SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
PINJAMKANLAH KEPADAKU TIGA ROTI Kata Yesus, "Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti ... masakan ia yang di dalam rumah akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup ...." Di dalam perumpamaan ini, begitu pula di dalam dunia kita sekarang, kesenyapan dan kegelapan tengah malam sedang terusik oleh bunyi ketukan. Ketukan minta tolong jutaan orang yang berdiri di depan pintu agama-agama minta masuk. Tidak heran, agama-agama--apa pun dan di mana pun--berkembang dengan pesatnya. Tapi, kita jangan cepat-cepat terkesima oleh pertambahan angka. Jangan merancukan kekuatan spiritual dengan jumlah besar. "Jumboisme" adalah tolok ukur yang menyesatkan. Tidak bisa diandalkan untuk menakar kekuatan yang sebenarnya. Pertambahan kuantitatif, kita tahu, tidak serta-merta membawa pertumbuhan kualitatif. Juga tak punya kaitan langsung dengan peningkatan komitmen moral. Dan akhirnya, tidak pula otomatis berarti bahwa orang-orang yang mengetuk pintu dan membutuhkan roti pasti mendapatkannya. Memang benar Yesus mengatakan, "Masakan ia yang di dalam rumah akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup ...." Namun dalam realitas, itulah yang sering terjadi. Ada bunyi ketukan di tengah malam, ada seruan minta tolong, ada pintu dibukakan, kemudian orang masuk, tapi hanya untuk kecewa. Sebenarnya, tidak banyak yang dibutuhkan oleh manusia. Cuma tiga roti. Namun ketiga-tiganya vital dan mendesak. Pertama-tama, manusia sekarang membutuhkan "roti iman." Maksud saya, kemampuan untuk kembali bisa mempercayai sesuatu. Pengalaman demi pengalaman yang hampir selalu mengecewakan membuat banyak orang patah arang. Orang tak lagi bisa mempercayai apa pun atau siapa pun. Orang cenderung jadi sinis dan skeptis; apatis dan sarkastis. Itu kan isi lelucon komedian terkenal, khususnya di negara-negara maju? Sarkastisnya, minta ampun! Segala sesuatu--terutama yang dianggap suci, mapan dan terhormat--mereka jadikan bahan tertawaan. Hadirin yang mendengarnya pun senang, tertawa terbahak-bahak. Senang, sebab komedian itu mengungkapkan apa yang tersimpan di hati mereka. Mengapa di kala kehidupan semakin hari semakin susah, dan kekusutan demi kekusutan terpampang terang-terangan di depan mata, tapi mayoritas orang memilih diam? Anda salah, bila Anda menyangka bahwa ini disebabkan karena orang-orang Indonesia itu penyabar. Mungkin saja mereka memang penyabar. Tapi, mereka memilih diam, karena telah kehilangan kepercayaan. "Untuk apa susah-susah ngomong. Percuma, kan?!" "Saya cuma orang kecil. Bisa apa?!" * * * Di samping "roti iman," manusia juga membutuhkan "roti pengharapan." Padahal, hanya selang beberapa dasawarsa silam, manusia samasekali tidak membutuhkannya. Sebaliknyalah, manusia justru amat yakin bahwa ia telah memilikinya dengan limpahnya. Penemuan-penemuan baru khususnya di bidang ilmu dan teknologi di awal abad 20, membuat manusia begitu optimis akan masa depan. Ganti Allah, manusia dengan antusiasme tinggi memuja "dewa kemajuan." Tapi, optimisme manusia itu ternyata tak panjang usianya. Pengharapan yang sempat membubung tinggi ke langit baru, tiba-tiba terempas keras ke dasar bumi, digantikan rasa kecewa yang luar biasa, yaitu ketika ternyata mereka tidak memperoleh "roti" yang mereka butuhkan. Modernitas membuat mereka mempunyai lebih banyak, tapi tidak membuat hidup lebih baik dan hati lebih bahagia. Apalagi dengan "shock" yang luar biasa, manusia menyaksikan bagaimana orang-orang seperti Hitler atau Stalin, Pol Pot atau Idi Amin, bisa menjadi begitu demonis. Kembali manusia patah hati terhadap "kemajuan." Ini mengingatkan mereka ke filsuf-filsuf lama. Schopenhauer, misalnya. Filsuf Jerman ini melukiskan kehidupan sebagai rangkaian kesakitan yang tak berkeputusan, dan akan berakhir dengan kesakitan pula. Karenanya, hidup menurut Schopenhauer, adalah sebuah komedi tragis yang dipentaskan terus menerus, cuma sekali-sekali saja berganti kostum atau dekor. Orang juga teringat kepada "Macbeth"-nya William Shakespeare yang melukiskan hidup sebagai "sebuah dongeng yang diceritakan oleh orang idiot, bisingnya tak keruan, namun tanpa makna." Toh sekalipun putus harapan, manusia sadar bahwa tanpa pengharapan, ia tak dapat hidup. Karenanya, di tengah malam, ia mengetuk pintu, minta "roti