SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

KITA MESTI BERHENTI SALING MEMBENCI

Sungguh ngeri mengikuti apa yang terjadi di Poso dan Ngawi. Segera terbersit di dalam hati, betapa malang nasib minoritas nanti, bila sampai mereka menguasai negeri ini. Betapa semena-mena, betapa pongah, pernyataan-pernyataan mereka. Mereka menganiaya, tapi merasa teraniaya. Dan perasaan teraniaya ini mereka jadikan pembenaran untuk terus menganiaya.

Tapi, begitulah memang logika benci itu! Selalu buta. Selalu memaksa. Selalu semena-mena. Karena itu mesti kita hentikan! Ini bukan karena kita tidak antimaksiat. Justru karena menolak maksiatlah, kita wajib menolak kekerasan. Sebab di dalam kekerasan, terkandung kemaksiatan yang jauh lebih besar lagi.

Menurut Martin Luther King Jr, nabi modern antikekerasan, paling sedikit ada tiga alasan kenapa kita mesti berhenti saling membenci. Pertama, karena membalas kebencian dengan kebencian adalah melipatgandakan kebencian. Menambah kelamnya malam yang telah hitam karena tanpa bintang.

Gelap tak mampu mengusir gelap. Cuma terang yang bisa. Benci tak berdaya melenyapkan benci. Cuma cinta yang sanggup. Benci melahirkan benci; kekerasan berbuahkan kekerasan; menyeret semua ke dalam pusaran kehancuran yang kian dalam. Alasan inilah yang menyebabkan mengapa SABDA minggu lalu berbicara tentang "mengasihi musuh," sebagai satu-satunya solusi menembus impasse peradaban modern yang diancam oleh reaksi berantai kebencian, kekerasan, dan peperangan.

Alasan kedua, mengapa benci mesti berhenti adalah, karena benci menoreh jiwa serta merusak kepribadian. Berbicara mengenai kebencian, betapa acap pikiran kita serta-merta tertuju kepada mereka yang menjadi objeknya. Ini tidak salah, sebab kebencian tidak jarang meninggalkan bekas kerusakan abadi yang tak mungkin lagi terdandani. Bayangkan trauma apa dan dendam bagaimana yang menyelinap di batin anak-anak korban kekerasan di daerah-daerah konflik di Nusantara kita!

Tapi masih ada sisi lain yang tidak boleh kita abaikan. Yaitu kenyataan bahwa kebencian tidak cuma meninggalkan bekas luka pada si objek, tapi tak kurang juga merusak sang subjek, yaitu si pelaku kebencian itu sendiri. Kebencian mengeroposkan dan menggerus kepribadian, serta menghancurkan semua kelembutan serta kepekaan manusiawi. Membantun hati nurani dan merancukan seluruh kesadaran nilai. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Tanpa kepekaan, objektivitas serta kesadaran nilai, lalu apakah bedanya manusia dengan hewan, tumbuhan atau batu?

Perkembangan mutakhir memperlihatkan, semakin banyak psikiater yang menyadari bahwa begitu banyak masalah kepribadian pada manusia berakar pada kebencian yang menahun. Sebab itu semboyan "Cinta atau Hancur" atau "Love or Perish" semakin lantang diperdengarkan. Langsung maupun tidak, mereka mengakui kebenaran ajaran Yesus, bahwa kebencian mencabik-cabik jiwa, sementara kasih mengutuhkannya.

* * *

Alasan ketiga mengapa kita mesti berhenti membenci, sekali lagi, adalah karena kasih merupakan satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seteru menjadi sahabat. Sebab kasih memiliki kekuatan atau daya yang tak terkalahkan, yaitu kekuatan pengampunan. Sekali Anda biarkan kasih dan pengampunan menguasai An-da, provokasi apa pun tak akan mempan membakar hati Anda.

Ada sebuah kisah klasik tentang Abe Lincoln yang dengan jelas membuktikan, bahwa kasih itu praktis, bahwa rekonsiliasi itu mungkin, dan bahwa pengampunan adalah obat penawar luka kemanusiaan yang paling mujarab.

Kisahnya adalah ketika Abe melakukan kampanye kepresidenan. Saingannya yang paling utama adalah seorang yang bernama Stanton. Stanton ini sangat membenci Lincoln. Ia memakai setiap kesempatan sekecil apa pun untuk menjatuhkan musuhnya, kalau perlu dengan fitnah. Tapi akhirnya Abe yang terpilih.

