SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Kesamaan dan Persamaan (Refleksi Matius 5:21-48)
Oleh Eka Darmaputera

Tiap-tiap orang itu unik. Artinya, tidak ada dua orang yang sama persis. Paling sedikit, sidik jarinya berbeda. Bahkan, menurut teori yang lebih mutakhir, bukan cuma secara fisik seseorang itu khas, tapi juga secara psikis dan spiritual. Bukan hanya "IQ"-nya, tapi juga "EQ"-nya dan "SQ"-nya berlain-lainan.

Keanekaragaman tersebut kita akui dan kita syukuri.. Namun begitu, iman Kristiani juga menekankan kesamaan. