SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Nama Itu Oleh Eka Darmaputera Pernahkah Anda bertanya-tanya-meski cuma dalam hati, dan walau cuma sekali-mengapa ada yang menyebut "ALLAH" dengan sebutan "YAHWEH", tapi ada pula yang menyebut-Nya "YEHOVAH" atau "YEHOWAH"? Mungkin tidak. Saya tahu, ada banyak pertanyaan lain dalam hidup ini, yang lebih mendesak ketimbang berpening-pening kepala memikirkan nama "Allah". Namun, saya toh ingin menjelaskannya juga. Paling tidak, bertambah pengetahuan tak ada ruginya, bukan? Konon, menurut guru saya di seminari dulu, adanya beberapa sebutan yang berbeda-beda untuk nama "Allah", disebabkan karena untuk waktu yang amat lama-berabad-abad, dari satu generasi ke lain generasi-orang Yahudi tidak pernah menyebut atau melafalkan kata itu lagi. Tidak pernah, karena tidak berani. Dan karena ini terjadi untuk waktu yang sangat lama, lambat-laun mereka lupa bagaimana harus mengucapkannya. Lalu apa yang mereka lakukan bila, misalnya ketika membaca Alkitab, mereka berjumpa dengan "kata" tersebut? Begini: bila mereka membaca Alkitab-yang biasanya mereka lagukan dengan suara nyaring, bagai orang mengaji-dan kemudian tiba pada kata tersebut, mereka tidak mengucapkannya, melainkan "melompati"-nya. Mereka hanya diam sejenak beberapa detik. Dan umat pun maklum, ada apa di balik ke"diam"an itu. Untuk pengetahuan Anda, kata-kata dalam bahasa Ibrani kuno itu hanya terdiri dari huruf mati, tidak punya huruf hidup. Jadi, "SINAR HARAPAN", misalnya, cukup ditulis "SNR HRPN". Atau "DARMAPUTERA", cukup ditulis "DRMPTR" Pertanyaannya, bagaimana mereka mengetahui bahwa "SNR HRPN" mesti dilafalkan "SINAR HARAPAN", bukan "SONAR HIRUPAN"? Jawabnya: ini diketahui berdasarkan konteksnya, dan . berdasarkan ingatan mereka. Orang-orang Yahudi kuno itu terkenal hebat ingatannya. Sebagian besar dari mereka buta huruf, namun tahu hampir semua ayat alkitab. Bagaimana mungkin? Dengan menghafalnya! Tapi, sekali lagi, karena selama berabad-abad kata "YHWH" tak pernah diucapkan, maka setelah beberapa generasi, orang lupa bagaimana mesti mengucapkannya. Ada yang "YAHWEH", ada yang "YEHOWAH". Begitu. * * * ANDA ingin tahu penyebab dari situasi yang unik ini? Tidak lain adalah karena orang-orang Yahudi, mungkin lebih dari bangsa mana pun di muka bumi ini, diajar untuk menaruh rasa hormat dan takut kepada Allah sampai ke batas yang paling ekstrem. Ingatlah, misalnya, kisah ketika ada orang tanpa sengaja menyentuh Tabut Perjanjian. Seketika itu juga yang bersangkutan dihukum, dan hukumannya tidak tanggung-tanggung-mati! Raja Saul, yang karena tidak sabar menunggu Samuel yang datang terlambat, lalu mengambil prakarsa memimpin sendiri upacara korban, juga dihukum berat. Keturunannya tidak akan mewarisi takhta. Yang lebih mencolok lagi adalah apa yang menimpa nabi Israel yang paling besar dan paling dicintai: MUSA. Nabi ini telah mengabdikan 40 tahun terakhir dari hidupnya untuk Tuhan dan bangsanya-dengan sepenuh pengorbanan dan dengan sepenuh ketaatan. Sampai kemewahan hidup di istana Firaun rela ia kesampingkan! Dan keamanan jiwa di tempat persembunyiannya di Midian ikhlas ia tinggalkan! Tapi, sayang sekali, ia melakukan satu kesalahan. Kesalahan yang sesungguhnya sangat minor, terutama bila dibandingkan dengan jasa-jasanya, yaitu ketika Israel kembali menggerutu kekurangan air, dan Tuhan menyuruhnya memberi perintah kepada sebuah batu gunung agar memancarkan air. Tapi sangking geramnya ia kepada Israel, yang terus-terusan mengeluh dan tak tahu berterima-kasih, ia mengayunkan tongkatnya dan memukul batu tersebut. Dan air memancar. Ternyata insiden kecil ini ber"buntut" panjang. Dalam kitab Ulangan 2:23-29 diceritakan, bagaimana Musa memohon kepada Tuhan, "Biarlah aku menyeberang dan melihat negeri yang baik yang di seberang sungai Yordan ." Permintaan kecil, dan amat wajar! Tapi apa jawab Tuhan? "Cukup! Jangan lagi bicarakan perkara itu dengan Aku. Naiklah ke puncak gunung Pisga, dan layangkanlah pandangmu ke barat., ke utara, ke selatan, dan ke timur, dan lihatlah baik-baik, sebab sungai Yordan ini tidak akan kau seberangi" Musa ditangkal masuk ke Tanah Perjanjian. Kejam sekali, bukan, hukuman ini? Padahal, bandingkan dengan ketika Pak Harto mau diajukan ke pengadilan. O, banyak yang tidak rela! Alasan mereka, "Pak Harto itu banyak jasanya". Ya, Pak Harto memang banyak jasanya, tapi banyak pula hartanya! Sedang Musa? Jadi bagaimana menjelaskan hukuman Tuhan yang terasa semena-mena itu? Satu saja penjelasannya. Yaitu, JANGAN PERNAH "MAIN-MAIN" DENGAN TUHAN DAN