pengharapan." * * * Yang ketiga adalah "roti cinta kasih." Siapakah di antara kita yang tidak ingin mencintai dan dicintai? Hidup tanpa cinta adalah sama saja dengan ada, tapi dianggap tidak ada. Perasaan ini ada pada orang-orang modern. Merasa adalah segala sesuatu, kecuali sesosok pribadi; seseorang. Ralph Borsodi dengan telak melukiskan bagaimana manusia tak lagi manusia, tapi sekadar angka. Ia, misalnya, menulis tentang seorang ibu nomor 8434, yang baru saja melahirkan seorang bayi nomor 8003, di kamar kelas IB, nomor 1402, dan memerlukan perhatian medis khusus karena menderita simptom A789. Barangkali Anda belum mengalami keadaan seekstrem itu. Tapi di Jakarta telah mulai terasa, betapa kartu visa lebih dihargai dan dipercayai ketimbang "saya." Tidak heran, di tengah malam orang mengetuk pintu, merindukan "roti cinta kasih." * * * Tapi apa ia memperolehnya? Yang saya lihat adalah orang berpaling sambil menengadah mengetuk pintu agama, namun kembali mesti kecewa. Agama-agama memang berusaha memberikan sesuatu, tapi bukan yang mereka perlu. Di dalam kenyataan, orang lebih banyak direpotkan oleh agama ketimbang terbantu. Agama--tumpuan harapan begitu banyak orang--lebih merupakan bagian dari persoalan ketimbang bagian dari penyelesaian! Orang membutuhkan damai--baik di bumi maupun di hati--tapi apakah agama-agama memberikan damai? Yang terjadi adalah: sambil berteriak membesarkan nama Allah, orang menghunus pedang, melempar bom, dan membunuh sesama. Lalu menyebutnya demi membela agama. Dengan jitu Martin Luther King Jr menjelaskan, bagaimana gereja-gereja hitam di Amerika Serikat telah gagal memberikan roti bagi mereka yang mengetuk pintunya di tengah malam. Sebabnya adalah karena, di satu pihak, ada gereja-gereja yang dibakar oleh "emosionalisme"; sementara di pihak lain, ada gereja-gereja yang dibuat beku oleh "elitisme." Yang pertama, "emosionalisme," menjadikan ibadah sebuah hiburan. Orang pergi ke gereja, seperti orang pergi ke Ancol atau Taman Mini, untuk berekreasi. Lebih menekankan bungkus ketimbang isi, dan gerak dan irama ketimbang makna. Bahayanya ialah religiositas orang-orang Kristen ini berada di tangan dan di kaki, lebih daripada di hati dan di jiwa. Dan di tengah malam, ketika orang mengetuk pintu minta roti, gereja-gereja ini cuma punya emosi yang meledak-ledak untuk sesaat, tapi tidak cukup vitalitas maupun relevansi untuk ditawarkan. Seketika orang merasa dipuaskan, tapi sebenarnya tetap kelaparan. Tipe yang lain, "elitisme," adalah gereja-gereja yang (tanpa mereka akui) membanggakan status sosial mereka yang tingi karena anggota-anggota mereka terdiri dari para profesional, pejabat, dan semi-konglomerat. Mereka bangga akan eksklusivisme mereka. Di gereja-gereja ini, suasana ibadah mereka kering, dingin, dan kaku. Sebab pada umumnya orang datang bukan untuk mendengar, tapi untuk dilihat. Musik mereka indah dan nyanyian-nyanyian mereka kelas tinggi, tapi tidak menggerakkan hati. Khotbah-khotbahnya amat ilmiah, lebih tepat disebut kuliah atau ceramah, tapi tak mampu menggugah jiwa. Gereja-gereja ini gagal memanfaatkan ibadah, di samping sebagai pengalaman rohani, juga--seperti kata Durkheim--juga sebagai penggalang solidaritas dan kesejiwaan sosial yang efektif dari suatu komunitas yang beraneka ragam latar belakang. Di tengah malam, ketika orang mengetuk pintu minta roti, orang itu tidak terlayani, dan malah terusir pergi. Ia tidak memenuhi standar kualifikasi sosial-ekonomi maupun tingkat pendidikan gereja bersangkutan. Yesus berkata, "Carilah, maka kamu akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap oarng yang mencari mendapat, dan setiap orang yang mengetuk baginya pintu dibukakan. Bapak manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan akan memberikan ular? Atau jika ia minta telur akan memberikan kepadanya kalajengking?" Pengharapan manusia yang berlebih-lebihan kepada agama-agama telah hampir sampai ke tingkat "overdosis." Tidak menolong, bahkan membahayakan. Sebagai penawarnya bukan cuma dosisnya saja yang harus dikurangi, tapi lebih dari itu kita sudah membutuhkan semacam proses "detoksifikasi." Proses menghilangkan racun dari tubuh kita, akibat "overdosis" itu. "Try Me!" Cobalah ketuk pintu Tuhan! Jangan cuma berhenti di depan pintu agama-agama! Tuhan memberi roti, ketika agama memberi kalajengking. |