SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
MELIHAT MELALUI MATA SESAMA Oleh: Eka Darmaputera Kata Yesus, "Berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan beroleh kemurahan". Siapakah si "murah hati" itu? Ternyata, tidak seperti sangka kita semula, mereka bukanlah orang yang mudah merogoh kocek, meneken cek, dan royal memberi derma--para filantropis. Mereka bukan pula orang yang mudah jatuh iba, lalu spontan berbagi sesuatu dengan sesama. Dermawan-dermawan seperti itu tentu kita hormati seputih hati. Namun, sayang sekali, bukan merekalah yang Yesus maksudkan. Orang yang "murah hati", menurut Tuhan, adalah mereka yang bersedia "masuk" ke situasi kehidupan orang lain. Sedemikian rupa, sehingga ia mampu melihat dengan mata orang itu, berpikir dari perspektif orang itu, dan merasakan apa yang sesamanya itu rasakan. Inilah makna "simpati" yang sebenar-benarnya! Simpati berasal dari kata "syn" (= bersama-sama) dan kata "paschein" (= menderita) berarti "ikut menanggung atau merasakan penderitaan orang lain". Jadi para sponsor yang rela mengeluarkan uang bermiliar-miliar rupiah untuk membeli hak siar Piala Dunia 2002, atau pejabat-pejabat yang mengobral dana nonbujeter--untuk bagi-bagi sembako atau untuk biaya makan siang--tidak serta-merta layak disebut sebagai si "murah hati". Anda pun belum lolos kualifikasi bila Anda membuka sedikit pintu jendela mobil Anda guna menyusupkan ke luar uang 100-200 rupiah, bagi seorang pengamen cilik bermata sayu di perempatan jalan. Di perempatan jalan berikut, Anda pasti sudah tak ingat lagi tatapan tanpa ekspresi dari si pengamen cilik bermata sayu itu. * * * Penginjil Lukas mengisahkan peristiwa tatkala Yesus singgah di rumah sahabat-sahabat baik-Nya, Marta dan Maria, di Betania. Oleh Yesus, ini dimaksudkan sebagai kunjungan terakhir sebelum ke Yerusalem dan mati di sana. Marta, yang sangat mencintai serta menghormati Yesus sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk-Nya. Belanja, menata meja, memasak, mempersiapkan kamar tidur. Apa saja, pokoknya ia ingin memberikan yang terbaik bagi tamu kehormatannya. Sayang sekali, Marta cuma berpikir dari sudut pandangnya sendiri. Ia tidak berusaha untuk "masuk", dan coba ikut merasakan apa yang Yesus rasakan saat itu. Andai kata ia mau melakukannya, ia akan menyadari bahwa yang Yesus butuhkan amat sederhana. Ia cuma menginginkan kehadiran para sahabat di sekelilingnya, dan--dalam diam--saling mengangkat beban bersama-sama. Yang Ia inginkan adalah tidak lebih dari suasana tenang, agar Ia dapat sedikit mengendorkan perasaan tegang. Yang pasti, pada waktu itu, bukan makan atau tidur yang ada di hati-Nya. Saya tidak mengatakan bahwa Marta melakukan sesuatu yang tercela atau kurang berharga. Namun, ia gagal menyelami jiwa Yesus. Karena itu, ia gagal mengekspresikan "simpati"-nya. Sebaliknya dengan Maria, yang seolah-olah tidak berbuat apa-apa. Ia justru dipuji oleh Yesus karena melakukan yang terpenting, yaitu menjadi sahabat yang "murah hati". * * * Di tanah AIR kita dewasa ini, khususnya setelah dilanda krisis, wah, entah ada berapa banyak lembaga, badan, atau organisasi berdiri. Semuanya menyatakan terpanggil untuk berjuang bagi kepentingan rakyat. Jumlah tersebut, akhir-akhir ini, masih harus ditambah lagi dengan ratusan partai politik baru. Ada yang dengan garang mengklaim memperjuangkan hak-hak rakyat. Ada yang dengan giat membagi-bagi barang, konon, untuk meringankan penderitaan rakyat. Ada yang berkunjung ke sana kemari, termasuk ke mancanegara, katanya, untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Siapa yang sekarang ini tidak berbicara atas nama rakyat? Pejabat yang perutnya gendut karena terlalu banyak menghisap uang hak rakyat pun, tanpa rasa jengah berbicara mewakili rakyat. Sebuah organisasi paramiliter yang walau pun kehadirannya jelas-jelas ditentang keras oleh penduduk setempat, eee toh tidak malu-malunya ngotot mengklaim bahwa keberadaannya di situ adalah demi masyarakat setempat. Tetapi apakah, seperti klaim mereka, mereka adalah orang-orang yang "murah hati"? Menurut Yesus, sudah pasti tidak! Orang-orang itu mengaku bergiat untuk rakyat, berjuang demi rakyat, dan merasa diri terpanggil untuk membela rakyat. Namun tak satu kali pun mereka merasa perlu bertanya kepada rakyat, apa sebenarnya kehendak, keinginan serta aspirasi mereka. Saya jadi teringat kepada Santoso, teman saya, yang dari pagi buta sampai larut malam, tujuh hari seminggu, terus bekerja memupuk karier dan menumpuk harta, membuat rumah-tangganya nyaris berantakan. Setiap kali ditegur, jawaban klise yang meluncur dari mulutnya adalah, "Tapi ini kan untuk kepentingan keluarga juga!". Barangkali ia jujur, tapi jelas ia salah. Ia tak pernah bertanya kepada istri dan anak-anaknya, apakah memang itu yang mereka inginkan. Mungkin sekali bila ia menanyakannya, maka