SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Pemimpin Itu Siapa Sih?
Oleh Eka Darmaputera

William Booth (1829-1912) dan Adolf Hitler (1889-1945). Ah, siapa tak mengenal mereka? Keduanya sama-sama pemimpin hebat. Yang satu pendiri Bala Keselamatan, gerakan yang menabur kasih dan kebaikan ke hati manusia -- khususnya bagi yang dirundung nestapa. Sedangkan yang lain adalah pendiri partai Nazi Jerman, rezim yang menebar teror ke segenap penjuru Eropa -- bahkan ke seluruh dunia.

Jadi ada perbedaan besar di antara mereka. Namun ada pula persamaannya. Mengenai kemiripan mereka, dapat kita sebutkan, antara lain, betapa mereka sama-sama meniti jalan ke kemashuran mulai dari anak-tangga yang paling bawah sekali.

Keduanya dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga papa. Sewaktu kecil, William Booth acap menjadi bulan-bulanan ejekan, pemerasan dan kejahilan anak-anak brandal sebayanya. Sementara Adolf Hitler memulai ”karier”nya sebagai seorang bintara rendahan setingkat kopral di angkatan perang Jerman. Jadi, jauh dari mengesankan, bila tidak mau dikatakan mengenaskan, bukan?

Namun demikian, toh kiprah mereka berdampak sangat besar bagi dunia. Rentang kehidupan mereka -- Booth 83 tahun dan Hitler 56 tahun – meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah umat manusia. Ya, apa pun penilaian kita mengenai ”warisan” yang mereka tinggalkan itu – baik atau buruk.

Pertanyaannya: Mengapa mereka berbeda dari sesama mereka? Mengapa mereka begitu menjulang tinggi bak gedung-gedung pencakar langit, sedang yang lain bagaikan rumah-rumah kardus para pemulung yang banyak bertebaran di ibu kota? Apa sih yang membuat mereka begitu lain, tidak seperti Anda atau saya?

Jawabnya singkat saja. Yaitu karena mereka – baik Booth maupun Hitler – adalah Pemimpin. Pemimpin dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Pemimpin dengan kharisma dan daya pikat istimewa. Pemimpin dengan kepemimpinan yang kuat luar biasa. Leaders with strong leadership. Sepertinya memang sudah dari sono-nya mereka itu telah ditakdirkan sebagai pemimpin.

Sementara sebagian besar dari kita, termasuk saya, tidak. Atau kita adalah sekadar pemimpin yang ”biasa-biasa” saja -- tak pernah menonjol atau membekaskan kesan apa-apa. Atau, boleh jadi, memang sudah dari sono-nya kita telah ditakdirkan untuk hanya jadi ”buntut”, jadi ”pengikut”, saja -- seumur hidup kita.

Terlepas dari kenyataan bahwa William Booth adalah seorang berhati malaikat, dan Adolf Hitler adalah ”monster” berwajah manusia, yang harus kita akui adalah, kedua-duanya berhasil menghadirkan diri mereka sebagai pemimpin. Nota bene, pemimpin-pemimpin ”kelas kakap”. Bukan pemimpin-pemimpin ”kelas teri”.

Bila kita menelusuri sejarah dunia, maka kita akan tahu bahwa, dari waktu ke waktu di panggungnya muncul tokoh-tokoh istimewa seperti mereka. Kita menyebut mereka ”primadona”, atau ”maestro”, atau ”pendekar” sejarah. Mengapa? Kita menyebut mereka demikian, karena mereka membuat ”sesuatu” terjadi. They make things happen. Entah disengaja entah tidak, mereka berhasil menembus kebekuan. Sehingga sejarah tak lagi bisa berjalan ”biasa” seperti sebelumnya.

Kita sebut mereka pemimpin-pemimpin besar, karena keberhasilan mereka menulis dan menukil sejarah. Mereka adalah ”pembuat sejarah”, sementara orang-orang seperti kita seringkali hanyalah ”pembaca sejarah”. Mereka menggetarkan dunia dengan perubahan-perubahan yang mereka buat, sementara orang-orang seperti kita seringkali cuma ”ketiban” akibatnya.

Karena itu mereka – para pemimpin itu -- bukan orang-orang biasa! Tempat mereka adalah di ujung persimpangan sejarah. Mereka berada di situ untuk merintis jalan baru ke hari esok, yang berbeda dari kemarin. Itulah mereka, orang-orang seperti Thomas Jefferson atau Abraham Lincoln atau Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela.

Tanpa mereka, saya yakin, bumi akan tetap berputar pada sumbunya. Hidup ini tak akan berhenti hanya karena mereka tiada. Ya! Tapi tanpa pengguncang sejarah seperti mereka, hidup hanya akan bergerak otomatis, mekanis, tanpa jiwa, dan tanpa arah. Sejarah menjadi sekadar sebuah garis lurus, sebuah rangkaian kesinambungan yang tanpa putus, begitu-begitu saja terus. Sangat menjemukan – saking ”mulusnya”!

