SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Memper-tuhan-kan Berhala
Oleh Eka Darmaputera

SETIAP aturan pokok, agar jelas penerapannya dan tidak simpang siur penafsirannya, memerlukan "juk-lak". Petunjuk pelaksanaan. Kita dapat mengatakan, bahwa perintah kedua dari Dasa Titah, "JANGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG MENYERUPAI APA PUN . JANGAN SUJUD MENYEMBAH KEPADANYA ATAU BERIBADAH KEPADANYA" (Keluaran 20:4), adalah "juk-lak"nya perintah pertama, "JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU".

Kalimatnya gamblang. Tak sulit dipahami. Tapi, awas, makna serta implikasinya ternyata mudah sekali di"pelintir" dan disalah-pahami! Karena itu, saya harap Anda berhati-hati.

Misalnya, saya mohon, perintah ini janganlah Anda pahami secara harafiah semata. Sehingga kemudian, seolah-olah -- seperti "narkoba" -- semua patung, arca, bahkan lukisan, Anda "tabu"kan sebagai barang terlarang untuk dibuat dan di"konsumsi" orang. Bahwa, tanpa pandang bulu, semua jenis patung serta merta Anda kutuk sebagai berhala. Dan sebagai konsekuensinya, semua seni-rupawan dan perajin-nya Anda vonis sebagai pelanggar serius "perintah kedua". Jangan!

Imbauan saya tersebut, sama sekali tidak mengada-ada. Sebab, konon, gara-gara penafsiran seperti itu, di tempat-tempat tertentu seni rupa dan seni lukis (kecuali kaligrafi) diharamkan. Yang berani muncul ditumpas habis, sebab dianggap sebagai penyebab paling berpotensi untuk membuat orang menjadi penyembah-penyembah berhala; melakukan "syirk".

Bukan cuma itu. Di dalam tubuh kekristenan sendiri, ada pula aliran yang begitu "anti" dan "alergi"-nya, sehingga segala bentuk dan jenis patung menurut mereka mesti dibuang, dibakar, atau dihancurkan. "Benda-benda itu adalah sarang iblis, setan, dan kuasa-kuasa kegelapan!," ujar mereka dengan sengitnya.

Menurut pendapat saya, kalau mereka mau menghancurkan atau membuang patung-patung milik sendiri sih, silakan saja. Itu sepenuhnya adalah hak asasi mereka. Tapi kalau - seperti yang sering saya dengar - kemudian mereka memaksa, menakut-nakuti, serta mengancam orang lain agar melakukan yang sama, wah, menurut saya, ini jelas-jelas bukan sikap yang lahir oleh pimpinan atau inspirasi Roh Kudus.

Mengapa saya berani memastikan itu? Sebab menurut Firman Tuhan, pimpinan Roh Kudus akan tercermin antara lain melalui, "kesabaran, kemurahan, kebaikan, kelemah-lembutan, (dan) penguasaan diri" (Galatia 5:22-23). Sedang sikap mereka? Sungguh bertolak-belakang, bukan?

Salah besarlah bila orang menyangka, bahwa iblis itu bersarang di patung-patung! Salah, sebab iblis itu paling gemar bersarang di mana? Ya! Di hati manusia! Di hati Anda. Di hati saya. Di hati para pembenci patung itu juga.

Karena itu jangan sampai karena keasyikan memecahi keramik-keramik antik, iblis yang bersarang di hati malah justru dibiarkan meraja-lela dengan leluasa. Terlalu naif-lah orang yang berpikir, bahwa iblis itu bisa diusir dan dikalahkan dengan cara menghancurkan gentong-gentong dan mangkuk-mangkuk kuno. Sebab seandainya saja pemikiran itu benar, wah, Yesus tentu tidak perlu sampai berkorban jiwa di Golgota!

Bacalah Alkitab
Demikianlah dengan tidak jemu-jemu saya menganjurkan, bacalah Alkitab Anda dengan lengkap dan dengan cermat. Bila ini Anda lakukan, maka yang akan Anda dapati dari perintah kedua dari Dasa Titah, tidak cuma berbunyi "JANGAN MEMBUAT", tapi masih ada sambungannya. Yaitu, "JANGAN SUJUD MENYEMBAH ATAU BERIBADAH KEPADANYA".

Jadi jelaslah, perintah ini sama sekali tidak bermaksud mau menghancurkan atau mengharamkan seni rupa dengan segala hasil karyanya. Yang ditentang dengan amat keras adalah, bila orang memberhalakannya. Yang terlarang adalah semua bentuk pemberhalaan (= idolatri) -- baik "dengan" atau pun "tanpa" patung! Yang diharamkan adalah segala jenis perbuatan yang "memper'tuhan'kan berhala" - baik "dengan" atau pun "tanpa" patung!

Penyembahan berhala atau idolatri itu, bila kita pikir-pikir, sungguh amat paradoksal. Pada satu pihak, ia merupakan tindakan yang paling bodoh dan paling tidak masuk akal, yang bisa dilakukan oleh makhluk yang konon paling cendekia di alam semesta -- manusia! Pada lain pihak, sangat mudah dimaklumi.

Nabi Yesaya berbicara mengenai ironi tersebut (Yesaya 44:9-20). Dan sarkastisnya serta sadisnya pernyataan Yesaya itu! Sang nabi bercerita mengenai beberapa potong kayu. Di mana sebagian dari kayu tersebut dibakar untuk menghangatkan tubuh. Sedang sebagian lagi dibakar untuk memasak makanan. Dan sebagian yang lain? O, ia dibentuk menjadi sesosok lelaki tampan atau wanita jelita, lalu ditempatkan di tempat terhormat, di dalam kuil pemujaan! Sebagai berhala!

