SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Mencuri, Tapi Bukan Materi Oleh Eka Darmaputera "MENCURI" di zaman sekarang, ternyata banyak jenisnya. Sadarkah Anda? Ada "mencuri" yang masih dianggap "mencuri". Karena itu pelakunya - bila tertangkap - langsung dihajar habis-habisan. Mereka adalah para pencopet jalanan, maling jemuran, dan pemulung yang sering main sambar barang orang. Tapi ada "mencuri" jenis lain. Jenis ini, pada hakikatnya, adalah "mencuri" juga. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi anehnya, masyarakat tidak menganggapnya sebagai kejahatan yang serius. Dan pelakunya pun tidak merasakannya sebagai aib yang memalukan. Acapkali, dengan bangga, si pelaku menceritakan "sukses"nya melakukan "kejahatan"nya. Dan kita dengan asyik mendengarkannya, memuji-muji ke "lihai"annya. Mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri, konon amat terkenal karena "bakat"nya melakukan "pencurian" jenis kedua ini. Ada yang mengikat koin yang ia pakai untuk bertelepon. Setiap kali "pulsa"nya habis, koin itu ditariknya. Lalu dimasukkan kembali, dan dengan koin yang satu itu ia bertelpon lagi. Begitu berkali-kali. Bisa berjam-jam, dengan biaya cuma satu koin. Hebat, bukan? Perbuatan yang ini lebih "sadis" lagi. Beberapa hari sebelum pulang, si "pencuri" mengundang teman-temannya bertelpon. Boleh menelpon ke mana saja, sebebas-bebasnya. Tarifnya cuma seperempat dari biasa, asal dibayar tunai waktu itu juga. Ketika tagihan datang? No problem, si "pencuri" sudah aman, nun jauh di sana. SEBENARNYA bukan cuma mahasiswa. Banyak orang merasa puas, bila bisa naik kereta api tanpa membeli tiket, atau berangkat ke luar negeri dengan hanya membayar biaya fiskal separo harga. Dan di zaman sekarang, siapa sih yang masih menyebut Anda "pencuri", bila Anda memakai telpon kantor untuk menelpon kekasih Anda, memakai mobil dinas untuk bertamasya, atau membawa pulang kertas, amplop, klip, atau perangko sekadarnya dari kantor? Justru orang yang mempersoalkan soal "tetek bengek" inilah, yang dianggap "sok suci" dan "eksentrik", bukan? Okelah, contoh-contoh tersebut barangkali memang kecil, remeh dan sepele. Menuntut orang untuk seratus persen jujur dalam segala hal, saya akui, adalah tidak realistis. "Bohong-bohong dikit" itu biasa, dan perlu. Ia adalah semacam "bumbu" kehidupan. Membuat hidup lebih bercita-rasa, tidak hambar. Sungguh membosankan bergaul dengan orang yang terlalu "alim". Ya, asal kita tidak lupa. Bahwa biasanya berawal dari membiarkan yang "kecil-kecil" itulah - dan mengatakan "ah, keciiiil, ngapain diributin amat, sih ?!" - sebuah lubang besar sedang kita biarkan terbentuk. Dan di ujungnya, adalah bencana. Dengan perkataan lain, dijauhkanlah kiranya kita dari meremehkan soal-soal kecil. Sebab, seperti kata Yesus, "Barang siapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar" (Lukas 16:10b). JENIS "mencuri" yang selanjutnya adalah "mencuri yang bukan materi". Aneh? Sama sekali tidak. Sebab dalam praktik, ini sebenarnya nyaris selalu terjadi. Dalam bentuk yang sangat bervariasi. Apa misalnya? Misalnya, MENCURI WAKTU. Atau memanfaatkan waktu, tidak sesuai dengan peruntukannya. Datang terlambat, tapi pulang lebih cepat. Bekerja asal-asalan, lebih asyik menelpon, bercengkerama, membaca koran, sementara di depan loket orang telah menanti berjam-jam sambil berdesak-desakan. Dan, jangan lupa, "jam karet"! Ini adalah pemborosan waktu yang luar biasa, serta bentuk hukuman yang paling semena-mena. Mengapa? Sebab yang dihukum, adalah justru yang disiplin, yang tertib, yang taat. Sementara yang terlambat? " Ah, jangan khawatir! Tenang saja, toh pasti ditunggu!" Apalagi? O ya, ini. Yaitu kebiasaan buruk yang bernama "menunda-nunda pekerjaan" hingga saat terakhir. "Entar aja, deh, masih lama ini!" "Pencuri-pencuri waktu" ini, walau diberi waktu berminggu-minggu, tetap saja baru mulai bekerja sampai hampir tenggat waktu. Akibatnya? Bekerja terburu-buru, dan hasilnya pasti tidak bermutu. CELAKANYA, orang yang disiplin, tertib waktu, dan selalu memanfaatkan setiap waktu yang tersedia untuk bekerja dengan serius, sekarang ini bukan cuma amat jarang, tapi juga tidak disukai orang. Saya pernah membaca bagaimana nelayan-nelayan asal Vietnam dimusuhi nelayan-nelayan Amerika. Begitu juga pekerja-pekerja migran dari negara-negara Asia lainnya. Mereka dibenci karena satu sebab saja, yaitu karena bekerja terlalu keras. Ini dianggap merusak irama