SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Meretas Batas
Oleh Eka Darmaputera

Kecuali Anda adalah orang yang sangat istimewa-yang kemungkinan besar tidak-pastilah Anda pernah mengalami sekali-dua, ketika doa Anda seakan-akan kandas bagaikan mobil yang terperangkap di lumpur. Tak mampu mencapai Allah.

Barangkali kita telah memusatkan perhatian dengan sebaik-baiknya. Kita juga telah mengerahkan segenap kemauan kita. Semua yang disyaratkan untuk sebuah doa yang baik telah kita laksanakan sedapat-dapatnya. Toh tetap terkendala juga. Ini apa sebabnya?

Apakah yang bisa menjadi kendala hubungan antara Allah dan manusia? Salah satunya, menurut Yesus, adalah hubungan kita dengan sesama.

"Sebab itu jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah, dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu itu di depan mezbah itu, dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu (baru) kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu"

Inti sari yang ingin Ia tekankan ialah mustahil menjalin hubungan baik dengan Allah, tanpa hubungan baik dengan sesama. Tak ada gunanya menakbirkan "haleluya" atau "allahhu akbar", bila hati kita dipanggang benci membara atau tangan kita berlumuran darah saudara kita.

* * *

KEMBALI di sini Yesus mengemukakan hal-hal yang sebaliknya dari yang lazim kita lakukan. Pertama, adalah ketika Ia mengatakan "Tinggalkanlah persembahanu di atas mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu". Kelaziman kita mengatakan bahwa kesalehan itu berbanding lurus dengan kemampuan untuk tidak peduli terhadap hiruk pikuk di sekitarnya, sebab seluruh kesadarannya tenggelam di "lautan" Allah.

Karena itu, tiba-tiba meninggalkan ibadah, sebab teringat kepada persoalannya dengan si Rustam, atau utangnya kepada si Rusmi, sungguh tidak pantas ditiru. Yang sebaliknyalah yang layak kita jadikan teladan: orang-orang yang sekalipun bumi berguncang atau misalkan mentari tiba-tiba kelam, namun konsentrasi doanya tak bergoyang.

* * *

KEDUA, adalah sewaktu Yesus menekankan pentingnya "yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau". Pentingnya peka terhadap perasaan saudara kita. Tersinggungkah ia karena ucapan kita? Terlukakah hatinya oleh tindakan kita? Apa kira-kira yang tersimpan dalam hatinya tentang kita? Dan seterusnya.

Namun, banyak orang mengajarkan sebaliknya. "Orang macam mereka itu bodoh! Mereka pasti cuma akan jadi pecundang. Bila Anda ingin jadi politikus atau pengusaha atau pendeta yang sukses, ini saja kok , bung Eka, resepnya. Tegar sekaligus luwes! 'Tegar' dalam arti 'ndablek'. Dan 'luwes' dalam arti 'membebek' ".

"Muka badak". "Hati buaya". Tidak mudah tergetar oleh pendapat, kesan atau kecaman orang. Contohlah pemimpin-pemimpin kita! Begitu tenangnya di pengadilan. Begitu "cuek"nya di tengah badai kecaman! Begitu "ndablek"nya di tengah tuntutan mundur! Begitu konsistennya kepada prinsip "emangnye gue pikirin?!"

Yesus mengajarkan bentuk ketegaran yang berbeda. Bukan "tegar" demi kedudukan atau keuntungan, tapi "tegar" demi prinsip dan kebenaran. Dan dalam hubungan ini, pikiran, kesan dan pandangan orang lain itu penting. Anda mesti bersedia belajar dan mendengarkan siapa saja. Peka. Peduli. Tidak jadi batu sandungan!

Sesama Anda, kata Yesus, lebih penting ketimbang kewajiban-kewajiban ritual Anda. Apa yang mereka pikirkan tentang Anda, kata Yesus, sama pentingnya dengan apa yang Anda pikirkan tentang mereka. Apa gunanya kekhusyukan di depan altar, bila sementara Anda ber"khusyuk ria" ada yang terisak dan terusik akibat perbuatan Anda? Datanglah ke hadirat-Nya dengan hati yang hancur, bukan dengan menghancurkan hati orang!

* * *

HAL ketiga yang, bagi sebagian orang yang lain, tidak cocok dengan pikiran mereka adalah, kata-kata Yesus, "Lalu (barulah) kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu". Yang ini Yesus tujukan kepada kelompok yang lain. Bukan kepada orang-orang Kristen penganut formalisme ("pokoknya menjalankan aturan-aturan agama"), melainkan kepada orang-orang Kristen pengikut "fungsionalisme" ("pokoknya melaksanakan ajaran-ajaran agama"). Yang pertama menekankan "yang tersurat", yang kedua mementingkan "yang tersirat".

