ETIKA Menghormati Orang Tua
Oleh Eka Darmaputera
Setelah empat titah yang menata hubungan vertikal kita dengan Allah,
kini kita akan mulai membahas enam titah selanjutnya, yang mengatur
hubungan horisontal kita dengan sesama.
Menurut dugaan Anda, dosa paling serius apakah yang dapat dilakukan
orang terhadap sesamanya? Dan yang karenanya patut dikategorikan sebagai
perbuatan maksiat paling utama? Apakah teror? Apakah kebohongan publik?
Apakah korupsi? Apakah politik uang? Apakah pelecehan seksual? Atau apa?
Kejahatan-kejahatan tersebut, saya setuju, memang amat mengerikan
akibatnya. Orang-orang beragama tak perlu ragu-ragu mengutuknya, sebab
Tuhan pun mengutuk perbuatan-perbuatan tersebut. Namun apakah
kejahatan-kejahatan itu lalu serta merta pantas disebut sebagai dosa
paling utama, ini adalah soal lain.
Yang jelas, Alah punya pendapat berbeda. Dalam Dasa Titah, relasi dengan
sesama yang paling pertama kali disebut oleh Tuhan -- dan karena itu
juga yang pertama-tama menuntut segenap perhatian kita - adalah, apa
hayo? Terkejutlah, bila Anda mau terkejut! Sebab yang pertama-tama
disebut oleh Allah adalah, astaga, . masalah hubungan dengan orang-tua!
Soal relasi seseorang dengan ayah dan ibunya! Ini disebut lebih dahulu
daripada membunuh, mencuri, berzinah, dan sebagainya.
"HORMATILAH AYAHMU DAN IBUMU, SUPAYA LANJUT UMURMU DI TANAH YANG
DIBERIKAN TUHAN, ALLAHMU, KEPADAMU" (Keluaran 20:12)
BILA kita mencermati titah kelima ini lebih saksama, kita akan segera
menemukan keistimewaan-keistimewaan yang menarik. Misalnya saja, soal
bentuknya. Seperti kita ketahui, Dasa Titah terkenal dengan bentuknya
yang "negatif".
"Negatif" artinya, titah-titahnya serba diawali dengan "JANGAN". Jangan
ini, dan jangan itu. Jangan begini, dan jangan begitu. Tidak boleh
begini, dan tidak boleh begitu. Baik bagian pertamanya, yang menyangkut
hubungan dengan Allah. Maupun bagian keduanya, yang menyangkut hubungan
dengan sesama manusia.
Seluruhnya! Kesepuluh-puluhnya! Kecuali dua. Yang pertama adalah titah
keempat, "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat ."; dan yang kedua adalah
titah kelima yang sedang kita bahas, "Hormatilah ayahmu dan ibumu ."
Melalui dua titah tersebut, Allah memberitahukan apa yang harus kita
lakukan-bukan apa yang tidak boleh kita lakukan. Kira-kira, menurut Anda,
apa maksud Allah? Tidak terlampau sulit kita terka. Perintah yang
positif jauh lebih jelas dan tegas ketimbang yang negatif. Iya, "kan?
Perintah "Kerjakan ini!", lebih jelas ketimbang larangan "Jangan lakukan
itu!". "Kamu ke sana!" mengandung lebih banyak kepastian dari pada "Jangan
ke situ!" Begitu pula titah "Hormatilah ayahmu dan ibumu" dibandingkan
dengan, misalnya, "Jangan kurang ajar terhadap orang-tuamu!"
Yang terakhir ini menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya, apa saja sih
yang dapat dikategorikan sebagai "kurang ajar" itu? Apakah mendebat
pendapat atau tidak menaati keputusan orang-tua termasuk? Sepertinya
begitu.
Tapi bagaimana bila justru pendapat atau keputusan orang-tua itulah yang
"nyeleneh"? Apakah kita mesti taat bulat-bulat tanpa reserve begitu saja?
Apakah tidak ada bedanya antara mendebat dengan sopan, dan melawan
sambil membentak-bentak? Dan banyak pertanyaan lain lagi.
* * *
SEBALIKNYA perintah "Hormatilah ayahmu dan ibumu" sangat jelas. Pertama,
perhatikanlah, perintah ini adalah perintah untuk "MENGHORMATI"; bukan "meaati".
Dan keduanya jelas berbeda.
Dalam hal-hal tertentu, bisa terjadi dengan sangat terpaksa kita harus
menentang pendapat, bahkan melanggar perintah, orang-tua kita. Orang-tua
- seperti siapa saja - juga bisa bersalah, bukan? Karena itu "menghormati"
mesti; tapi "menaati" belum tentu.
Hanya perintah Tuhan saja yang mutlak. Pendapat dan perintah manusia
tidak. Kita harus menaati Tuhan, lebih dari pada menaati manusia - siapa
pun dia (Kisah Para Rasul 5:29). Termasuk orang-tua kita, pemimpin kita,
boss kita, bahkan petinggi-petinggi agama kita. Mereka semua bisa salah.
Hanya saja, kalau pun kita terpaksa menentang mereka, kita mesti
melakukannya dengan hormat, dengan respek, dengan santun. Tak perlu
dengan bakar-bakar bendera, dengan menghina, atau pakai melempar bom
molotov segala. "Hormatilah ayahmu dan ibumu ." Ini sudah "harga pas";
tidak bisa ditawar lagi.
* * *
SUNGGUH salah dan menyesatkanlah para pendeta dan penginjil yang
mengajarkan, bahwa karena orang kristen sudah dibebaskan oleh Kristus,
maka ia juga bebas dari kewajiban apa pun terhadap sesama-termasuk
kepada orang-tua, pemimpin, pemerintah, dan sebagainya.
