SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Menyoal Homoseksual Secara Proporsional Oleh Eka Darmaputera Menulis tentang homoseksualitas yang dapat memuaskan semua pihak, wah, alangkah sulitnya! Sungguh menuntut kearifan dan kehati-hatian. Maksud saya, sebuah tulisan yang satu memberi kesan sebagai pembela kebejatan. Sedang bagi yang lain, tidak terasa arogan dan semena-mena.. Sebenarnya yang lebih aman adalah tidak membicarakannya. Namun sikap ini, menurut keyakinan saya, tidak bertanggung jawab. Sikap yang hanya mencari aman. Tidak mencerminkan baik integritas moral maupun kejujuran intelektual. Menurut keyakinan saya, pembahasan yang serius mengenai Hukum VII, "JANGAN BERZINAH", mengharuskan kita membahas masalah HOMOSEKSUAL, mengingat aktualitasnya maupun kontroversialitasnya. Karenanya, apa pun risikonya, kita mesti membahasnya. Tidak ada pilihan lain. Agar setelah itu, dengan tenang tanpa rasa berutang, kita dapat melenggang ke pembahasan titah berikutnya - Hukum VIII. Alkitab cukup banyak menyebut-nyebut masalah kita. Dimulai dengan Kejadian 19:1-11, yang bercerita tentang dari mana sebutan lain untuk homoseksualitas - "sodomi" - itu berasal. Tapi yang jauh lebih banyak disebut-sebut adalah, kutukan terhadap praktik homoseksual yang berhubungan dengan ibadah kafir, yang lazim disebut sebagai "pelacuran kudus" (Ulangan 23:17-18; 1 Raja-Raja 14:24; 15:12; 22:46; 2 Raja-raja 23:7). Di situ, dalam "ibadah" ini, orang menyatukan diri dengan dewa-dewi mereka, dengan cara menyetubuhi para "imam" -- yang fungsinya tak lebih dari pada pelacur -- baik laki-laki maupun perempuan. Kutukan terhadap praktik homoseksual itu an sich, kita dapati dalam Imamat 18:22. Bunyinya, "Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian". Yang melakukannya diancam dengan hukuman mati (Imamat 20:13). Jadi, tak pelak lagi, homoseksualitas memang dianggap sebagai pelanggaran yang sangat serius. Dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27, Rasul Paulus mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan moral dunia kafir, dari mana orang-orang kristen sebenarnya telah dibebaskan dan disucikan oleh Kristus (1 Korintus 6:9). Karena itu, sebagai konsekuensinya, tak layak dipraktikkan lagi. BEBERAPA rujukan tersebut kiranya telah cukup untuk membawa kita kepada beberapa kesimpulan. Antara lain, (a), bahwa praktik homoseksual ternyata bukan suatu fenomena moderen, tetapi sudah ada sejak zaman alkitab. Ia merupakan praktik yang universal. Lazim dilakukan orang, di seluruh dunia, di sepanjang masa. Karenanya, kita sebenarnya tidak perlu terlalu terperanjat atau terperangah. Lalu karena "shock" berat, bereaksi berlebih-lebihan. Baik "pro" maupun "kontra". Bereaksi tentu boleh, tapi cukup yang wajar-wajar sajalah! Yang proporsional. Kesimpulan kedua, (b), adalah, bahwa sekali pun praktik tersebut bersifat "universal", bahkan di banyak tempat dianggap "normal" - misalnya, di antara 15 Kaisar Roma yang pertama, konon, 14 adalah homoseksual -- , ini tidak berarti ia serta merta berhenti menjadi kontroversi. Di seluruh dunia dan di sepanjang masa, homoseksualitas selalu menjadi "masalah" ; selalu "dipermasalahkan". Dan ketiga, (c), dengan hati berat, saya harus mengatakan bahwa, di dalam alkitab, tidak satu kali pun praktik homoseksual dibela dan dibenarkan. Dari kitab ke kitab, secara konsisten, alkitab melarangnya dengan tegas. Oleh karena itu, bila ada orang bermaksud untuk membela serta membenarkan homoseksualitas, -- ini boleh-boleh saja -- ia tidak dapat mendasarkan pembelaannya itu pada kesaksian alkitab. Ia harus mencari sumber pembenaran yang lain! Setelah mengatakan tiga kesimpulan tersebut, saya akui, masalah kita tidak langsung selesai. Homoseksualitas bukanlah persoalan "hitam-putih" yang sederhana. Tidak boleh kita tanggapi secara naif dan simplistis - sekadar "ya" atau "tidak". Apa lagi bila, atas nama kekristenan, kita lalu hanya mencerca dan mengutukinya. Sikap "gegabah" dan "menang-menangan" inilah, yang justru tidak kristiani! MENGAPA masalah kita ini saya sebut "tidak sederhana"? Sebab, pada satu pihak, bagi sebagian orang, praktik homoseksualitas tidak dianggap sekadar sebagai perbuatan "zinah" saja. Tapi lebih parah dan lebih bejat dari itu. Ia dianggap sebagai "penyimpangan kodrat". Melawan hukum alam. Menentang ketetapan Tuhan. Bagi orang-orang ini, berselingkuh misalnya tentu salah. Tapi masih "wajar"; masih "alamiah". Sedang homoseksualitas? Ketika orang bersikukuh mengatakan, bahwa masalahnya adalah masalah penyimpangan kodrat, maka pintu diskusi telah tertutup. Telinga maupun hati telah terkunci. Percakapan