SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Perang Kok Adil, Apa Ada?
Oleh Eka Darmaputera

Cukup lama sudah kita jelajahi wilayah hukum keenam Dasa Titah, "JANGAN MEMBUNUH". Sudah saatnya kita keluar dari situ. Namun entah mengapa, saya kok belum merasa plong, sebelum kita menyinggung soal yang satu ini - soal "PERANG", kKhususnya, setelah Amerika dan kawan-kawan menyerang Irak.

Setiap nalar sehat pasti mengatakan bahwa konsekuensi logis dari "jangan membunuh", adalah "menolak perang". Ini, semua pasti setuju.

Tapi repotnya adalah, Alkitab juga penuh sesak dengan kisah-kisah perang. Banyak di antaranya malah karena perintah Tuhan sendiri. Nah, kontradiksi ini, bagaimana menjelaskannya?

Cara yang termudah adalah dengan mengatakan bahwa meski tak ada "perang yang benar", toh ada "perang yang dapat dibenarkan". Dan perang yang diperintahkan Allah, so pasti termasuk kategori ini!

Bermula dari sini, berkembanglah apa yang kemudian dikenal sebagai "teori perang yang adil" (= Just War Theory). Intinya: walau perang tak mungkin menghasilkan keadilan, dalam keadaan tertentu ia dibutuhkan sebagai upaya terakhir guna melawan ketidakadilan.

* * *

TEORI "Perang yang Adil", sejak abad 5, diletakkan dasarnya dan dikembangkan oleh AGUSTINUS-bapak gereja yang amat dihormati di lingkungan Ortodoks, Roma Katolik, dan Protestan sekaligus. Dalam tafsirannya terhadap kitab Yosua - kitab yang, kita tahu, sangat bising oleh gemuruh peperangan-Agustinus membuat definisi mengenai "perang yang dibenarkan" ( Awas, bukan "perang yang benar"!).

"Perang yang dibenarkan", katanya, adalah perang "untuk menghukum kesalahan atau kejahatan . (Misalnya) ketika suatu bangsa atau negara wajib diperangi, sebab lalai atau abai mengoreksi kejahatan warganya. (Perang tersebut) bertujuan untuk memulihkan keadaan yang rusak akibat kejahatan itu".

Dalam suratnya kepada Bonifacius, ia menegaskan bahwa, benar, orang mesti mengusahakan perdamaian. Namun, sayang seribu kali sayang, katanya, perang kadang-kadang tak terelakkan.

"Perdamaian-lah yang harus menjadi kerinduan Anda, sedang perang adalah keterpaksaan . Perang dapat dilakukan, semata-mata untuk mewujudkan perdamaian. Karenanya, dalam perang sekali pun, Anda selalu wajib menjadi pendamai. Dengan menaklukkan musuh, Anda harus memenangkan mereka bagi perdamaian".

Kemudian melalui bukunya, "Melawan Faustus", Agustinus mengingatkan kembali, agar orang percaya memberikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar. Termasuk di sini adalah membayar pajak, supaya pemerintah memiliki cukup dana untuk mempertahankan kekuatan militernya dan membayar serdadu-serdadunya.

"Hukum alam menentukan, bahwa untuk mengupayakan perdamaian, negara perlu memiliki wewenang dan kemampuan untuk memaklumkan dan melancarkan perang. Jangan pernah meragukan, bahwa perang dapat dibenarkan, sepanjang dilakukan dalam ketaatan kepada Allah, serta untuk menaklukkan kepongahan manusia"

* * *

TOMAS AQUINAS, guru besar gereja Roma Katolik, membela keberadaan "perang yang adil" dengan merujuk pada ajaran Yesus. Dalam Summa Theologiae-nya yang termashur itu, ia menulis bahwa memang benar Yesus berkata, "barang siapa menggunakan pedang, (ia) akan binasa oleh pedang" (Matius 26:52). Tapi, menurut Tomas, ini hanya berlaku bagi masyarakat sipil biasa, yang semena-mena mau bertindak bak "tentara swasta" alias "tentara liar".

Kemudian benar pula Yesus pernah bersabda, "Jangan kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu" (Matius 5:39). Kendati begitu, kata Tomas, ini toh tidak berarti lalu kita membiarkan begitu saja kejahatan merajalela tanpa sanksi apa-apa.

Atau orang juga dapat berkata, bahwa bila "yang membawa damai" diberkati, maka konsekuensinya "yang membuat perang" harus dilaknati. Tidak salah, jawab Tomas. Asal saja kita tak pernah lupa, bahwa "perang" seringkali adalah cara paling efektif untuk membawa "damai".

Di "kutub" yang lain, YOHANES CALVIN - sang reformator -, juga berpendapat bahwa "perang yang adil" kadang-kadang memang diperlukan, yaitu untuk mewujudkan "keadilan retributif " . Untuk menghukum yang salah, dan membela yang benar.

"Tak peduli apakah suatu kejahatan dilakukan oleh seorang raja dalam skala besar, atau ia diperbuat oleh seorang bajingan dalam skala kecil, keduanya sama-sama harus dianggap dan dihukum sebagai kejahatan. Ini sama sekali bukan pelanggaran terhadap hukum "jangan membunuh".

