SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Milik Pribadi
Oleh Eka Darmaputera

ADALAH Pierre Joseph Proudhon yang membuat beberapa orang tersentak kaget dengan pernyataannya, bahwa "milik pribadi adalah pencurian". "Property is theft", begitu ia berkata.

Menurut keyakinannya, tak seorang manusia pun mempunyai hak untuk memiliki apa pun. Mengapa? Sebab segala sesuatu pada hakikatnya adalah milik bersama. Tak ada "punya-mu" atau "punya-ku" yang ada ialah "punya kita".

Di telinga orang Kristen, pernyataan tersebut sebenarnya tak mengejutkan amat. Malah, terdengar cukup akrab.

Bukankah kita biasa mengatakan, bahwa segala sesuatu yang ada pada kita bukanlah milik kita, melainkan milik Allah? "Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya"! (Mazmur 24:1) Hak-dan sekaligus kewajiban-kita, tak lebih hanyalah menata-layani milik Allah yang dititipkan-Nya pada kita.

Namun, secara mutlak mengatakan bahwa "milik pribadi" itu hasil "mencuri", rasa-rasanya kok terlalu berlebihan. Apalagi mengatakan, bahwa hanya "masyarakat"-lah yang mempunyai hak-milik yang sah. Wah!

Yang segera terbayang adalah serbakekerasan, kesewenang-wenangan, dan perkosaan, ketika milik pribadi dirampasi. Sewaktu "Revolusi Bolshevik" di Rusia; "Revolusi Kebudayaan" di RRC; "Revolusi Pol Pot" di Kampuchea. Mengerikan!

Tapi itulah yang akan selalu terjadi, ketika "negara" atau "masyarakat" diberi mandat resmi untuk merampok milik rakyatnya sendiri. Sangat destruktif, dan sia-sia. Sia-sia, sebab "milik pribadi" tak pernah mungkin dilenyapkan. Paling banter ia sekadar berpindah tangan, dari penguasa yang satu ke tangan penguasa yang lain.

TAPI benar sekalipun namanya adalah "milik pribadi", ia tetap harus dipertanggung-jawabkan. Dipertanggungjawabkan kepada yang "paling empunya", kepada yang "lebih empunya", kepada Dia sang Pemilik sah satu-satunya.

Banyak perumpamaan Yesus yang menunjukkan, bahwa setiap orang harus mempertanggungjawabkan bagaimana ia memanfaatkan miliknya. Tapi perhatikanlah! Bukankah dengan demikian, ini berarti bahwa "milik pribadi" diakui? Bahwa "memiliki" tidak otomatis berarti "mencuri"?

Hanya saja orang akan dihakimi, antara lain berdasarkan bagaimana ia memanfaatkan "milik pribadi"nya itu. Apakah milik itu dimanfaatkan untuk berbagi, seperti kisah "orang Samaria yang murah hati"? Atau hanya untuk dinikmati sendiri, seperti perumpamaan "kambing" yang di sebelah "kiri", yang dibuang Tuhan ke perapian abadi?

Satu-satunya kejadian di mana Yesus memerintahkan agar orang melepaskan semua harta miliknya adalah, ketika Ia berhadapan dengan seorang pemimpin muda yang saleh lagi kaya raya Waktu itu, Ia berkata, "Juallah apa yang kau miliki, dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga ." (Markus 10: 21).

Tapi amat jelas, perintah ini insidental dan kondisional sifatnya-bukan aturan yang berlaku secara universal. Yesus tidak menuntut hal yang sama dari Lewi atau Zakheus atau Yusuf Arimatea, yang juga berharta banyak. Origenes (abad 4), dalam tafsiran Injil Matius-nya, menceritakan kembali apa yang konon tertulis dalam naskah yang kini hilang, yakni "Injil Ibrani".

Di situ diceritakan, bahwa setelah Yesus mengucapkan perkataan-Nya itu, orang muda itu menggaruk-garuk kepalanya, memperlihatkan ketidaksenangannya. Melihat itu, Yesus berkata, "Bagaimana engkau dapat mengatakan, bahwa engkau telah menjalankan semua ketentuan Taurat dengan setia, kalau beitu? Bukankah di situ dituliskan, bagaimana engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri? Tapi, seperti engkau lihat sendiri, ada begitu banyak sesamamu, sama-sama keturunan Abraham, yang berpakaian rombeng dan harus mati kelaparan. Sementara di rumahmu engkau menyimpan banyak sekali benda-benda berharga. Dan tak satu pun kau bagikan untuk meringankan penderitaan mereka".

Di sinilah intinya. Mempunyai milik pribadi bukanlah kesalahan. Tapi dengan syarat, si pemilik senantiasa ingat bahwa apa yang ia miliki itu, tidak boleh hanya dimanfaatkan bagi keperluan diri sendiri, tapi bagi kemaslahatan bersama. Memanfaatkannya hanya untuk kesenangan sendiri itulah, yang pantas dikategorikan sebagai "mencuri". Membiarkan sesama kita yang kelaparan memunguti remah-remah yang jatuh dari meja kita, adalah sikap sangat tercela!

ADA lagi yang tindakan yang, tanpa kita sadari, dapat pula dikategorikan sebagai "mencuri". Ini bersangkut-paut dengan "hutang". Paulus menulis, dalam Roma 13:8, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi".

"JANGAN BERHUTANG APA-APA" - inilah prinsip kristiani kita. O ya? Mengapa? Sebab ada satu faset dalam "berhutang", yang pada dasarnya adalah "mencuri". Yang bersifat menahan apa yang sebenarnya merupakan hak orang lain.

Dalam sistem perdagangan modern, pemahaman seperti ini pasti terasa absurd. Sebab hutang-piutang telah menjadi bagian yang begitu menyatu dalam sistem ekonomi kita. Bagaimana industri perbankan dapat berkembang, sekiranya hutang piutang dilarang sebab dianggap sebagai kejahatan?

Tapi tak dapat dipungkiri, bahwa - dalam praktik-hutang piutang acap kali sangat erat terkait dengan kehancuran. Orang-orang yang hancur hidupnya, yang hancur keluarganya, dan yang hancur seluruh masa depannya, baik karena terlilit hutang yang tak dapat mereka bayar, ataupun karena ludas seluruh modal kerjanya, akibat orang tidak membayar hutang mereka.

Dan apa yang dilakukan oleh para "lintah darat" itu, kalau bukan "mencuri" atau "merampok" secara terang-terangan? Mengambil kesempatan untuk menarik keuntungan yang jauh di luar kewajaran, justru dari orang-orang yang amat membutuhkan pertolongan, dan karena itu tak punya pilihan.

Jadi, dalam arti tertentu, bukan hanya "berhutang" yang bisa dikualifikasikan sebagai "mencuri". Tetapi juga "memberi hutang"

TENTU saja kita tidak dapat secara naif mengenakan bulat-bulat semua yang dikatakan alkitab ke situasi kita sekarang. Situasinya sangat berbeda. Sistem berniaga-nya amat berlainan. Namun, ada yang tidak boleh kita lupakan, yaitu bahwa ada banyak sekali hal dalam hidup manusia, yang pada hakikatnya tak pernah berubah.

Misalnya apa yang dikatakan alkitab berikut ini.

Menurut keyakinan saya, apa yang tertulis di situ bukan hanya tetap berlaku, tetapi malah terasa kian relevan dari waktu ke waktu. Firman Tuhan, "Janganlah engkau memeras pekerja harian yang miskin dan menderita, baik ia saudaramu maupun seorang asing yang ada di negerimu, di dalam tempatmu. Pada hari itu juga, haruslah engkau membayar upahnya sebelum matahari terbenam; ia mengharapkannya, karena ia orang miskin, supaya ia jangan berseru kepada Tuhan mengenai engkau, dan hal itu menjadi dosa bagimu" (Ulangan 24:14-16)

Ini ditekankan kembali dalam Imamat 19:13, "Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kau tahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya". Bahkan juga dalam Perjanjian Baru. Misalnya Yakobus 5:4, "Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu"

Saya tidak tahu apakah Anda yang kebetulan membaca renungan ini, adalah pekerja atau pemberi kerja; buruh atau pengusaha. Dua kelompok sosial yang tentu saja mempunyai kepentingan yang berbeda. Di mana yang satu menginginkan upah yang setinggi-tingginya. Sementara yang lain justru ingin menekannya serendah-rendahnya.

Namun apa pun kepentingan Anda, saya mohon Anda sepakat, bahwa menuntut upah setinggi-tingginya sehingga melebihi proporsi, adalah "mencuri". Bahkan suatu tindakan "bunuh diri". Bunuh diri, sebab secara tidak langsung dan dalam jangka panjang, mematikan sumber nafkah sendiri.

Tapi demikian pula membayar upah jauh lebih rendah dari tingkat kewajaran, misalnya dengan dalih yang bersangkutan sendiri tidak berkeberatan menerimanya. Ini pada hakikatnya adalah "mencuri", bahkan "membunuh", hak orang untuk hidup layak.

ALKITAB juga memuat larangan memberi hutang kepada orang yang seharusnya berhak menerima pertolongan. Jangan beri mereka hutang, tapi berikanlah apa yang mereka butuhkan untuk hidup - dengan cuma-cuma! Namun pada sebelah lain., alkitab melarang orang yang berhutang, dengan motivasi "ngemplang" atau tidak membayar kembali. Ini pun artinya "mencuri".

"Jangan berhutang kepada siapa pun juga". Artinya: penuhilah apa yang kewajibanmu, dan berikanlah apa yang menjadi hak sesamamu - sampai lunas. Jangan mengambil hak orang lain, baik itu uang atau kehidupan atau harga diri atau rasa aman mereka - baik langsung atau tidak langsung . Hubungan yang ideal antar manusia, kata Paulus, adalah "saling mengasihi". Bukan "saling herhutang" - apa lagi "saling mencuri".

Tapi sayang sekali, justru "kasih" inilah yang senantaiasa menjadi hutang kita yang tak terlunaskan seumur hidup kita. Bagaimana bila kita mulai mengangsurnya?