SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

KETUKAN DI TENGAH MALAM

"Lalu kata-Nya kepada mereka: 'Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti'" (Lukas 11:5). Ah, tak perlu saya mengutip lengkap perumpamaan Yesus ini, bukan? Selain karena kemungkinan besar Anda telah mengenalnya, kelanjutan ayat tersebut toh juga tak terlalu relevan benar dengan pokok yang akan kita bicarakan.

Yang jelas, perumpamaan tentang pentingnya doa yang tak berkeputusan itu, ternyata berbicara pula mengenai situasi terkini kita--dengan aktual, tajam, terpercaya. Waktu itu--maksud saya, dalam perumpamaan Yesus--waktunya adalah tengah malam. Waktu ini--maksud saya, dalam realitas hidup sekarang--waktunya juga adalah tengah malam. "Tengah malam" artinya, ketika kegelapan mencekam dan kepekatan menekan. "Tengah malam" artinya juga sebuah pertanyaan: masih adakah harapan di ujung jalan? Sebab rasa-rasanya tanda-tanda fajar kok sedikit pun belum kelihatan.

Kehidupan bersama umat manusia, khususnya masyarakat kita, sedang berada di "tengah malam." Kemelut yang berkepanjangan. Konflik yang tak berkeputusan. Baik vertikal maupun horisontal. Antargolongan, antaretnik, antarras, antarkelompok agama, antarsekolah, antarkampung, dan entah antar-apa lagi. Sekian bom dan senjata api diketemukan lalu disita. Tapi yang berhasil dirakit dan tak terdeteksi masih lebih lanyak lagi. Sekian konflik berhasil diatasi dan dilokalisasi, sehingga situasi relatif terkendali. Tapi konflik-konflik lama maupun baru yang meletus masih lebih banyak lagi. Tatkala di sini orang merundingkan perdamaian, di sana orang menyulut pertikaian. Karena itu, saya menyebutnya, kita berada di "tengah malam."

Dulu, menghadapi situasi begini, orang segera berpaling kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Bertanya, apa penyebab semua itu, bagaimana mengatasinya, dan langkah-langkah apa yang perlu guna mencegahnya. Tindakan begini, sungguh amat dapat difahami. Sebab dalam banyak hal, iptek memang sering bisa membantu.

Ketika kemampuan serta kenyamanan ragawi kita berada di "tengah malam," iptek menawarkan alat-alat yang mampu memberi banyak kemudahan. Ketika manusia terbenam di "tengah malam" ketidaktahuan serta ketahayulan, iptek memecah kekelaman, menguak kepicikan, serta mengaruniakan pencerahan. Ketika manusia terhimpit di "tengah malam" mewabahnya pelbagai jenis penyakit mematikan, temuan-temuan baru yang revolusioner, baik dalam teknologi diagnostik maupun terapeutik, amat berjasa menuntun kita memasuki fajar kebugaran yang lebih prima, usia yang lebih panjang, dan kondisi tubuh yang relatif lebih sejahtera. Dan macam-macam lagi.

Sebab itu, sekali lagi, alangkah masuk akalnya, tatkala kehidupan kebersamaan manusia berada di "tengah malam" kekalutan, kebalauan dan anarkisme, yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah, orang pun serta merta berpaling kepada iptek dengan penuh harap!

Tetapi kali ini, iptek pun tak mampu memenuhi harapan memilin kembali tali-tali silaturahmi antarmanusia yang telah rantas! Adapun sebab musababnya adalah, karena para ilmuwan dan para teknolog sendiri telah ikut tersedot tanpa daya ke dalam pelukan kepekatan "tengah malam" zaman, zeitgeist, bagaikan bintang-bintang mati yang terisap ke kuburan raksasa "lubang hitam" jagad raya. Sisi lain dari iptek adalah, bahwa ia telah berubah karakter menjadi "monster" yang berdaya rusak tinggi, serta tak terkendali.

* * *

Tapi tidak cuma dalam hidup kebersamaannya saja, manusia berada di "tengah malam." Seiring dengan itu, kehidupan internal individualnya pun tak kurang terkurungnya oleh kekelaman yang sungguh dalam. Malah mungkin lebih! Jarum jam "orde sosiologis" maupun "orde psikologis" manusia menunjuk angka 12 tengah malam.

Bukan cuma di barak-barak pengungsian, melainkan di mana-mana, ketakutan serta rasa tidak aman yang melumpuhkan mengharu-biru orang di waktu siang dan mengejar-ngejarnya di waktu malam. Di mega-mega kehidupan mental manusia, menggelantung mendung hitam keresahan serta depresi jiwa yang luar biasa.

