SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Keterbukaan ”Yes”, Ketidakpedulian ”No”
Oleh Eka Darmaputera

SEJAK manusia mulai bisa berpikir, salah satu yang mengganggu kedamaian hatinya, menurut dugaan saya, adalah pertanyaan: dari mana datangnya kejahatan atau kesakitan atau penderitaan, atau ringkas kata dari mana asal-muasal ”dosa”? Bagaimana ia bisa sampai ada? Siapa yang memungkinkannya? Apa raison d’etre keberadaannya?

Bagi banyak orang, sumbernya pasti bukan ”Allah”. Sebab yang namanya ”Allah” itu, kata mereka, ‘kan maha baik—mana mungkin Ia menjadi sumber kejahatan. Ia juga maha kuasa, mustahil bisa dipaksa atau terpaksa menciptakan sesuatu yang sebenarnya amat dibencinya. Membayangkan Allah sebagai ”biang” dosa, adalah semustahil orang yang fanatik anti-rokok, tapi menyediakan asbak lengkap dengan rokok dan korek apinya di ruang tamu rumahnya.

Tapi kejahatan itu benar-benar ada. Penderitaan juga benar-benar nyata. Lalu, jika bukan ”Allah”, siapa dong penciptanya? Maka orang pun demi hormat mereka kepada ”Allah yang baik” itu serta merta mengatakan, bahwa kejahatan, tidak bisa tidak, pasti bersumber pada ”Allah” yang lain, ”Allah yang jahat”.

Logis, bukan? Ya! Namun sayang sekali, logika ini bukan logika Alkitab. Dengan sangat keras Alkitab menentang DUALISME, bahwa di samping ”Allah yang baik” ada pula ”Allah yang jahat”. No way! ”JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU” (Keluaran 20:3).

* * *

SEMANGAT Alkitab menentang ke”musyrik”an sebenarnya telah kelihatan sejak awal. Tiga kata pertama dalam Alkitab berbunyi: ”PADA MULANYA ALLAH” (Kejadian 1:1). Dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani, tiga kata ini malah bukan cuma sekadar ”kata-kata pembuka”. Tetapi ”judul” seluruh kitab!

ìBeresyit bara elohim”. Allah adalah awal, sumber, dan titik-tolak segala sesuatu. ”AWAL segala awal”. Raison d’etre segala sesuatu. Cuma Dia, tiada yang lain! Tidak boleh ada yang lain!

Itulah dasar paling fundamental dari TEOLOGI, selama ia ingin disebut ”teologi”. Ia harus berawal, bersumber, dan bertolak dari ”Theos”; dari ”Allah”. Bila tidak, maka namanya ya bukan ”teologi”, melainkan ”antropologi”. Artinya: ”logia” dan ”logika” manusia tentang manusia. Spekulasi manusia mengenai dirinya sendiri.

* * *

”PADA mulanya Allah” – dan tidak ada yang lain – bukan hanya merupakan paradigma pokok teologi, tetapi sekaligus juga adalah prinsip yang paling mendasar dari etika Kristen! Jika seluruh berita Alkitab, sumber semua yang mesti kita percayai, dimulai dengan ”pada mulanya Allah”, maka Dasa Titah, pedoman semua yang mesti kita lakukan, diawali dengan ”JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU” (Keluaran 20:3).

Apa yang kita baca tersirat di balik hukum yang pertama ini? Tak lain, adalah kesan serta pesan monoteisme yang amat kental! Tauhid, tak kurang dan tak lebih!

Dan di latar belakang larangan tersebut adalah kenyataan, bahwa kepercayaan manusia mengenai keberadaan Tuhan tidak cuma satu, melainkan tiga. Barclay menyebutnya sebagai ”tiga tahap” kesadaran manusia akan Tuhan. Dari bentuk yang paling naif dan sederhana, meningkat ke abstraksi yang lebih canggih dan semakin rumit. Dari bentuk awal yang polos dan lugu, ke perkembangan kemudian yang kian berliku.

Di samping ”monoteisme”, ada ”politeisme”. Disebut ”politeisme”, karena menurut konsep ini Tuhan itu tidak cuma satu, tapi banyak. Orang menyembah serta beribadah kepada bermacam-macam Tuhan. Ada yang menyembah bulan. Ada yang menyembah matahari. Ada yang menyembah laut. Ada yang menyembah gunung. Dan sebagainya.

Konsep politeisme ini sepintas lalu terkesan paling ”primitif” dibandingkan dengan dua konsep yang lain. Bila memakai jalan pikiran Barclay, politeisme adalah tahap perkembangan yang paling awal. Tapi benarkah? Ternyata tidak!

* * *

ORANG moderen sekarang barangkali sudah tidak lagi menyembah bulan atau matahari atau pepohonan. Tetapi paradigma berpikir yang politeistis—tanpa banyak disadari orang—ternyata telah melakukan ”come-back” yang luar biasa, dan kembali merasuki pola pikir dan pola sikap orang moderen.

Apa sebenarnya prinsip terdalam di balik politeisme? Tidak lain adalah relativisme, yaitu langgam serta corak berpikir manusia, yang menolak bahwa ada satu atau sesuatu yang mutlak di dunia ini. Sama dengan pola berpikir orang moderen, yang juga mengatakan bahwa semuanya relatif.