Sekaligus, sungguh bebal serta bodohlah orang kristen yang dengan mudah
disesatkan oleh ajaran seperti itu!
Betapa acap orang kristen menjadi batu sandungan bagi orang-orang lain,
karena menampilkan citra buram sebagai orang-orang yang tidak punya
sopan santun, rasa hormat, dan respek terhadap orang lain.
Dan betapa menyakitkan, ketika itu mereka lakukan dengan sadar, serta
dengan alasan yang pasti mendukakan hati Allah, "Lho, saya "kan anak
Tuhan! Peduli amat dengan manusia!" Astaga-naga!
Bibi saya pernah mempunyai pengalaman pribadi mengenai ini. Salah
seorang putrinya mendadak kehilangan seluruh rasa hormat, baik terhadap
kakak-kakaknya maupun terhadap ibunya yang janda.
Ia jarang pulang ke rumah. Seluruh gaji yang ia peroleh dari memberi
kursus bahasa Inggris, ia serahkan kepada pendetanya - termasuk seluruh
tabungannya.
Seluruh waktunya ia pakai untuk melayani si pendeta - termasuk mencuci
dan menyeterika semua pakaiannya.
Ibunya ia umpat dan kutuk sebagai "iblis", yang mau
menghalang-halanginya menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Dan
pandangan seperti ini sengaja di"pompa"kan oleh si pendeta.
Anda lihat, bukan, ironi dan kontradiksinya? Si pendeta melarang anak
itu menaati dan menghormati orang tuanya, dengan alasan ia harus hanya
menaati Tuhan. Tapi ia sendiri menuntut ketaatan yang total dari anak
itu kepadanya.
Ia telah mengidentikkan dirinya sendiri sebagai Tuhan! Entah bagaimana
pula penafsiran pak pendeta tersebut terhadap titah kelima itu.
Padahal sangat jelas, betapa hormat kepada orang tua itu-di mata
Tuhan-adalah salah satu kebajikan tertinggi. Dengarlah misalnya betapa "dahsyat"nya
janji Allah bagi mereka yang melakukannya.
Dan sekaligus, betapa mengerikan akibatnya bagi mereka yang tidak. "Hormatilah
ayahmu dan ibumu, SUPAYA LANJUT UMURMU DI TANAH YANG DIBERIKAN TUHAN,
ALLAHMU, KEPADAMU"
Bagi umat Israel di masa pengembaraan, "tanah yang diberikan Tuhan,
Allahmu" itu adalah tanah Kanaan, Tanah Perjanjian. Bagi kita, umat
Israel baru di masa penantian, "tanah" itu tak lain adalah sorga yang
abadi. "Tetapi sekarang (kita) merindukan tanah air yang lebih baik,
yaitu satu tanah air sorgawi.
Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah (kita), karena Ia telah
mempersiapkan sebuah kota bagi (kita)" (Ibrani 11:16).
Bayangkanlah! Kerinduan manusia yang paling mulia-kedambaannya akan
sorga-dipertaruhkan melalui siap yang bersangkutan terhadap orang-tua!
Karena itu, wahai anak-anak, hormatilah orang-tuamu! Dan, wahai
orang-tua, jagalah kehormatanmu! Buktikanlah, bahwa kalian pantas
menerima hormat anak-anakmu!
* * *
SEBENARNYA dalam hal apa saja-dan sampai kapan-sih kita berhutang hormat
kepada orang-tua kita? Hukum kelima tidak memberikan perincian lebih
lanjut. Itu berarti, bahwa dalam hal apa pun dan sampai kapan pun,
selama orang-tua kita itu masih merupakan orang-tua kita, titah itu
mengikat kita.
Padahal, sampai kapan sih orang-tua kita itu berhenti dan tidak lagi
menjadi orang-tua kita? Tidak akan pernah, bukan? Sampai saya mati pun,
ayah saya ya tetap pak Pitoyo yang satu itu, tak pernah pak Parto.
Dan ibu saya ya tetap bu Kurniati yang itu-itu, tak pernah bu Sumati.
Tak pernah ganti. Tak pernah berhenti. Selama itu, saya tetap berhutang
hormat kepada mereka. Pak Pitoyo dan bu Kurniati.
Apakah ini juga tetap berlaku, walaupun saya sudah jauh lebih pandai
ketimbang mereka? Atau sudah jauh lebih terpandang? Atau jauh lebih kaya?
Jauh lebih nampak terhormat ketimbang mereka? Titah kelima ternyata
tidak memberi dispensasi apa-apa. Karena itu jawabnya adalah, YA!
Mereka adalah orang-tua kita, bukan saja tatkala kita masih bayi tak
berdaya , yang bergantung sepenuhnya kepada pengasuhan mereka.
Mereka adalah tetap orang-tua kita, terlebih-lebih ketika fisik mereka
berangsur-angsur melemah, dan berbalik jadi kian tergantung kepada cinta
kasih serta pemeliharaan kita!
Apakah kita tetap berhutang hormat kepada mereka, walaupun mereka -
melalui sikap dan tingkah-laku mereka - sama sekali tidak memperlihatkan
bahwa mereka layak dihormati? Jawabnya tetap YA! Selama mereka adalah
orang-tua kita. Selama mereka adalah ayah dan ibu kita!
Kewajiban kita adalah menghormati mereka, dalam keadaan apa pun dan
sampai kapan pun. Kewajiban mereka adalah menjaga kehormatan itu! |