SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Menerima Kehendak Tuhan Oleh Eka Darmaputera "JADILAH KEHENDAK-MU, DI BUMI SEPERTI DI SORGA". Apakah Anda-seperti saya-merasakan bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam doa ini? Tidak? Kalau begitu, tolong timbang-timbang. Bila sesuatu memang benar-benar "kehendak Tuhan", apa perlunya kita doakan? Bukankah kita doakan atau tidak, ia tentu akan terjadi? Sebab kalau tidak begitu, namanya bisa "kehendak Parman" bisa pula "kehendak Firman", tapi pasti bukan "kehendak Tuhan". Iya, kan? Cuma ada satu kemungkinan menjawab itu, yaitu doa ini bukanlah suatu permohonan dan bukan pula suatu harapan, melainkan sebuah sikap atau pernyataan. Sebuah komitmen iman. Bahwa kita bertanggung jawab atas terwujudnya kehendak Tuhan itu. Pertama-tama dalam hidup pribadi kita masing-masing, tapi kemudian juga pada hidup semua orang di seluruh muka bumi. Orang yang cuma mau memuaskan "kehendak dewek", tidak layak berdoa, "Jadilah kehendak-Mu". Tak mungkin berdoa, "Jadilah kehendak-Mu", tanpa terlebih dahulu menerima terwujudnya kehendak-Nya itu dengan sukacita. Tentu saja! Begitu, kita akan berteriak spontan. Memang! Tapi sadarkah kita, bahwa tepat di sini, kita menghadapi dilema yang paling pelik. * * * SEBAB yang Yesus ajarkan, adalah berdoa, "Jadilah kehendak-Mu". Titik. Tanpa plus, tanpa minus. Ini berarti, yang wajib kita upayakan agar "terjadi", adalah setiap dan seluruh kehendak Tuhan. Apa pun kehendak Tuhan itu? Ya. Kalau begitu, alangkah ngerinya! Sebab kita tahu, tidak selalu "kehendak Tuhan" itu cocok dan sejalan dengan "keinginan kita". Bagaimana bila kehendak Tuhan itu adalah ingin mengambil, bukan memberi? Merubuhkan, bukan membangun? Menampik, bukan menerima? Masih "berani"kah kita berdoa, "Jadilah kehendak-Mu" ? Tapi kita berani atau kita takut, Anda benar, "kehendak Tuhan" pasti terjadi. Tak ada kuasa apa pun di alam semesta ini yang mampu melawan kehendak-Nya. Jadi? Jadi tak ada yang lebih baik, dari pada kita memakai nalar sehat kita. Maksud saya, bila kita tahu persis, bahwa kehendak Allah itu tak mungkin dilawan dan percuma ditolak, - ibarat menghadapi banjir bandang di mana kita tak mungkin mengelak - mengapa kita tidak menerimanya saja dengan sukarela dan sukacita? And make the best of it! Bodoh sekali bila kita membenturkan kepala kita untuk membobol tembok yang menghalang di hadapan. Jauh lebih bijak, bila kita bersedia "mengalah", mengambil rute berputar sedikit, asal selamat tiba di tujuan. * * * BAGAIMANA caranya, kalau begitu, supaya kita mampu dengan sukarela dan sukacita menerima kehendak Tuhan? Dua hal ingin saya kemukakan. Yang pertama adalah, percayalah dengan setulus hati Anda akan KEBIJAKSANAAN Allah. Ini tentu bukan hal yang baru. Semua mengakui, bahwa dalam kebijaksanaan-Nya, Allah mengetahui jauh lebih akurat dan jauh lebih lengkap apa yang terbaik bagi setiap orang. Manusia terbatasi oleh waktu. Ia hanya dapat hidup dari saat ke saat. Yang lampau, tak dapat ia ulang kembali. Sedang yang akan datang, tak dapat kita ia ketahui dengan pasti. Ini cuma Allah yang mampu. Karena itu Ia mengetahui apa yang terbaik bagi tiap-tiap hal. Keyakinan seperti ini bukan monopoli milik orang Kristen saja. Ribuan tahun sebelum Kristus, Seneca sudah mengatakan, "Aku melatih keras kemauanku, tidak hanya untuk taat kepada Allah, tetapi untuk mengamini setiap keputusan-Nya. Ini kulakukan karena aku mau, bukan karena aku harus". Epictetus pun mengatakan hal yang senada, "Aku telah menaklukkan seluruh kebebasanku untuk memilih kepada Allah. Bila Ia mau aku sakit, itu adalah kemauanku juga. Bila Ia mau aku memperoleh sesuatu, itu pun merupakan keinginanku". "Deo parere, libertas est", kata Seneca. Artinya, "Menaati Allah adalah kemerdekaan yang sempurna". "Ducunt volentes fata, nolentem trahunt," katanya lagi. "Nasib menggandeng mesra mereka yang rela, tapi menghela paksa mereka yang melawan". Bagi orang yang beriman, yang berlaku bukanlah " Karena benar dan baik, maka ia pasti kehendak Tuhan". O, bukan! Bukan ini! Ini adalah jalan pikiran manusia pada umumnya. Yang menilai segala sesuatu-termasuk kehendak Tuhan-dari sudut apakah ia "benar" dan "baik" menurut kepentingannya. Padahal, seperti terjadi pada Israel sekeluar dari Mesir, Tuhan sering menetapkan jalan berputar . Kereta penghidupan kita bukanlah kereta kelas "eksekutif", "patas", "ekspres", dan "non-stop" ke "Tanah Perjanjian". Melainkan kereta "bumel", "truthuk", yang