Relatif, sebab semua tergantung pada situasi dan kondisi. Relatif, sebab semua harus dihargai dan pantas dihormati. Relatif, sebab bagi orang moderen, apa pun oke, asalkan Anda oke dan saya pun oke. Apa pun boleh, asal mau sama mau dan suka sama suka – tidak saling memaksa dan tidak merugikan siapa-siapa.

Yang dihasilkan dari pola pikir seperti tersebut di atas, adalah TOLERANSI yang nyaris tanpa batas. Dan ”toleransi” adalah salah satu nilai yang paling diagung-agungkan dan diagul-agulkan oleh modernisme. Beradab atau biadabnya seseorang, diukur dari tinggi rendah tingkat toleransinya.

* * *

PADA satu pihak, bagi umat manusia yang sepanjang sejarahnya telah terlalu banyak menumpahkan darah akibat konflik yang tak berkeputusan, toleransi adalah bagaikan siraman air atau tiupan angin yang menyejukkan. Toleransi adalah rahmat ilahi yang amat luhur, yang khusus Ia sediakan bagi manusia, tidak bagi makhluk lain.

Tapi bila yang kita bicarakan adalah toleransi yang nyaris tanpa batas, maka saya anjurkan agar kita cermat mengkiritisinya. Sebab toleransi tanpa batas juga berarti ketidak-pastian yang mutlak pula. Hidup yang serba limbung, tanpa pegangan dan tujuan.

Lagipula sulit sekali menarik garis batas, antara pemahaman ”toleransi” yang dianut orang moderen, dan sekadar ”indiferentisme” atau ”ketidak-acuhan” atau ”ke-tidak-pedulian”. Ada kecenderungan yang amat kuat, di mana orang bersikap ”toleran” ( ”apa pun oke”) semata-mata karena yang bersangkutan tidak menaruh kepedulian yang sungguh.

Sikap ini, tidak seperti klaim mereka, bukanlah sikap penghargaan dan penghormatan. Orang yang hormat dan peduli kepada sesamanya, tidak dapat dengan enteng berkata, ”Silakan saja, kalau itu memang pilihan mereka”. Sebab orang yang peduli tidak akan membiarkan orang mencelakakan dirinya sendiri. Orang yang peduli juga tidak mungkin mentolerir kejahatan atau kesalahan, tanpa paling sedikit mempertanyakannya.

Toleransi adalah sikap yang luhur. Namun ketidak-pedulian, jelas bukan sikap yang layak dipuji. Keterbukaan adalah satu hal, tapi ketidak-acuhan adalah sesuatu yang lain sama sekali.

* * *

PERSOALANNYA adalah, bagaimana kita dapat mencegah atau melawan kesalahan dan kejahatan tanpa kehilangan toleransi? Sebab mungkin saja, bukan, bahwa semua yang berbeda dengan kita, serta merta kita anggap sebagai melakukan kesalahan, lalu kita kutuk habis-habisan? Dan apa pun yang merugikan ambisi serta kepentingan kita, kita nilai sebagai kejahatan, lalu kita babat mati-matian?

Jawab saya: itu bukan hanya mungkin, melainkan sering! Dan mengenai itu perlu saya tegaskan, bahwa sikap, tindakan dan perbuatan seperti itulah yang justru tidak bisa kita tolerir. Tidak dapat kita tolerir, sebab yang seperti itu namanya juga bukan ”kepedulian”, melainkan ”kesewenang-wenangan”!

Kesalahannya adalah karena di situ ”diri sendiri”-lah yang dimutlakkan dan dijadikan ukuran. Kebenaran sendiri dan kepentingan sendiri. Padahal semestinya, setiap kesalahan dan kejahatan siapa pun yang melakukannya—termasuk yang dilakukan oleh diri sendiri—adalah kesalahan dan kejahatan. Harus ditentang dan dilawan.

Karena itu diperlukanlah satu perangkat ukuran yang mutlak dan obyektif. Kaidah penilai yang mampu memberi pegangan yang jelas dan pasti. Dan norma pengukur yang berlaku untuk siapa saja – orang lain atau diri sendiri.

Satu-satunya yang dapat kita jadikan pegangan normatif itu adalah ALLAH. Hanya satu itu, tidak boleh dan tidak ada yang lain, sebab satu kapal hanya perlu satu nakhoda, tidak lebih.

Dan satu pasukan, satu komando, tidak lebih. Oleh sebab itu, perintah pertama dari Dasa Titah itu berbunyi, ”JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU”. Monoteisme, bukan politeisme.

* * *

LALU mengapa agama bisa menjadi sumber sikap tidak toleran yang mengerikan? Jawabnya: karena agama yang bersangkutan telah melanggar isi perintah pertama itu. Ia memutlakkan dirinya sendiri—dogma-dogmanya dan kepentingannya sendiri . Tidak memutlakkan Allah.

”Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”. Perintah yang sepintas lalu memberi kesan mengekang dan membatasi itu, ternyata adalah perintah yang MEMBEBASKAN (= liberating). Membebaskan manusia dari ketidakpastian, karena ketiadaan pegangan. Juga membebaskan manusia dari ketertindasannya, karena memutlakkan yang tidak mutlak, dan memperilah yang bukan Allah.