "Semua pekerjaan di kota-kota harus berhenti pada hari Tuhan, kecuali-bila karena terpaksa-pekerjaan bertani di desa-desa, supaya tanaman tidak rusak"

Para reformator secara konsisten mengikuti tradisi gereja purba tersebut, tetapi dengan tambahan nuansa yang menarik.

Martin Luther, dalam "Katekismus Besar"-nya, menekankan pentingnya para pekerja, pelayan dan hamba yang sehari-hari telah bekerja keras, memperoleh kesempatan untuk penyegaran dan beristirahat, dan terutama untuk mendengar Firman Tuhan, memuji serta berdoa kepada-Nya. Tapi, begitu kata Luther, secara prinsipal, hari itu hari apa sebenarnya tidak penting. Semua hari sama baiknya dan sama kudusnya.

Calvin pun demikian. Untuk membuang semua ketahayulan yang melekat, hukum hari Sabat-sebagai bagian dari Taurat dan "hari suci" orang Yahudi-dinyatakan tidak berlaku lagi bagi orang-orang Kristen.

Namun, orang-orang Kristen toh mesti tetap memelihara jiwanya, yaitu perlunya hidup dengan sopan, tertib, dan damai dalam hubungan dengan Allah, khususnya melalui ibadah di dalam gereja. Untuk itu ditetapkan hari lain-hari Minggu-sebagai pengganti. Tapi merayakan hari Minggu, tidak boleh sedikit pun mengandung superstisi dan dirayakan sekadar karena keharusan. Hari Tuhan adalah hari sukacita.

* * *

JADI, apakah yang dapat disimpulkan sebagai kata akhir? Paling tidak kita dapat mengatakan, bahwa semua hari adalah hari Tuhan. Semua hari sama kudusnya, sama baiknya, dan sama pentingnya.

Bila orang mau merayakan hari Tuhan itu pada hari Sabtu, ia tidak berdosa. Tapi hendaknya jangan ada anggapan, bahwa mereka yang beribadah pada hari Minggu tidak mempunyai dasarnya di dalam Alkitab, dan tidak mempunyai akarnya dalam sejarah gereja!

Yang penting adalah, pada hari apa pun, Tuhan dimuliakan, hak mereka yang telah bekerja keras untuk beristirahat diindahkan, dan setiap kita menyisihkan waktu serta melakukan upaya yang khusus untuk memenuhi kebutuhan jiwa kita.