SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
MENCABUT ILALANG, MENANAM KEMBANG Oleh: Eka Darmaputera Di tahun-tahun belakangan ini, bukan cuma konflik dan permusuhan yang merebak di mana-mana dengan hebatnya, tapi juga alangkah banyaknya organisasi, lembaga, serta kelompok, bagai laron setelah hujan semalaman, yang bermunculan tiba-tiba. Anehnya, walaupun nama mereka berbeda-beda, semuanya sama saja "missi"-nya, yaitu perdamaian. Rekonsiliasi. "Baku bae". Atau sejenisnya. Saya punya lima teman yang bergabung pada lima wadah yang berlainan, namun bertujuan sama itu -- perdamaian. Menurut pendapat Anda, baguskah gejala seperti ini? Tentu saja! Paling sedikit, tidak ada alasan untuk berpraduga mengatakan "tidak". Kenyataan bahwa organisasi-organisasi tersebut mampu menarik minat banyak orang muda, beberapa di antaranya saya kenal beridealisme tinggi dan punya integritas terpuji, ini saja sudah menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang sah yang perlu diisi. Lagi pula, Tuhan sendiri bersabda, "Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah". Jadi klop. Di satu sisi, cocok dengan kebutuhan manusia dan, di sisi yang lain, sejalan dengan kehendak Tuhan. Ya. Namun, saya anjurkan bahwa sekali pun di kulit luarnya gejala tersebut kelihatan bagus semata, kita toh perlu menaruh reserve di benak kita. Maksud saya, tetap kritis dan awas, untuk membedakan yang mana beras yang mana gabah. Tanpa bermaksud menuduh, pengalaman menunjukkan betapa di antara "pahlawan-pahlawan" kemanusiaan itu, tidak mustahil ada "calo-calo" yang mata pencahariannya dari masa ke masa adalah menjual isu-isu sosial ke manca negara. Di zaman ini "berdagang" isu kemiskinan, di zaman anu, berjualan isu HAM dan demokrasi. Lalu sekarang, isu rekonsiliasi. Dalam perspektif Yesus, mereka bukanlah para "pembawa damai". Di samping "calo-calo", yang mesti kita waspadai adalah kenyataan, bahwa "kata" atau "istilah" boleh sama, tapi pemaknaannya bisa begitu berbeda, bagaikan Kutub Selatan dan Kutub Utara. Karena itu, bila ada yang mengajak Anda ikut serta dalam gerakan perdamaian mereka, bertanyalah: "Apa yang Anda maksudkan dengan 'perdamaian'? 'Damai' macam apa yang Anda ingin realisasikan? Dan bagaimana caranya?" * * * Bahwa terdapat konsep pemahaman mengenai "perdamaian" yang berbeda-beda -- tidak jarang malah saling bertentangan -- ini perlu benar kita sadari. Yang jelas-jelas provokator atau teroris pun tanpa resah dan tanpa risih mengklaim diri sebagai pencinta dan pejuang perdamaian. Tanya saja George Bush maupun Saddam Husein, Ariel Sharon maupunYaser Arafat, Vejpayee maupun Musharraf, bahkan Abu Sayyaf atau Abu Sabaya. Walaupun kini kita membacanya dalam bahasa Yunani, namun ketika Yesus mengucapkan, "Berbahagialah orang yang membawa damai", Ia melakukannya dalam bahasa Aram. Dan karena Ia mengucapkannya dalam salah satu derivat bahasa Ibrani tersebut, Ia pasti punya pemahaman tertentu mengenai kata "shalom" (bahasa Ibrani), yang berbeda dengan "eirene" (bahasa Yunani). Apa perbedaan antara keduanya? Secara sederhana, "eirene" adalah "damai" dalam arti tidak ada konflik yang kelihatan. Ibarat sebuah pertandingan tinju 12 ronde. Selama 12 ronde itu dua pihak saling memukul serta berusaha saling merubuhkan. Tapi di antara dua ronde, ada beberapa menit masa jedah. Dalam masa-masa jedah ini, tak ada pukul-memukul. Tapi apakah itu berarti konflik telah tiada? O, tidak! Sebab jedah yang singkat itu justru dimanfaatkan oleh kedua pihak untuk mempersiapkan diri memasuki perkelahian berikutnya. "Eirene" adalah masa jedah itu. Beberapa "intermezo" singkat dalam kehidupan, yang pada hakikatnya dipahami sebagai sebuah konflik abadi dari ujung ke ujung. "Shalom" lain. Seperti "salam" (bahasa Arab), kata itu tidak berarti sekadar absennya untuk sementara konflik yang meletup-letup. "Shalom" punya makna yang positif. Mengucapkan "shalom" atau "salam", tidak cuma berarti Anda mengharapkan agar tidak terjadi apa-apa yang buruk terhadap yang bersangkutan. Tapi, lebih positif, mengharapkan hadirnya yang baik pada sahabat (atau musuh) Anda itu. Orang yang mengalami "shalom" bukan cuma bebas dari kesulitan, melainkan me-ngalami semua kebaikan! Karena itu, alangkah indahnya bila di antara sesama warga bangsa, dengan tulus dan sadar kita bisa saling bertukar "salam"! Tapi dengan syarat tidak seperti yang terjadi sekarang. Di mana kata itu cuma jadi penghias bibir dan pemanis mulut. Formalitas yang