SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Penyanyi dan Nyanyiannya (Refleksi Matius 5:21-48) Oleh: Eka Darmaputera ANDAIKATA Yesus adalah mahasiswa sekolah teologi, lalu saya dosen homiletika-(= ilmu khotbah)-Nya, "KHOTBAH DI BUKIT" akan saya beri nilai B. Artinya baik, tapi toh tidak istimewa-istimewa banget. Metode penyampaiannya, saya nilai bagus. Lumayan kreatif dan komunikatif. Tidak seperti gaya sebagian pendeta kita yang kaku bagaikan di-"super-glue", atau seperti arca, tak pernah beranjak setengah inci pun dari tempatnya. Yesus tidak. Kata Matius, "Melihat orang banyak itu, Ia naik ke atas bukit". Bayangkan, berkhotbah dari lereng bukit! Wow, romantisnya! Sewaktu berbicara, mata-Nya tidak cuma terpancang ke kertas, atau melulu mendongak ke atas. Tidak berkhotbah bak latihan membaca, dan yang mendengarkannya seperti menonton deklamasi. Menurut Matius, Ia "melihat ke orang banyak". Ia memelihara "eye-contact" atau "kontak mata" dengan para pendengar-Nya. Membuat orang merasa disapa secara pribadi. Sebuah faktor penting dalam komunikasi. Adapun mengenai isinya, khotbah Yesus saya nilai oke. Bahasanya sederhana, mudah ditangkap. Walau pasti tidak membuat segala sesuatunya jadi bening, paling sedikit Ia tidak bikin orang tambah pening. Penyampaian pesannya padat, ringkas, tepat ke sasaran. Ibarat ke Sukabumi, langsung ke Ciawi, tidak putar-putar dulu ke Sukamandi. Kemudian ada satu hal lagi yang amat penting untuk diketahui dan diteladani oleh setiap pengkhotbah. Apa itu? Khotbah di Bukit, tak salah lagi, adalah khotbah yang tegas, tajam, menempelak. Yang menuding tanpa tedeng aling-aling. Yang mengecam tanpa sembunyi tangan. Dengarlah, misalnya, tiga yang berikut ini! "Jika matamu menyesatkan, cungkillah ... jika tanganmu menyesatkan, penggalah dan buanglah". "Jika kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik ...." "Jangan memberikan barang yang kudus kepada anjing, dan jangan kamu lempar mutiaramu kepada babi ...." Tajam dan menusuk, ya, tapi tidak menyakiti hati atau melukai pribadi. Yesus mengingatkan bahwa tujuan sebuah khotbah adalah mengajak mereka yang bersalah agar sadar dan bertobat. Bukan menghukum, dengan membuat orang malu dan sakit hati. Sebuah pelajaran bagi para pengkhotbah yang gemar menyalah-gunakan mimbar untuk memuntahkan unek-unek pribadi, atau menyerang lawan. * * * JADI, khotbah Yesus secara umum lumayan-lah. Lebih dari rata-rata. Namun, terus terang, tidak juga terlalu istimewa. Banyak pengkhotbah, penginjil, orator, bahkan demagog, yang sanggup berkhotbah lebih baik dan menarik; lebih memikat dan mengikat. Menurut saya--entah Anda--Bung Karno dan John Kennedy; Buya Hamka dan Zainudin MZ lebih baik. Yohanes Pembaptis juga lebih hebat. Saya tidak mengatakan bahwa Yesus adalah pembicara yang buruk. O, tidak! Saya cuma ingin menegaskan, bahwa Ia bukan pengkhotbah atau orator yang terbaik. Pertanyaannya adalah bila bukan yang terbaik, mengapa mesti repot-repot memedulikannya? Mengapa kita tidak alihkan saja fokus perhatian kita kepada orang lain. yang benar-benar "terbaik"? Pertanyaan yang sah dan wajar! Dan itulah yang akan kita bahas bersama sekarang. Hanya saja, pertanyaannya akan saya rumuskan lebih positif. Bukan "Mengapa kita tidak tinggalkan Yesus?", tetapi "Mengapa kita mesti bertahan pada Yesus?" * * * MENGAPA bertahan pada Yesus? Mengapa kata-kata-Nya layak menyita perhatian kita? Apa sih yang ada pada Yesus, yang tidak ada pada orang lain? Jawabannya sangat sederhana. Kelebihan Yesus adalah pada otoritas, kewibawaan, dan kewenangan yang dimiliki-Nya. Inilah yang tidak dimiliki oleh siapa pun yang lain. Otoritas yang membuat Matius menulis, "Setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka". Takjub! Itulah reaksi para pendengar langsung khotbah Yesus waktu itu. "Takjub" adalah percampuran pelbagai macam perasaan sekaligus, yang semuanya muncul secara spontan. Kata "spontan" ini penting sekali. Sebab "spontan" berarti sesuatu yang muncul secara tulus, tidak bisa direkayasa atau dipaksa-paksa. Di situ ada rasa heran. Ada rasa kagum. Ada rasa terpesona. Ada rasa "terkuasai" (overwhelmed). Ada rasa hormat. Semua yang saya sebutkan itu harus muncul secara spontan, bukan? Orang dapat dibuat bengong, tapi tidak bisa dipaksa kagum. Orang bisa dibuat takut, tapi tidak bisa dipaksa hormat. Dan perlu saya tambahkan, rasa takjub juga merupakan "induk" dari hal-hal seperti iman, ketaatan, penyerahan diri, dan sebagainya. Semua ini tidak akan ada, betapa pun orang terkagum-kagum misalnya kepada David Copperfield, si pesulap dahsyat bermata elang itu. Dengan amat tepatnya, seseorang, entah siapa, saya lupa, melukiskan bagaimana wujud perasaan takjub, yang lahir alamiah tanpa "bedah kaisar" akibat perjumpaan dengan Kristus. Katanya, "Apabila kaisar yang paling adhikuasa di dunia ini tiba-tiba masuk ruangan, semua orang yang duduk akan serta-merta segera berdiri di atas kaki mereka. Tetapi apabila Kristus yang memasuki ruangan, semua orang yang semula berdiri, akan serta-merta rebah segera bersujud bertumpu di atas lutut mereka". * * * PADA bagian Khotbah di Bukit yang kita refleksikan kali ini, dengan amat jelas Yesus menegaskan otoritas yang dimiliki-Nya. Tidak kurang dari lima kali, Ia berkata, "Kamu telah mendengar firman 'begitu, begitu, begitu' .... Tetapi Aku berkata kepadamu 'begini, begini, begini' .... Bila sebelum ini Yesus mengatakan, bahwa "Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya", seka-rang Yesus berulang-ulang mengutip hukum Taurat, tetapi hanya untuk melawannya. Mengapa ini? Pasti bukan karena "sok jago" seperti kecenderungan "koboi-koboi Senayan" kita tempo hari. Yesus tetap sangat mematuhi dan menghormati hukum. Karena itu, Ia bukan mengajarkan hal-hal yang bertentangan., melainkan hal-hal yang melebihi tuntutan Taurat. Jadi, kalau Taurat mengatakan, "Jalan lima kilo"; Yesus tidak mengatakan, "Jangan berjalan!". Tetapi, "Berjalanlah sepuluh kilo". Ia menuntut lebih daripada ketaatan legal atau ketaatan formal. Ia menghendaki ketaatan total; ketaatan eksistensial. Bukan karena "saya harus", melainkan karena "saya mau". Di mana letak otoritas Yesus, sehingga Ia dapat menuntut ketaatan total seperti itu? Otoritas yang tidak dimiliki bahkan oleh Abraham, Musa atau Elia? Ada dua alasan. Pertama, yang bersangkutan dengan "siapa Dia". Karena Yesus adalah Yesus. Betapa pun hebat "peringkat" rohani Abraham atau Musa atau Elia, mereka menyandarkan otoritas mereka kepada tiga kata ini, yaitu, "Demikianlah Firman Tuhan". Hanya apabila mereka dengan setia menjadi "saluran" Allah, dan tidak menyandarkan diri kepada otoritas mereka sendiri, perkataan mereka punya kewibawaan, dan orang laik mendengarkannya. Yesus tidak! Ia adalah satu-satunya yang punya wewenang untuk berkata, "Tetapi Aku berkata kepadamu ...." Yesus bukan cuma "saluran Allah". Ia adalah Allah sendiri. Anda bertanya, "Mengapa bertahan pada Yesus?" Anda telah memperoleh jawabnya. Yesus adalah satu-satunya yang layak untuk didengarkan dan diikuti karena Ia adalah Allah. Tahun 2004 nanti, kita akan melaksanakan agenda lima tahunan kita, Pemilu. Namun, bagi orang Kristen, hidupnya setiap saat adalah "pemilu". Setiap saat ia harus memilih. Pesan untuk Anda, adalah: "Jangan sampai salah pilih! Pilihlah dengan saksama siapa yang layak Anda ikuti! Yang punya otoritas untuk menuntut ketaatan dan kesetiaan mutlak dari Anda!" Yang kedua, pendek saja. Mengapa kita bertahan pada Yesus? Jawabnya adalah: karena integritas-Nya. Jangan Anda ikuti orang berdasarkan omongannya! Orang yang pantas menerima ketaatan dan kesetiaan Anda adalah orang yang satu perkataan dan tindakannya. Dalam hal ini, tidak ada yang mampu melebihi Yesus. Ia melakukan apa yang Ia katakan, dan Ia mengatakan apa yang Ia lakukan. Kadang-kadang kita mendengar orang mengatakan bahwa yang penting adalah "nyanyian"-nya bukan "penyanyi"-nya. It's the song, not the singer. Saya tidak sepakat. Banyak tokoh jadi amat memuakkan, sebab ia bukan penyanyi yang baik untuk nyanyian yang selalu ia nyanyikan. Untuk apa menyimak, bila cuma nyanyiannya saja yang bagus, tetapi penyanyinya parau dan sumbang? Anda masih berminat juga membeli rekaman-rekamannya? Saya tidak! |