TITAH-TITAH-NYA! Sebab kemuliaan-Nya mutlak. KekuasaanNya mutlak. Titah-titah-Nya mutlak. Karena itu ., ketaatan kita mesti mutlak pula. Astaga, masih ingatkah Anda akan ini? * * * ISRAEL takut sekali, bila sampai tanpa sadar mereka mengucapkan kata "Allah" dengan tanpa hormat, lalu kualat. Untuk menghindari risiko ini, maka untuk "sip"nya, begitu pikir mereka, mereka tidak mengucapkan kata itu sama sekali. Itu lho, sama seperti salah satu semboyan untuk mencegah penularan HIV/AIDS, "SAFE SEX IS NO SEX". Karena kondom-pun tidak "safe" 100 persen nah, dari pada ambil risiko, hindari saja seks (bebas) sama sekali! Dan penyebab paling utama dari rasa "takut kualat" ini adalah, karena titah Allah sendiri. Perintah Ketiga dari "Dasa Titah" berbunyi, "JANGAN MENYEBUT NAMA TUHAN, ALLAHMU, DENGAN SEMBARANGAN, SEBAB TUHAN AKAN MEMANDANG BERALAH ORANG YANG MENYEBUT NAMA-NYA DENGAN SEMBARANGAN" (Keluaran 20:7). Apa artinya dan apa saja yang termasuk "dengan sembarangan" di sini, atau dalam terjemahan lama, "dengan sia-sia" ? Secara harfiah, dalam bahasa Ibrani-nya, "dengan sembarangan" atau "dengan sia-sia" berarti "dengan tidak sebenarnya". Artinya, apa yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan. Apa yang diucapkan berlainan dengan yang di dalam. Karena itu sia-sia, kosong, tidak tulus, sembarangan. Persoalannya, ucapan seperti apa yang termasuk golongan tersebut? Apakah sekadar mengucapkan, "Masya'allah, ada anak kok bandel begini, sih?" Atau, "Oh, my God, how beautiful !" ?. Atau, "Demi Allah, sungguh mati, saya tidak makan bakso kemarin!"? * * * SEBENARNYA yang paling dikutuk dalam perintah ketiga ini, adalah orang yang dengan sengaja memakai nama Allah sebagai "penguat" atau "penjamin" suatu janji, yang sejak semula dimaksudkan untuk-atau pada akhirnya-tidak dipenuhi. Nama Allah dijadikan garansi untuk "janji-janji gombal". Dosa ini dinilai amat serius, karena "mencatut" nama Tuhan yang kudus; dijadikan "backing" janji palsu. Di dalam Alkitab, bersumpah palsu adalah dosa besar. "Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah Tuhan" (Imamat 19:12). Yeremia mengkategorikan dosa ini sejajar dengan dosa-dosa serius lainnya, seperti mencuri, membunuh, dan berzinah (Yeremia 7:9). Sedang Zakharia, dalam nubuatnya menegaskan, bahwa Allah pasti akan memusnahkan orang yang bersumpah palsu (Zakharia 5:4). Ini tentu ada hubungannya dengan kata-kata Yesus, yang seolah-olah sama sekali melarang orang bersumpah. "Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit mau pun demi bumi atau pun demi Yerusalem. Janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu . Jika ya hendaklah kamu katakan: ya; jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak" (Matius 5:33-37). Bagi sebagian orang, kata-kata Yesus ini dipahami sebagai larangan bersumpah, termasuk bersumpah di depan pengadilan, atau ketika dilantik ke dalam jabatan tertentu. Tidak mau bersumpah, tentu saja adalah hak orang per orang. Tapi bukan begitu yang dimaksudkan Yesus! William Barclay mengemukakan pendapat yang menarik. Ia mengatakan, bahwa yang dilarang oleh Yesus, perhatikanlah, adalah bersumpah demi langit atau bumi atau Yerusalem atau kepala sendiri. Bukan demi nama Allah. Latar-belakang dari larangan ini adalah, karena ada banyak orang yang berpikir, asal saja mereka tidak bersumpah demi nama Tuhan, maka mereka bebas saja untuk melanggar dan tidak memenuhinya. "Tidak!," kata Yesus, "melainkan jika ya hendaklah kamu katakan: ya; jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak"-baik dengan sumpah atau tanpa sumpah. Yang paling penting bukanlah bersumpah atau tidak bersumpah, tetapi integritas seseorang. Yang dikatakan sesuai dengan yang dilakukan. Janji harus dipenuhi. Merenungkan ini, wah, pikir saya, barangkali 90 persen lebih pejabat kita adalah pelanggar-pelanggar serius perintah ketiga ini. Orang-orang yang semenjak berusaha untuk jadi pejabat, sampai ketika disumpah sebagai pejabat, dan melaksanakan tugas sebagai pejabat, tidak pernah bermaksud memenuhi sumpah jabatannya! Orang-orang yang dengan tegap dan lantang mengucapkan sumpah, tapi tanpa risih melanggarnya dari waktu ke waktu. Tapi perintah ini tidak cuma relevan untuk mereka. Ia juga relevan bagi kita semua. Mungkin saja kita kurang menghargai seseorang karena status sosialnya, atau karena tingkat pendidikannya, atau karena jumlah kekayaannya. Tapi tahukah Anda yang paling hina dari semua? Mereka yang tidak bisa lagi dihargai kata-katanya! Orang-orang semacam ini tidak pantas menerima respek apa pun, dan dari siapa pun! |