dan pasaran kerja orang Amerika. Pekerja-pekerja Asia ini bersedia bekerja lebih keras, dengan jam kerja lebih panjang, dan upah lebih kecil. Siapa pun tidak perlu munafik dalam hal ini. Siapa sih yang tidak suka dengan tenaga sedikit mendapat upah tinggi? Tapi bukan itu permasalahannya. Persoalan kita di sini adalah soal menghargai waktu, serta memanfaatkannya seefektif, seefisien, dan seproduktif mungkin. Dalam bahasa yang lebih teologis: menatalayani sebaik-baiknya salah satu karunia Tuhan yang paling berharga, yaitu "kairos". "Mencuri waktu", pada hakikatnya, adalah meremehkan sang Pemberi. Dan ini jelas bukan perkara remeh. Sebab ini juga merupakan pelanggaran hukum ketiga, "Menyebut Nama Allah dengan sembarangan". Jadi, kalau pakai istilah ternis, "double fault" . Tuhan, dengan seluruh ketulusan dan segenap kemurahan hati-Nya, mengaruniakan "waktu" kepada manusia. Dengan tujuan, agar karunia ini dinikmati dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tapi marilah kita ingat kembali apa yang kita kerjakan seminggu yang terakhir ini! Berapa banyak "waktu" yang kita manfaatkan untuk mengerjakan yang baik, yang bermanfaat dan yang membangun? Dan berapa banyak yang kita "buang" untuk mengerjakan hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak - walau mungkin mengasyikkan? "MENCURI WAKTU" adalah ironi paling besar yang dapat dilakukan oleh manusia! Pada satu pihak, betapa kita menginginkan "waktu"! Sangat berduka, ketika sang Khalik meniup peluit panjang, tanda bahwa "waktu telah habis". Namun begitu, di lain pihak, akuilah, betapa karunia yang paling berharga ini, juga adalah karunia yang paling banyak kita jadikan mubazir dan kita sia-siakan! "Waktu" sering kita rendahkan nilainya, bagaikan "barang surplus" atau "sisa ekspor", yang dijual murah dan tersedia berlimpah di "factory outlet". Padahal astaga, Saudara, ia sesungguhnya begitu singkat dan begitu terbatas! Betapa ia menuntut pengelolaan yang seoptimal-optimalnya! Dan doa yang tak berkeputusan, "Ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" (Mazmur 90:12) MANIFESTASI yang lain dari "mencuri yang bukan materi", adalah: MENCURI REPUTASI DAN NAMA BAIK SESEORANG. Apa pula ini? Secara umum, yang kita maksudkan dengan perbuatan "mencuri" adalah, secara tidak sah mengambil sesuatu yang berharga dari orang lain. "Sesuatu yang berharga" ini bisa bermacam-macam wujudnya. Bisa harta benda, bisa keluarga, bisa jabatan, dan sebagainya. Dan salah satu yang paling berharga adalah "nama baik". Yang ingin saya bicarakan secara khusus, adalah tindakan mendiskreditkan serta menghancurkan kredibilitas orang lain. Atau kini lazim disebut sebagai "pembunuhan karakter" atau "character assasination". Caranya bukan dengan menikamkan senjata tajam atau meletuskan senjata api. Tapi cukup dengan kata-kata. Entah mengapa, tapi agaknya pada manusia ada semacam kecenderungan naluriah yang menggemari cerita-cerita "miring" tentang orang lain. Seringkali tanpa maksud jahat sama sekali. Melainkan sekadar supaya ada bahan pembicaraan yang mengasyikkan, sambil cari kutu, gunting rambut atau minum kopi. Yang bersangkutan tidak membayangkan, betapa gara-gara iseng-iseng mereka itu, nama baik orang dicuri dan reputasi orang dibunuh mati. Apa yang barangkali dibangun sedikit demi sedikit selama puluhan tahun, dihancurkan dalam sekejap. Dan biasanya tak mungkin diperbaiki. Sebab, konon, di dunia ini ada tiga hal yang sekali keluar tak mungkin lagi ditarik kembali. Apa itu? Pertama, adalah anak panah yang telah melesat dari busurnya. Kedua, adalah kesempatan yang tidak dimanfaatkan. Dan ketiga adalah, perkataan yang keburu keluar dari mulut kita. "Mencuri nama baik" adalah secara tidak sah mengambil sesuatu yang paling berharga dari orang lain. Seperti tulis Shakespeare, dalam OTHELLO, "Nama baik seorang lelaki maupun perempuan, wahai tuan / adalah permata mulia yang paling dekat dengan jiwa. / Barang siapa mencuri pundi-pundi, ia mencuri sampah / sesuatu yang tak bermakna apa-apa / Tapi yang merampas nama baik / merampas sesuatu yang tak membuatnya kaya / namun menjadikan orang lain kehilangan semua" "Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar", tulis Amsal 22:1. Sebab itu, hati-hatilah, jangan sekadar karena iseng, Anda mencurinya, atau dalam dendam Anda menghancurkannya. Ini tidak sedikit pun membuat Anda bertambah kaya. Tapi sebaliknya, membuat sesama Anda kehilangan segala-galanya. |