Fungsionalisme ini banyak penganutnya, khususnya di negara-negara Barat. Itu sebabnya di sana banyak gedung gereja dijual, dan ruang-ruang ibadah sepi pengunjung.

Di Basel, Swiss, pada suatu Jumat Agung, saya pernah diajak mengikuti ibadah. Di Indonesia, di samping Natal, ibadah Jumat Agung adalah yang paling ramai pengunjungnya. Karena itu amat "shock" saya, sebab setiba di gedung gereja, saya hanya disambut oleh hawa dingin udara pagi awal musim semi dan selebihnya bangku-bangku kosong, padahal ada pelayanan sakramen Perjamuan Kudus, pikir saya.

Pada petang harinya, barulah gedung gereja tersebut penuh sesak. Tapi untuk apa? Tenyata untuk menyaksikan pagelaran sebuah konser musik. Mattheus Passion. "Mengapa ibadah hari Minggu tidak diminati lagi?", saya coba bertanya.

Jawaban yang saya terima, "Untuk apa? Bukankah yang terpenting adalah menjalankan apa yang diajarkan Kristus, bukan menjalankan ketentuan-ketentuan formal agama yang ratusan tahun usianya dan telah kehilangan maknanya?"

Yesus mengatakan, formalitas memang tidak cukup. "Bukan setiap orang yang berseru Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga". Sebab itu, "tinggallah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu" Tapi, setelah itu, kembalilah dan lanjutkan persembahanmu!

Tapi setelah itu, kembalilah! Jangan menganggap formalitas itu tak ada gunanya.

* * *

DALAM hubungan suami-istri, orangtua-anak, atasan-bawahan-pendek kata hubungan antar manusia-formalisme punya makna. Cinta, memang benar, harus dipraktikkan dalam seluruh kehidupan, tapi juga harus dikatakan dan dinyatakan secara khusus, bukan?

Jangan Anda katakan ungkapan cinta dengan bunga itu bodoh! Atau saling menelepon dari luar kota itu pemborosan belaka! Manusia membutuihkan simbol-simbol. Untuk hal yang semakin berharga dan bermakna, semakin ia hanya dapat diungkapkan dengan bahasa simbol.

Misalnya ya formalisme dalam ibadah itu, di mana yang kita lakukan di sana lebih banyak bersifat simbolis ketimbang pragmatis. Ini adalah agar terpenuhilah sedapat mungkin seluruh dimensi kebutuhan manusiawi kita. Sekiranya manusia itu hanya tubuh saja-seperti rumput yang diperlukannya memang hanya air dan pupuk. Atau sekiranya manusia itu hanya tubuh plus jiwa, cukuplah manusia-seperti kucing-dielus-elus kuduknya. Ia sudah puas.

Tapi manusia adalah kesatuan tubuh-jiwa-roh. Ia punya kebutuhan fisik, punya kebutuhan psikis, dan . kebutuhan spiritual.

Sebab itu cuma manusia punya agama. Simpanse tidak. Ikan lumba-lumba tidak. Saudara-saudara kita di Barat pasti tidak terlalu bodoh untuk mengetahui mengapa mereka mengalami kekosongan jiwa yang luar biasa. Sayang mereka mungkin terlalu keras kepala untuk bersedia mengakui dan mengoreksinya. Fungsionalisme telah menyeret mereka terlampau jauh.

Sebaliknya dengan kita orang-orang Indonesia. Kita amat menikmati kegiatan-kegiatan simbolis. Mungkin malah berlebih-lebihan.

Untuk ini kita perlu diingatkan, bahwa upacara tidak serta-merta memenuhi seluruh dimensi kebutuhan hidup kita. Demokrasi, HAM, pemberantasan KKN, reformasi, Indonesia Baru, tidak akan terealisasi hanya dengan memukul gong tiga kali. Di sini lah letak stagnasi kita selama ini dalam membangun bangsa serta meretas batas-batas kekinian kita memahat masa depan yang kita cita-citakan. Kita mesti belajar berpikir, bersikap dan bertindak fungsional. Mengatasi formalisme.

Formalitas saja tapi tidak fungsional, adalah kemunafikan yang kosong. Sebaliknya, fungsional saja tanpa formalitas, adalah kering, gersang, dangkal. Yang satu bagaikan roh tanpa jasad, yang lain seperti tubuh tanpa roh. Keduanya adalah tembok-tembok batas yang harus kita retas.