Ketika tiba saatnya persiden terpilih tersebut menentukan susunan kabinetnya, ia membuat pembantu-pembantu terdekatnya terhenyak, terutama tatkala ia memilih Stanton sebagai menteri yang memegang posisi terpenting waktu itu, yaitu menteri peperangan. Penasihat demi penasihat bergantian mengingatkan Lincoln, memprotes pilihan sang presiden. Tapi Lincoln tetap pada pendiriannya.

Sikap kenegarawanannya nampak sekali ketika ia berkata, "Ya, saya tentu mengenal Tuan Stanton, serta menyadari semua hal buruk yang pernah ia katakan mengenai saya. Tapi setelah mempertimbangkan kebaikan seluruh negara, saya tiba pada kesimpulan bahwa ialah orang yang paling baik untuk jabatan tersebut."

Pilihan Lincoln terbukti tidak meleset. Stanton menjadi menteri yang paling baik, dan pembantu Lincoln yang paling setia. Ketika beberapa tahun kemudian, Abe mati terbunuh, dari semua komentar terbaik tentang Lincoln, komentar Stanton adalah yang terbaik. Ia berkata, "Lincoln akan tetap hidup dari masa ke masa," "He now belongs to the ages."

Kehebatan kuasa kasih juga diperlihatkan oleh Lincoln, dengan kata-katanya yang tetap lembut kepada lawan-lawannya, juga sewaktu permusuhan antara Utara dan Selatan sedang keras-kerasnya. Ketika seorang wanita bertanya, bagaimana ia dapat melakukanya, Abe menjawab, "Nyonya, bukankah aku justru menghancurkan musuh-musuhku, ketika aku mampu mengubah mereka menjadi teman?"

* * *

Saya dapat menduga apa komentar Anda terhadap semua yang telah saya katakan. Saya mendengar Anda berkata, "Alangkah tidak praktis dan tidak realistisnya! Bung Eka, ketahuilah, realitas telanjang hidup ini, Anda suka atau tidak suka, adalah menuntut balas, mencari impas, homo homini lupus. Mungkin yang Anda katakan itu bisa dipraktikkan nanti, entah kapan. Tapi pasti tidak sekarang, di tengah dunia yang keras, kejam dan tanpa perasaan sekarang ini."

Saudaraku, apa yang Anda katakan itu banyak benarnya. Saya akui itulah memang realitas dunia kita sekarang ini. Keras. Kejam. Tanpa perasaan. Saya tak ingin membantahnya. Yang ingin saya katakan cuma ini: selama ini bukankah kita telah menempuh jalan dan cara yang Anda sebut "praktis" dan "realistis" itu? Dari generasi ke generasi. Dari abad ke abad. Bukankah begitu? 

Lalu, kalau saya boleh bertanya, apakah hasilnya? Ke mana "jalan praktis" itu sedang membawa kita semua sekarang ini? Mudah-mudahan kali ini Anda sepakat dengan saya, bahwa jalan itu sedang membawa kita melalui kehancuran demi kehancuran, untuk akhirnya berujung pada kehancuran yang lebih total dan lebih fatal.

Kini pertanyaan saya yang paling mendasar adalah, akan kita biarkankah semua ini? Atau, mengapa kita tidak memberi kesempatan kepada jalan yang lain? Memberi kasih suatu kesempatan?

Kita, misalnya, akan belajar mengatakan kepada musuh kita, "Aku akan mengimbangi kemampuanmu membuat orang menderita, dengan kemampuanku untuk menahan penderitaan. Aku akan mengimbangi kekuatan otot dan kekuatan senjatamu, dengan kekuatan jiwa dan rohaniku. Lakukanlah apa pun yang kau mau, aku akan tetap berusaha mengasihimu. Aku tak bersedia mengikuti jalan kekerasan dan melayani nafsu kebencianmu. Bila itu kau anggap kesalahan, silakan kau lakukan apa saja. Tapi aku akan mempu bertahan, sebab aku yakin kasih tak terkalahkan. Dan kasih itu memerdekakan jiwa kami. Bukan kekerasan. Bukan kebencian."