rutenya muter-muter, berhenti di setiap setasiun, dan berjalan terbatuk-batuk. Toh Israel pantas bersyukur bahwa Tuhan membawa mereka berputar selama 40 tahun di padang gurun. Pengalaman yang tidak menyenangkan memang. Tapi bayangkanlah bila tidak! Kapan Israel akan pernah ditempa menjadi satu bangsa? Kapan mereka akan sempat dilatih untuk memerintah diri sendiri? Kapan mereka akan dapat dipersiapkan berperang melawan musuh-musuh yang jauh lebih berpengalaman? Pengalaman sependeritaan, tutur Ernest Renan, adalah perekat paling ampuh bagi teranyamnya solidaritas sebagai satu bangsa. Sebab itu, yang berlaku bukanlah "Karena benar dan baik, maka ia kehendak Tuhan", tetapi: "Karena ia kehendak Tuhan, ia pasti benar dan baik". "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah-buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah!" (Ibrani 12:11-12). * * * KEDUA, percayalah dengan sepenuh hati akan KASIH ALLAH. Dalam hal yang kedua inilah, sayang sekali, kita mesti bersimpang arah dan tak mungkin seiring sejalan dengan pemikir-pemikir besar Yunani, yang saya sebutkan di atas. Mengapa? Menurut keyakinan mereka, segala sesuatu yang ada, ada karena kehendak Allah. Konsekuensinya, semua itu tidak bisa lain harus kita terima. Kita mesti melatih jiwa kita, begitu kata mereka, untuk tidak peduli terhadap apa pun yang terjadi atas diri kita maupun orang lain. Jangan coba-coba lakukan apa-apa, sebab boleh jadi itu akan melawan kehendak Allah! "Mulailah dengan mangkuk yang pecah, lalu jubah yang robek, kemudian hewan kesayangan yang mati, dan akhirnya Anda akan bisa melihat orang yang terdekat dan paling Anda cintai mati, dan berkata " Aku tak peduli. Aku tidak mau peduli!", sebab ini adalah kehendak Allah" (Epictetus). Kekristenan mengecam keras sikap seperti ini. Sering sekali secara gampangan dan serampangan orang begitu saja mengatakan, "Ini sudah kehendak Tuhan. Kita bisa apa?!". Seorang pedagang kaki lima yang mati disambar bis kota. Seorang anak yang depresi berat karena hidup bersama dengan ayahnya yang pemabok. Seorang janda yang melacurkan diri karena ditinggalkan oleh suami sementara ia mesti menghidupi tiga orang anak. Negara yang porak poranda dan mendekati kehancuran, karena digerogoti korupsi. Astaganaga, begitu sajakah akan kita kataan, bahwa semua ini adalah kehendak Tuhan, karena itu tak ada yang perlu kita lakukan? Padahal jelas-jelas, semua itu bukan kehendak Tuhan. Semua itu terjadi karena ulah manusia yang justru melawan kehendak-Nya: sopir yang ugal-ugalan, ayah yang pemabok, suami keparat yang tak bertanggungjawab, aparat yang korup. Semua ini, saudaraku, adalah wujud kebejatan manusia, bukan kehendak Tuhan! Percaya bahwa Tuhan itu Maha Kasih berarti tidak mungkin percaya bahwa Tuhan ada di balik tragedi itu. Sebaliknyalah, Tuhan yang Maha Kasih datang untuk melawan itu, serta menolong mereka yang menjadi korban kejahatan dan kesemena-menaan sesamanya. Dengan mengajak kita berdoa "Jadilah Kehendak-Mu", Ia mengajak kita bersama-sama dengan Dia memeranginya. Memang saya akui kasih serta kebaikan Tuhan tidak jarang diwujudkan melalui suatu proses yang meneteskan air mata, memeras keringat, dan mencucurkan darah. Yesus sendiri menunjukkan, betapa "jalan kasih" yang paling nyata adalah "jalan salib". Namun, di penderitaan dan kesakitan yang terdalam, kita toh harus mengatakan, "Tidak! Penderitaan dan kesakitan ini bukan kehendak-Nya. Sekiranya dosa tak ada, aku yakin, manusia tak perlu mereguk piala pahit ini. Tapi aku tahu, aku boleh bersandar pada kasih-Nya. Mungkin sekali, Ia tidak serta merta mengusir penderitaan dan kesakitan itu pergi seketika. Tapi kasihNya membuat aku mampu tetap berdiri tegak, mataku menatap mantap, dan kakiku melangkah pasti, melewati semua ini. Lalu sekeluar dari situ, aku akan menjadi lebih matang, lebih bijak, lebih teguh, dan lebih tahan uji ketimbang sebelumnya. Aku yakin, "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia" (Roma 8:28). Tapi bagaimana kita bisa seteguh itu? O saudara, tak ada resepnya, kecuali kita mesti mengerahkan tekad melatih disiplin jiwa kita. Dengan ajek, teratur, sedikit demi sedikit. Seperti seruan orang-orang Stoi, "Taklukkan seluruh kemauanmu ke situ, bung, Anda pasti bisa!" Tapi kita tahu, betapa labil-nya kemauan dan tekad manusia itu! Kita memerlukannya, tapi tak pernah dapat mengandalkannya. Karena itulah, kita masih harus terus berdoa, "Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga". |