Begitulah, kata Yesaya, hakikat sesungguhnya berhala itu! Seratus persen buatan manusia. Bahannya tak sedikit pun lebih mulia dari pada bahan kayu bakar. Sepotong benda mati - tidak lebih!

Yeremia juga menulis yang sama, demikian, "Bukankah berhala itu pohon kayu yang ditebang orang dari hutan, yang dikerjakan dengan pahat oleh tangan tukang kayu? Orang memperindahnya dengan emas dan perak; orang memperkuatnya dengan paku dan palu, supaya jangan goyang. Berhala itu seperti orang-orangan di kebun mentimun, tidak dapat berbicara; orang harus mengangkatnya sebab tidak dapat melangkah. Janganlah takut kepadanya, sebab berhala itu tidak dapat berbuat jahat, dan berbuat baik pun tidak dapat" (Yeremia 10:3-5)

Olok-olokan terhadap keberadaan berhala, dan ini berarti ejekan terhadap kebodohan para penyembahnya, secara tanpa tedeng aling-aling dapat pula kita baca pada sebuah naskah apokrifa, "Surat Yeremia". Disebutkan di situ bagaimana seorang perajin membuat mahkota bagi berhala-berhala, dengan bahan dan cara yang sama dengan apabila ia membuat perhiasan bagi gadis-gadis kecil. Bagaimana para imam mencuri emas dan perak yang menghiasi patung-patung itu, dan hasilnya mereka pakai untuk berfoya-foya di rumah bordil. Bagaimana berhala-berhala itu setiap pagi harus dibersihkan dari debu, sebagaimana layaknya perabotan biasa. Dan bagaimana burung gereja dan burung walet, bahkan kucing, menjadikan patung-patung itu sarang mereka.

Orang harus membuatnya tegak, sebab patung-patung itu tak mampu bergerak. Atau jungkir balikkanlah ia, mereka tidak akan mampu melawan. Apabila terjadi kebakaran, imam-imam bisa lari mengungsi, tapi berhala-berhala itu tidak. Dengan takzim orang menyembahnya, tapi dengan mudah bisa merusak dan menghancurkannya.

Kasat Mata
Orang-orang moderen seperti kita tentu sudah jauh lebih "pandai" dibandingkan dengan nenek-moyang kita itu. Walaupun "agama-agama tradisional" dan animisme menggeliat bangun lagi di sana sini, orang yang terang-terangan menyembah berhala semakin langka.

Tapi apakah ini otomatis berarti bahwa perintah kedua ini tidak relevan lagi? Justru sebaliknya! Sekarang ini, pelanggaran terhadap isi perintah ini malah kian menjadi-jadi. Telah menjadi begitu "lumrah"nya, sehingga orang tidak merasakannya sebagai pelanggaran lagi.

Benarkah? Ya! Sebab materialisme - dengan manifestasinya, yaitu hedonisme, konsumerisme, dan pragmatisme - yang merupakan rohnya zaman moderen, tidak lain adalah penjelmaan kembali atau "re-inkarnasi" dari roh penyembahan berhala atau idolatri. Inti dan hakikatnya sama persis, yaitu memper"tuhan"kan yang bukan Tuhan. Menukar Tuhan yang hidup dengan benda-benda mati. Dan menjadikan benda-benda mati itu titik tolak kehidupannya, seluruh isi kehidupannya, dan segenap tujuan kehidupannya.

Apa saja yang kini diberhalakan oleh manusia? O, bisa apa saja! Tapi yang jelas semuanya bersifat bendaniah, kasat mata, dan terukur dengan angka-angka. Sukses, misalnya, dinilai dan diukur secara material. Dan kebahagiaan dibayangkan sebagai kelimpahan atau kenikmatan yang bersifat material dan fisikal. Allah yang hidup ditukar dengan benda-benda yang bernama harta, pangkat, dan nikmat sesaat.

Yang lebih ironis dan tragis adalah bahwa, disadari atau tanpa disadari, roh materialisme itu juga telah menyusupi alam berfikir anak-anak Tuhan dan gereja-gereja Tuhan. Gereja-gereja berlomba dan bersaing dengan sengit untuk meraih "sukses". Dan "gereja yang sukses", menurut ukuran para "materialis kristiani" itu adalah: gereja dengan sekian puluh ribu anggota, sekian milyar rupiah aset atau omset-nya, sekian kali jumlah kebaktian-nya, dan sekian ribu orang setiap tahun pertambahan keanggotaannya. Ini, saudara, adalah bentuk terselubung dari pemberhalaan. Ia menukar nilai-nilai spiritual dengan benda-benda, dengan angka-angka.

Dan betapa bodohnya sebenarnya tindakan itu! Benda-benda mungkin membuat hidup manusia nampak "gilang-gemilang". Namun Firman Tuhan mengingatkan, "Dengan segala kegemilangan-nya, manusia tidak dapat bertahan. Ia sama dengan hewan yang dibinasakan" (Mazmur 49:13). Sama dengan hewan potong!

Hewan potong itu hidupnya amat dimanjakan. Serba kecukupan. Sengaja dibuat sehat dan gemuk. Tapi ke mana semua itu akhirnya bermuara? Astaga, di pejagalan!