SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

"Memberhalakan" Tuhan
Oleh Eka Darmaputera

Saya harap Anda tidak terlampau cepat merasa aman dan bebas dari bahaya penyembahan berhala, hanya karena Anda tidak menyimpan satu patung pun di rumah Anda. Memang benar, titah Allah yang kedua itu "resmi"nya berbunyi, "Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun . (dan) jangan sujud menyembah kepadanya". Namun demikian, ingatlah, "dosa besar" ini tidak terutama berkenaan dengan "ada-tidak"nya benda-benda tertentu di luar kita. Tidak!

Idolatri adalah bahaya serius, sebab ia merasuk, menusuk dan menyusup ke dalam jiwa. Secarik kain yang berlumur lumpur di luarnya, tak sulit untuk dibersihkan. Tapi bila tersiram tinta, dan tinta itu telah meresap sampai ke pori-porinya?

Penyembahan berhala lebih banyak menyangkut cara berpikir, cara menafsir, dan cara bersikap, yang bersumber jauh di "ruang kendali" yang ada dalam diri manusia. Dengan istilah yang lebih canggih, hal itu menyangkut "paradigma" kita, serta mewujud dalam "weltanschaung" kita.

Karena itu, tepat sekali kata William Barclay, bahwa "penyembahan berhala bukanlah sebuah relik antik dari masa silam, melainkan ancaman nyata (untuk) masa sekarang" "Idolatry is not an antiquarian relic of the past, it is a present threat". Saya malah ingin menambahkan, bahwa sekarang ada bahaya yang lebih nyata dan lebih berbahaya daripada "memper'Tuhan'kan berhala". Yaitu: kecenderungan "mem'berhala'kan Tuhan". Keduanya adalah dua sisi dari dosa idolatri.

* * *

POLA pikir dan sikap hidup yang bagaimanakah yang dapat dikategorikan sebagai penyembahan berhala? Barclay menyebutkan dua hal.

Pertama, ia mengatakan bahwa penyembahan berhala dimanifestasikan dalam bentuk sikap memperlakukan alat sebagai tujuan. Making means into ends. Benda yang awal mulanya, dengan tujuan baik, dimaksudkan untuk membantu manusia merasa dekat dengan Tuhan, eee, lambat laun berubah fungsi dan posisi menjadi "tuhan" itu sendiri. Tidak lagi sekadar "alat ibadah", tapi "pusat ibadah".

Karena itu penyembahan adalah "dosa besar". Ia tidak sekadar melenceng dari sasaran, melainkan 180 derajat berbalik arah ke tujuan yang berlawanan. Ia merupakan "kudeta" terang-terangan terhadap Allah. Tidak perlu kita heran, mengapa berulang-ulang Tuhan mengatakan, dosa ini sungguh melukai dan menyakiti hati-Nya.

Kalau "suami", Ia merasa diselingkuhi, dibelakangi, dan dikhianati, oleh sang istri. "Aku hendak menyanyikan nyanyian tentang kekasihku, nyanyian kekasihku tentang kebun anggurnya. Kekasihku itu mempunyai kebun anggur di lereng bukit yang subur. Ia mencangkulnya dan membuang batu-batunya; dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan . lalu dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik. Tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam" (Yesaya 5:1-2). Ada kekecewaan yang amat dalam.

Dan bila "bapak", Ia merasa ditikam tepat di "ulu-ati" oleh sang anak. "Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku. Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan untuknya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya"' (Yesaya 1:2-3). Ada luka batin yang amat menyakitkan.

* * *

CELAKANYA, kecenderungan menjadikan "alat sebagai tujuan" adalah praktik yang amat lazim dan begitu sering kita lakukan. Bahkan dapat dikatakan, sesuatu yang nyaris secara terus-menerus dilakukan oleh gereja. Kadang-kadang ia tersentak sadar akan kesalahannya, namun tak lama. Setelah itu, ia lupa lagi . dan lagi dan lagi.

Setiap denominasi memiliki tradisi ibadahnya masing-masing. Gereja Roma Katolik dengan kekayaan dan kekhusyukan ritualnya. Gereja Protestan dengan intelekualitas dan kelugasannya. Gereja-gereja Pentakosta dengan letupan-letupan emosinya. Semua itu hanyalah alat atau sarana yang berbeda-beda untuk tujuan yang paling utama: beribadah kepada Allah. Tapi lambat laun, "cara" kemudian menjadi lebih penting ketimbang "tujuan". Ada yang percaya, bahwa ibadah tanpa bertepuk-tepuk itu kering - dijauhi Roh Kudus. Sebaliknya ada yang betul-betul merasa terganggu dengan ibadah yang hiruk pikuk - "Ini ibadah atau konser rock, sih?," tanya mereka -- berang.

Kemudian mengenai sistem bergereja. Gereja Katolik menekankan hirarki. Gereja Protestan lebih demokratis. Sedang gereja-gereja Pentakosta cenderung menafikan organisasi dan birokrasi. Semua ini adalah "alat" yang beraneka-ragam untuk maksud yang satu: mengatur kehidupan bergereja agar berjalan sebaik-baiknya. Tapi betapa sering, sistem itu diperlakukan sebagai wahyu yang diturunkan dari sorga. Cara bergereja menjadi lebih penting ketimbang bergereja.

Kata Barclay, "ketika di dalam kenyataan semua itu terjadi, itu berarti penyembahan berhala masih dengan tegar hadir sampai sekarang. Masih sama berbahayanya seperti masa-masa silam". Benar sekali, bukan?