Belum pernah di dalam sejarah, jumlah orang yang terganggu emosinya sebanyak yang ada sekarang ini. Tengoklah judul buku-buku terlaris atau ceramah-ceramah paling populer atau jenis penyakit yang mendera orang banyak! Hampir semuanya berhubungan dengan "stres" atau tekanan batin. Dengan "kreatif" seorang bahkan telah mengalimatkan kembali perintah Yesus, menjadi: "Pergilah ke seluruh bumi, jadilah turis-turis mancanegara, serta turunkanlah tekanan darahmu, dan lihatlah, aku akan memulihkan kesejahteraan jiwamu." Semua ini mengindikasikan betapa kondisi kehidupan internal manusia berada di "tengah malam."

* * *

Suasana tengah malam juga meliputi sisi kehidupan moral manusia. Bila malam tiba, yang terjadi adalah, semua warna akan kehilangan kediriannya. Yang semula beraneka-rupa--merah, kuning, hijau--berubah hanya jadi satu warna. Semua warna jadi kelabu, lalu hitam. Itulah pula gambaran situasi mutakhir keadaan moral manusia. Ketika prinsip-prinsip moral kian buram, lalu terus semakin mengabur, dan akhirnya hilang lenyap ditelan malam.

Di zaman sekarang, benar atau salah itu tergantung. Terutama tergantung dari jumlah suara yang diperolehnya. Apa-apa yang disukai mayoritas adalah terpuji, sedangkan apa-apa yang melawan arus diangap keji. Apa saja bisa benar dan sekaligus bisa salah, tergantung dari apakah sukses Anda menerapkan "Hukum yang ke 11." Yang bunyinya "Jangan Sampai Ketahuan." Apa pun oke, selama tidak ketahuan. Sekiranya Rahadi Ramelan memilih untuk tutup mulut dan tidak berterusterang, mungkinkah Pansus "Bulog-gate II" akan dibentuk? Dan kemudian, percayalah perkataan saya, taruh kata secara moral Akbar Tanjung kita tahu pasti bersalah, apakah ia akan dipersalahkan itu akan sangat tergantung kepada suara mayoritas. Dengan perkataan lain, kebenaran tidak tidak lagi merupakan soal hati nurani, melainkan hasil lobi. Menurut "Etika Tengah Malam," dosa adalah "bila Anda tertangkap tangan," sedangkan piawai adalah "kelicinan Anda meloloskan diri dari kejaran hukum, walau bersalah."

Berbohong tidak apa-apa, asal tidak mencolok-colok amat. Mencuri pun wajar-wajar saja--siapa sih yang tidak pernah melakukannya?--asal saja Anda adalah seorang yang punya pengaruh. Sebab buat "orang gede," merampok tak akan disebut sebagai "merampok." Tapi kekhilafan, penyalahgunaan wewenang, atau "saya lupa." Membenci juga bukan cacat moral, dengan syarat Anda pandai-pandai membungkusnya dengan muka blo’on, kata-kata manis, dan sikap yakin diri.

Charles Darwin pernah memperkenalkan hukum "Survival of the Fittest." Maksudnya, siapa yang paling "fit" atau paling cocok untuk satu tantangan situasi tertentu, ialah yang akan mampu bertahan hidup. Moralitas Tengah Malam memperkenalkan hukum survival yang lain. Yaitu, "Survival of the Slickest." Artinya, yang akan bertahan, adalah yang paling "licin," bagai belut.

Yang kemudian terjadi sebagaimana dikisahkan dalam perumpamaan Yesus adalah, memecah rutinitas kepekatan tengah malam yang telah berlangsung begitu lama tanpa gangguan, terdengarlah suara ketukan. Ketukan minta tolong. Ketukan di tengah malam. Dari orang-orang yang nyaris tak tahan lagi. Orang-orang yang telah berhenti berharap kepada dirinya sendiri maupun iptek.

Ketukan paling nyaring, terdengar di pintu agama-agama. Termasuk di dalamnya, di pintu gereja. Beribu-ribu orang, mungkin berjuta-juta, menengadahkan kepala serta merentangkan tangan mereka mengharapkan pertolongan dari agama, sebagai solusi atas persoalan-persoalan terdalam mereka. "Saudaraku, pinjamkanlah kepadaku tiga roti ...."

Sekarang ini, di mana-mana, agama-agama--dan gereja--yang telah lama diramalkan segera ajal digilias oleh sekularisme, mendadak menggeliat bangun. Bagaikan beruang yang bangun dari tidur lama musim dinginnya. Amat segar, tapi juga amat ganas dan berbahaya, karena lapar.

Agama-agama--termasuk agama Kristen--bertumbuh pesat menyambut ketukan manusia di tengah malam. Tapi apakah agama-agama mampu menolong? Mampu memberikan roti, seperti yang diharapkan? Atau "ular"? Atau "kalajengking"? Kita akan membahas pertanyaan ini minggu depan.