jawaban mereka sederhana, "Kami ingin jalan-jalan bersama papa, seminggu sekali saja!". Banyak pejabat tidak pernah mengenal rakyatnya. Mereka tidak pernah berusaha "masuk" ke hati sanubari mereka. Bekerja keras untuk rakyat, tapi tidak bersama-sama dengan rakyat. For the people, without the people. Hati mereka tidak tertuju kepada rakyat. Jadi, hati mereka sebenarnya tertuju kepada siapa? Tertuju kepada diri mereka sendiri! Ada yang memakai nama rakyat sekadar untuk menutupi kejahatan mereka terhadap rakyat. Ada yang kelihatannya bekerja keras untuk rakyat, tapi sebenarnya hanya agar mereka bisa berkata bahwa telah berbuat sesuatu bagi rakyat. Dengan perkataan lain, mereka sebenarnya cuma melayani kepentingan mereka sendiri. * * * Inti semua yang dilakukan oleh Allah bagi manusia adalah "kemurahan hati". Tatkala Ia, di dalam Yesus Kristus, bukan cuma memperhatikan manusia, atau berprihatin atas nasib buruk manusia, atau berupaya dapatnya meringankan beban serta penderitaan manusia sedapat-dapatnya, tapi mengungkapkan kasih yang sepenuh-penuhnya kepada manusia! Dengan cara bagaimana? Nah, ini dia! Dengan cara "masuk" ke dalam situasi manusia. Mengidentifikasikan diri secara total dengan manusia, sepenuhnya. Ia tidak hanya "Imanuel", atau "Allah beserta kita". Tapi, lebih dari itu, Ia adalah "Firman (yang) telah menjadi manusia, dan diam bersama kita". Saya tahu bahwa inti kepercayaan Kristen yang paling mendasar ini, adalah yang paling kontroversial pula. Entah berapa kali saya mendengar orang berkata, "Ajaran agama sampeyan itu sebenarnya praktis sama dengan ajaran agama saya. Kecuali satu, kami tidak dapat mengerti dan percaya bahwa Yesus itu Tuhan dan sekaligus manusia." Wah, bila itu cuma tergantung dari kemampuan saya, saya pun, terus terang, tidak dapat mempercayainya. Toh pada saat yang sama saya harus bersaksi, bahwa betapa pun saya tidak mengerti dan memahaminya, saya mempercayainya. Saya mempercayainya, bukan karena logika saya menyetujuinya, melainkan karena Tuhan sendiri yang menyatakannya. Apakah bukan itu inti "iman" dan "kepercayaan" agamaniah itu? Bukan "saya mengerti, karena itu saya percaya", melainkan "saya percaya, karena itu saya mengerti". Karena percaya, saya mengerti betapa saya sungguh bersyukur karena saya mempercayainya. Saya tidak dapat membayangkan betapa celakanya manusia, sekiranya bukan itu yang terjadi. Sekiranya Tuhan membatasi diri, hanya mau melakukan apa-apa yang sesuai dengan logika dan daya nalar manusia. Terpujilah Dia karena Tuhan bersedia melakukan hal-hal yang melampaui nalar sehat manusia. Dengan risiko, manusia tidak mempercayainya. Allah menjadi manusia. Mengasihi mereka yang tidak pantas dikasihi. Berkorban diri bagi mereka yang tidak layak menerima pengorbanan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana nasib saya, sekiranya--seperti logika-Nya--saya diharuskan membayar semua utang dosa saya. Bersama-sama dengan juru mazmur, saya cuma akan dapat berkata dengan gemetar, "Sekiranya Engkau memperlakukan aku sesuai dengan dosa-dosaku, ya Allah, siapakah yang mampu bertahan?" Saya bersyukur, karena bukan yang masuk akal itulah yang terjadi, tetapi yang melampaui akal. Allah masuk ke situasi saya, mengindentifikasikan diri sepenuhnya dengan kemanusiaan saya. Bila saya terjatuh tanpa daya di dasar jurang, Ia turun ke sana untuk meraih saya, menggendong saya dan mengangkat saya di bahu-Nya, untuk membawa saya ke luar. Tidak cuma memberi instruksi dari bibir jurang. * * * Begitu banyak yang dapat terjadi, bila orang bersedia masuk ke situasi kehidupan sesamanya. Misalnya, kita akan jauh lebih mudah mengampuni. Kita tahu, mengampuni itu betapa sulitnya! Luka di kulit, lambat atau cepat, akan mengering. Tapi luka di hati? Banyak orang salah menyangka, seolah-olah ia harus melupakan sakit hatinya terlebih dahulu, baru bisa mengampuni. Tidak! Tuhan tidak pernah melupakan dosa-dosa kita, sekecil apa pun. Tapi Ia bersedia menghapusnya. Ia mau mengampuni. Pengampunan sulit terwujud, bila kita menghakimi orang berdasarkan kepedihan-kepedihan kita. Tapi cobalah kita masuk ke dalam situasinya. Mungkin kita tetap tidak dapat membenarkan tindakannya. Tapi kita bisa lebih memahami mengapa ia melakukannya. Ketika saya menulis renungan ini, empat bom baru saja mengguncang kembali kota Jakarta. Mengapa kekerasan ini? Kebencian. Mengapa kebencian ini? Kecurigaan. Mengapa curiga ini? Sebab kita banyak menduga-duga. Jadi, bagaimana menghilangkan rasa curiga? Dengan mengubah dugaan menjadi fakta. Caranya? Masuklah ke situasi yang bersangkutan. Melihatlah melalui mata mereka. Berfikirlah dari sudut pandang mereka. Ikut merasa apa yang mereka rasakan. Dan, sungguh, kita akan berbahagia, bila kita mampu mengampuni. Karena kita tidak akan dikejar-kejar rasa curiga lagi. Atau perasaan terancam. Atau dendam. |