* * *

BAHAYA kedua dari idolatri, menurut Barclay, adalah ketika orang menukar pribadi dengan materi; mengutamakan benda, bukan orang. Inti penyembahan berhala adalah, orang menyembah benda, bukan pribadi; beribadah kepada benda mati, bukan Allah yang hidup.

Berhala bisa berwujud apa saja. Pokoknya, apa saja - yang bukan Tuhan -- yang oleh seseorang dianggap sebagai yang paling penting dan paling utama dalam hidupnya, itulah "berhala"nya. Dan ini justru merupakan ciri paling mencolok dari modernisasi, dengan ciri utamanya "mekanisasi".

Setelah revolusi industri, mesin benar-benar menjadi lebih utama ketimbang manusia. Manusia dilihat sekadar sebagai penjaga atau operator mesin. Tugas utamanya adalah menjaga agar mesin tetap bekerja, dan laba meningkat terus. Manusia adalah alat. Di bank, misalnya manusia adalah angka. Nomor PIN lebih penting ketimbang Prapto atau Prapti.

Hal yang sama juga menyerang kehidupan keluarga. Konon ada pertanyaan dalam Teka-Teki Silang, yakni "Isi sebuah rumah". Anda tahu, jawabnya yang "benar"? "Perabot". Tapi memang begitulah yang ada dalam kenyataan sekarang. Itulah yang di dalam kenyataan memang menjadi isi sebuah rumah, dan seharusnya begitu. Menentukan gedung tempat resepsi, bisa lebih menguras pikiran ketimbang pernikahan itu sendiri. Memilih warna cat rumah, bisa lebih rumit ketimbang memilih cara membina hubungan antaranggota keluarga.

Sekali lagi, idolatri masih jauh dari mati. Ia masih bernapas dan bertenaga. Dan ia bukan cuma penyakit orang-orang "primitif". Ketika alat menjadi tujuan, dan ketika benda lebih penting dari Tuhan atau manusia, penyembahan berhala ada di situ.

* * *

TOH ada aspek lain dari idolatri yang sama berbahayanya. Bahwa di samping "memper'Tuhan'kan berhala", orang bisa "mem'berhala'kan Tuhan". Malinowsky, seorang antropolog terkenal, pernah menulis sebuah buku, berjudul "SCIENCE, MAGIC AND RELIGION". Karena sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia, baik kita biarkan saja begitu. Dalam buku itu, penulis mengemukakan hasil pengamatannya kepada sebuah suku semi-primitif di daerah Pasifik, yang rata-rata penduduk laki-lakinya adalah nelayan.

Yang menarik perhatiannya adalah ini. Pada bulan-bulan tertentu, ketika cuaca bagus, para nelayan itu meluncur ke laut begitu saja. Tapi di bulan-bulan lainnya, ketika cuaca buruk dan berbahaya, para nelayan itu - sebelum melaut - selalu melakukan upacara keagamaan terlebih dahulu. Tujuannya tak sulit diterka. Mereka memohon pertolongan kepada "Yang Di Sana", agar melindungi mereka dari segala mala petaka.

Kesimpulannya, kata Malinowsky, ketika sesuatu sudah dapat dikerjakan sendiri oleh tangan manusia, maka mereka tidak memerlukan bantuan dari "luar". "Science" sudah cukup. Tuhan belum perlu "ikutan". Baru tatkala keadaan bertambah buruk, tak bisa lagi dikendalikan oleh "science", manusia membutuhkan "magic".

Artinya, manusia membutuhkan "Tuhan". Tapi "Tuhan" dalam pengertian tertentu. Yaitu, Tuhan yang mau melayani kebutuhan serta kepentingan manusia! "Tuhan magic". "Tuhan" ini disembah dan dipuja, tapi ujung-ujungnya untuk apa dan untuk siapa? Untuk melayani manusia!

Inti penyembahan berhala adalah itu. Berhala disembah. Tapi apakah untuk kehormatan berhala itu sendiri? Tidak! Berhala itu disembah, sebagai suatu "metode penakluk" agar ia bersedia melayani si "penyembah"nya. Jadi, siapa menyembah siapa?

Saya ingin berbicara mengenai "memberhalakan Tuhan", karena ini sangat umum dilakukan tapi sedikit saja yang menyadari kesalahannya. Kita berdoa kepada Tuhan, tapi isinya? Sebuah "daftar belanja" yang panjang, semuanya kepentingan kita! Atau: "Tuhan saya akan melayani-Mu, tapi setelah Kau sembuhkan aku dari sakitku!" Mengapa "setelah"? Mengapa tidak dari sekarang? Mengapa ada "syarat"?

Allah yang disaksikan Alkitab, bukanlah Allah "berhala". Bukan "allah magic". Tapi Allah dari kategori ketiga yang disebut Malinowsky sebagai RELIGION. Yaitu, ketika manusia menyembah Tuhan semata-mata karena Ia Tuhan. Apa pun yang dilakukan-Nya. Terlepas dari apa pun yang diberikan-Nya. Tanpa syarat, tanpa pamrih. Ia adalah Allah yang maha kuasa yang memiliki kita. Dan kita adalah hamba-hamba-Nya. Orang-orang yang di hadapan-Nya, hanya pantas berkata," JADILAH PADAKU MENURUT PERKATAANMU ITU" (Lukas 1:38). Apa pun itu.