tak mungkin lagi. Di lain pihak, masih ada lagi yang membuat masalah yang rumit ini bertambah rumit. Yaitu kenyataan, bahwa sesungguhnya homoseksualitas itu tidak hanya satu tipe atau satu macam saja. Sebab itu, kita tidak boleh bersikap "hantam kromo" atau "gebyah uyah" menyama-ratakannya. Ini penting sekali! Jenis pertama adalah, homoseksualitas sejak lahir. Sebagaimana Anda dan saya dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, atau dilahirkan dengan rambut hitam atau pirang, demikianlah ada orang-orang yang dilahirkan sebagai homoseksual. Mereka tidak memilihnya. Mereka menjadi mereka, bukan karena sebab atau akibat apa pun juga. Homoseksualitas itu telah menjadi bagian dari dirinya, sejak semula. Sebab itu - sekali pun mau -- ia tak mampu mengu-bahnya. Tapi, lebih kompleks lagi, homoseksual jenis pertama ini, ternyata juga tidak cuma satu macam. Tidak cuma satu, karena reaksi yang bersangkutan terhadap keadaan dan keberadaannya itu, juga beraneka ragam. Ada yang menerima keadaannya ini dengan keperihan yang sangat. Mereka menyadari "kelainan" mereka dibandingkan dengan orang-orang lain. Dan ini membuat mereka sangat tertekan dan amat tidak berbahagia. Bagi orang-orang ini, setiap saat adalah pertempuran melawan diri sendiri. Setiap saat mereka berada di ajang perang, yang mereka tahu tak akan pernah mereka menangkan. Pada tipe inilah, kita berjumpa dengan orang-orang yang walau pada dasarnya homoseksual, tapi menolaknya dengan sekuat tenaga, yaitu dengan tidak mempraktikkannya. Meskipun sebagai konsekuensinya, mereka mesti melewati hari-hari mereka dengan kehancuran hati, dan digayuti rasa sepi. Kemudian, ada pula tipe yang lain, yaitu orang-orang yang menerima keadaan mereka sebagai sesuatu yang "alamiah". Mereka tidak merasa bersalah atau merasa aneh dengan keadaannya. Sebab itu, juga tidak berusaha untuk menutup-nutupinya, apa lagi berusaha untuk mengubahnya. Sebaliknya, tidak jarang mereka malah berusaha membujuk orang lain, untuk bersedia menjadi seperti mereka. Atau dengan galaknya menuntut hak mereka: respek dan penerimaan dari masyarakat. DI SAMPING homoseksual sejak lahir, ada pula jenis lain. Jenis yang kedua inilah, yang acap menciptakan banyak masalah. Yaitu orang-orang yang tidak menjadi homoseksual sebab sudah "ditentukan" begitu, melainkan yang memilihnya dengan sengaja. Orang-orang ini mungkin sudah "bosan" dengan kehidupan "normal", lalu mencari alternatif "lain" , yang bisa memberikan pengalaman "lain". Dengan ringkas saya tegaskan, bahwa mustahil kita dapat membenarkan homoseksualitas jenis kedua ini. Bahkan untuk bersimpati sekalipun. Bagi para homoseksual jenis pertama, yang dengan kejam "dilemparkan" ke kondisi yang tidak mereka minta, memang tak ada sikap yang lebih tepat, dari pada memberikan kepada mereka segenap ketulusan dan simpati, serta keterbukaan untuk memahami. Tapi "tidak" bagi mereka yang menjadi homoseksual, semata-mata hanya untuk memuaskan nafsu petualangan mereka, atau sekadar untuk tampil beda. Bagaimana pun juga, homoseksualitas adalah kondisi yang TIDAK NORMAL. Homoseksual bukan alternatif heteroseksual. Mungkin bukan "kebejatan", tapi paling sedikit ia merupakan "kelainan". Not necessarily a perversion, but surely it is a deviation. Namun harus diingat, bahwa mengatakan sesuatu itu "tidak normal", tidak otomatis berarti mengecam, menghina, atau mengutuk. Ia lebih merupakan sebuah "pernyataan fakta", yang dapat kita utarakan dengan sepenuh simpati dan segenap cinta kasih. Seperti ketika kita mengatakan, "Waduh, bayi pak U'ut lahir abnormal!" Karena homoseksualitas merupakan kondisi yang "tidak normal", dengan sendirinya ia menuntut penanganan yang "istimewa" pula. Sesuatu yang tidak normal tidak mungkin dibiarkan dipraktikkan secara leluasa, apa lagi dipropagandakan secara bebas. Yang "tidak normal" seyogianya kita "normal"kan. Tidak sebaliknya, kita biarkan berkembang semakin meluas, atau dilegalisasi secara hukum. Tapi juga tak menolong apa-apa, hanya dengan mencerca dan mengutuknya. Sikap yang benar-benar tegas, terutama ditujukan kepada mereka yang tidak mau mengakui "ketidak-normalan" mereka. Orang-orang yang sebenarnya dapat menolong dirinya sendiri, tetapi sengaja menjerumuskan diri sendiri, bahkan menjerumuskan orang-orang lain. Sedang bagi mereka yang amat menderita karena keadaannya, mereka yang telah berupaya sekuat tenaga melepaskan diri, tapi tak berdaya menolong dirinya, seluruh masyarakat harus dididik agar tidak terlalu cepat mencerca hal-hal yang tidak sepenuhnya ia ketahui, atau serta-merta mengutuk suatu keadaan yang tidak ia alami sendiri. |