Padahal kita tahu, Allah tidak menyukai ”status quo”. Ia tidak betah dengan kehidupan yang tanpa warna, yang tanpa ”surprises”, yang tanpa kejutan. Ia tak pernah bisa diam. Karena itu, Ia mencipta.

Mencipta artinya adalah, membuat yang ”tidak ada” menjadi ”ada”. Mencipta artinya ”mengubah” – dari ”khaos” menjadi ”kosmos”; dari ”kekacauan” menjadi ”ketertiban”; dari ”kekosongan” menjadi ”kehidupan”; dari ”gelap” menjadi ”terang”.

Dengan ”mencipta” itulah, Allah antara lain menyatakan bahwa Ia ”berkuasa”; bahwa Ia ”memerintah”; bahwa Ia ”pemimpin”! Tidak membiarkan sesuatu berlangsung begitu saja secara mekanis, tanpa arah, tanpa makna dan … tanpa kendali!. Ia membuat sesuatu ”terjadi”. Ia membuat ”terobosan”. Ia mengawali karya-Nya dengan, ”Jadilah …!” (Kejadian 1:3), dan mengakhirinya dengan ”Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5).

Inilah tipologi atau model kepemimpinan sejati yang dapat kita pelajari dan teladani dari Sang Maha Pemimpin. Bahwa pemimpin adalah pengendali, pendorong, penggerak, pengubah!

Seorang pemimpin sejati tidak cuma meratapi keadaan, ”Waduh, jadi presiden itu ternyata pusing sekali! Setiap hari saya hanya tidur 5 jam”. Seorang pemimpin tidak berlindung di balik dalih, ”Jangan Anda mengira memberantas korupsi itu gampang. O, rumitnya bukan main!” Atau terlalu mudah memaafkan kegagalan sendiri, ”Coba, hayo, menurut Anda, mana yang lebih baik buru-buru tapi salah, atau lambat sedikit tapi baik hasilnya?!”

”Pemimpin” seperti itu tidak memenuhi kualitas kepemimpinan yang ideal. Cuma namanya atau resminya saja ”pemimpin”. Saya jamin, ”pemimpin” seperti itu pasti tak pernah berani menempatkan diri di ujung jalan bersimpang. Pasti tidak mampu jadi inspirasi bagi pengikut-pengikutnya. Sebab hanya sibuk dengan keamanan, kenyamanan dan kepentingannya sendiri.

Padahal kenyataan yang tak terelakkan adalah, bahwa hidup ini terus bergerak. Dan karenanya hanya menyajikan dua pilihan: apakah hidup ini akan kita biarkan bergerak liar semaunya, dan kita tinggal manut mengikut saja; atau, hidup ini coba kita kendalikan sedemikian rupa, hingga sedapat mungkinlah ia berjalan ke arah yang kita kehendaki. Seorang pemimpin pasti akan memilih yang kedua. Kalaupun ia tak mampu sepenuhnya mengendalikan keadaan, ia tetap pantang membiarkan dirinya ditaklukkan tanpa daya oleh keadaan.

Jadi, sekali lagi, hidup berarti kemungkinan akan munculnya hal-hal baru. Walaupun, tentu saja, tidak semua yang ada dalam hidup ini ”baru” melulu. Ya! Sebab bila demikian, wah, alangkah tidak nyamannya! Kita akan terus terpontang-panting dan terbanting-banting, tanpa pegangan dan tanpa kepastian dibuatnya.

Padahal kita punya Tuhan yang ”tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibrani 13:8). Kita punya Tuhan yang adalah pegangan yang terpercaya. ”Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah” (Mazmur 62:2-3).

Oleh sebab itu, di samping perubahan ada kesinambungan. Atau, lebih tepat, sejarah adalah perpaduan dinamis antara empat unsur: kesinambungan, peningkatan, koreksi, dan pembaharuan. Seorang pemimpin yang bijak akan tahu kapan ia harus mempertahankan yang baik; bilamana ia mesti meningkatkan yang kurang; di mana ia mesti mengoreksi yang salah; dan saat ia mesti melakukan inovasi serta terobosan-terobosan baru. Dan kualitasnya ditentukan oleh kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan yang tepat, pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat.

Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berhasil memberikan sekuritas bagi rakyatnya, dan menjaga stabilitas negerinya. Inilah dimensi ”kontinuitas” atau ”kesinambungan”. Tapi tidak dengan harga berapa saja. Sebab ada saatnya ketika stabilitas – bila telah berubah menjadi kebekuan – harus diguncang, agar ada peningkatan, sehingga yang melenceng diluruskan, dan yang tak cocok lagi diuang untuk diganti dengan yang baru.

Akhir kata, seorang pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang dalam doanya yang tulus secara sadar mengucap,

”Ya Tuhan,
karuniakan daku keteduhan jiwa,
agar ikhlas menerima hal-hal yang tak mungkin aku ubah.
Tapi sekaligus juga keberanian
untuk tak gentar mengubah hal-hal yang perlu diubah;
Dan terutama, ya Tuhan, anugerahkan kearifan
supaya aku mampu membedakan antara keduanya.
Amin ”