Sebab mencabut nyawa orang yang mendalangi sebuah "perang jahanam", adalah sekadar hukuman, yang vonisnya dijatuhkan oleh hakim, yang tak lain adalah Allah sendiri. Kita, pelaksananya, adalah sekadar alat-alat-Nya saja semata-mata"

* * *

JADI dapat dikatakan bahwa "teori perang yang adil" merupakan posisi baku ajaran kristen dari masa ke masa. Namun demikian saya anjurkan, agar kita tidak menutup mata atau mengabaikan kenyataan, bahwa ada "suara-suara lain". Dan bahwa "suara-suara lain" itu tak sedikit pun kalah substansialnya, untuk kita simak baik-baik dengan pikiran jernih dan hati terbuka. Bahkan mesti diakui, bahwa "suara-suara lain" itu terdengar semakin nyaring saja dari waktu ke waktu. Khususnya akhir-akhir ini, ketika orang telah jenuh dan mual, menyaksikan kekerasan demi kekerasan.

Suara dan sikap saudara-saudari kita dari kelompok QUAKERS, misalnya, sungguh layak memperoleh perhatian kita. Jauh di kelampauan, namun terasa bagai sekarang, pemimpin mereka, Robert Barclay (1676), telah menyapa hati nurani dunia dengan telaknya. Katanya, "Barangsiapa mampu memadukan antara Jangan melawan kejahatan dengan kejahatan , dengan Lawanlah kejahatan dengan kekerasan; atau memadukan antara Berikanlah pipimu yang sebelah lagi, dengan Hantam lagi; atau antara Kasihi musuhmu dengan Hancur leburkan, bantai, dan kejar mereka dengan pedang dan api; atau antara Berdoalah bagi yang menganiaya kamu, dengan Aniayalah mereka dengan hukuman denda, hukuman penjara bahkan hukuman mati.

Barangsiapa mampu menemukan cara untuk memadukan hal-hal tersebut, pastilah ia juga mengetahui bagaimana caranya memadukan Allah dengan Iblis, Kristus dengan Anti-Kris, terang dengan gelap, dan kebaikan dengan kejahatan.

Benar, seperti dikatakan oleh Leo Tolstoy, Kristus memang tak pernah secara eksplisit melarang perang. Tapi "Ia yang bagaikan seorang ayah mendesak anak-anak-Nya untuk hidup jujur, pantang merugikan orang lain, bahkan mau memberikan apa yang dimilikinya bagi sesama yang membutuhkan, pasti tak perlu mengatakan bahwa ia melarang anak-anak-Nya membunuh orang di jalan. Bila prinsip-prinsipnya jelas, banyak hal detail yang tak perlu dikatakan".

* * *

PRINSIP yang paling sering dikemukakan orang untuk membela "perang yang adil" adalah prinsip retribusi, yaitu bahwa semua tindakan mengandung konsekuensi: pahala bagi yang baik; hukuman untuk yang jahat. Mengenai prinsip ini, Alkitab mengiakannya.

Perumpamaan "Kambing dan Domba" (Matius 25:31-46), misalnya, memperlihatkan bagaimana "domba" (yang bermurah hati) dipersilakan ke sorga, sedang para "kambing" (yang menutup hati) dilemparkan ke neraka. Inti kitab Wahyu juga demikian: mahkota kehidupan bagi yang setia, dan kebinasaan abadi bagi penentang Allah.

Karenanya saya tidak menaruh keberatan apa pun terhadap argumentasi tersebut. Tapi saya mempunyai pernyataan penting: yaitu bahwa pembalasan yang dilakukan oleh Allah adalah satu hal, tapi pembalasan oleh manusia yang berdosa adalah hal yang berbeda sama sekali. Teroris pun berlindung di belakang prinsip retribusi ini! Dan jangan lupa: "Pembalasan adalah hak-Ku," kata Allah (Roma 12:19).

Kemudian ada pula yang mengatakan, betapa ia setuju bahwa kasih adalah prinsip paling utama - kalau bukan satu-satunya - bagi orang percaya. Namun demikian, katanya lebih lanjut, "kasih" membutuhkan "disiplin". Pada situasi-situasi tertentu, "kasih" harus dilaksanakan dalam bentuk "disiplin" dan, pada gilirannya, "disiplin" tidak menafikan "kekerasan"!

Ini pun saya setujui sepenuhnya. Namun demikian, juga di sini saya mempunyai sebuah pernyataan penting. Yaitu: sungguh tak terbayangkan, bagaimana menghilangkan nyawa begitu banyak orang (misalnya dalam peristiwa Hiroshima dan Nagasaki), masih dapat disebut "menegakkan disiplin". Penegakan disiplin harus mengandung unsur "mengobati" dan "menyembuhkan". Pertanyaan saya: bagaimana mungkin mengobati dan menyembuhkan dengan cara membunuhnya?

Mempertimbangkan semua itu, saya cenderung mengatakan, bahwa "perang yang adil" adalah sebuah "kemungkinan". Namun, kapan pun dan dengan alasan apa pun, perang - apa pun namanya - selalu lebih besar "mudarat"nya ketimbang "manfaat"nya, apa lagi, "perang agama".