hampa makna dan tanpa konsekuensi apa-apa. Bahkan, yang lebih tragis lagi adalah, bahwa "shalom" dan "salam" justru dipakai sebagai pemisah. Saya kelompok "shalom" di sisi sini, Anda kelompok "salam" di seberang sana. Yang begini, jelas tidak dimaksudkan oleh Yesus, ketika Ia berkata, "Berbahagialah orang yang membawa shalom". * * * Shalom tidak cuma memiliki makna yang positif, tapi juga aktif. Perhatikanlah baik-baik apa yang Yesus katakan, "Berbahagialah orang yang membawa damai". Ia tidak mengatakan, misalnya, "Berbahagialah orang yang cinta damai". Yang Ia kehendaki adalah orang-orang yang bersedia mengucurkan peluh, memeras tenaga, mengotori tangan, dan memikul segenap risiko, demi "membawa damai". Walau tidak semestinya begitu, namun bisa ada perbedaan yang amat besar antara "pembawa damai" dan "pencinta damai". Kalau yang Anda cari adalah orang-orang yang "cinta damai", o jangan khawatir, bejubel banyaknya! Pesan sepuluh, dapat selusin. Saya kira, cuma penderita psikosis berat yang tidak suka damai. Mengapa orang sampai saling berbunuh-bunuhan dan berusaha saling melenyapkan? Karena kehadiran pihak lain itu dianggap amat mengganggu "rasa damai"-nya. Dengan perkataan lain, karena "cinta damai". Ini, sekali lagi, bila yang Anda cari adalah "pencinta damai". "No sweat", kata orang Inggris. Tapi situasinya sangat berbeda, bila yang Anda cari adalah orang-orang yang memenuhi harapan Yesus -- para "pembawa damai". Orang-orang tipe begini sangat sedikit, sebab risikonya amat besar. Seorang bekas mahasiswa saya yang giat berusaha memelihara komunikasi antara dua kelompok yang bertikai di Ambon, setiap saat terancam nyawanya. Ia selalu dalam posisi terjepit dan tergencet. Tidak mengherankan, bila pada umumnya orang lalu bersikap, "Cinta sih cinta, tapi ya sori saja kalau sampai menyabung nyawa segala". Tidak salah! Untuk mewujudkan rekonsiliasi sejati, Yesus mesti berjalan sampai ke ujung mati. Indonesia dan dunia masih harus terus mencari orang-orang, yang bersedia -- bukan dalam arti harafiah! -- menjalankan "misi bunuh diri", bukan bukan untuk meledakkan lawan, melainkan untuk membawa perdamaian! * * * Namun salahlah saya, bila saya sampai menimbulkan kesan bahwa membawa damai haruslah berdarah-darah. Saya tidak menyangkal bahwa, dalam situasi ekstrem, kadang-kadang keadaannya memang demikian. Peristiwa salib, adalah contohnya. Tapi tidak selalu mesti begitu! Anda dan saya dapat menjadi "pembawa damai" dengan melakukan tindakan-tindakan yang sangat sederhana, namun bermakna. Di atas telah saya kemukakan, bahwa "shalom" berarti kebaikan yang paling tinggi, paling penuh, dan paling paripurna, yang dapat dialami sebagai anugerah Tuhan kepada manusia. Itu berarti, "membawa damai" adalah melakukan segala sesuatu -- dan ini berarti, apa saja -- yang memberikan serta membawa kebaikan bagi manusia. Apa pun yang membuat dunia ini suatu tempat yang lebih baik untuk didiami. Abraham Lincoln adalah "pembawa damai", melalui prinsip hidup sederhana yang dianutnya serta tindakan yang dilakukannya, "Walaupun mesti mati," begitu ia pernah berkata, "saya rela, asalkan mengenai saya orang berkata, bahwa di sepanjang hidup saya saya selalu mencabut ilalang walau sebatang, dan menanam kembang walau sekuntum, di mana pun bunga dapat bertumbuh di situ". Kedua, "membawa damai" tidak selalu harus berarti melakukan tindakan heroik, terbang seperti Superman atau merayap seperti Spiderman. Bahkan semuanya itu tak ada gunanya, apabila di dalam hati Anda damai tidak bertumbuh. Hanya hati yang damai dapat memancarkan kedamaian. Dan kita tahu, betapa kedamaian hati itu begitu sulit dicari. William Barclay benar ketika ia mengatakan bahwa, paling sedikit sampai batas tertentu, setiap orang mengalami "perang saudara" di dalam dirinya. Perang antara kekuatan kebaikan dan bisikan kejahatan. Ini membuat hidup manusia sangat tidak tentram. Betapa tidak. Ketika ia sejenak merasa tenang sebab beranggapan telah melakukan yang benar, eee, kekuatan lain menggodanya dengan iming-iming keinginan-keinginan yang salah. Namun sebaliknya, ketika ia mulai menikmati yang salah itu, kini giliran hati nuraninya-lah yang mengusik mengingatkannya akan yang benar. Sebab itu sungguh benar, alangkah berbahagianya manusia, yang mengalami damai di dalam jiwa! Dan lebih berbahagia lagi, bila ia mampu menularkan damai itu ke sesama dan mengalirkannya ke sekitarnya! Orang ini, kata Yesus, berhak memperoleh gelar "anak Allah". |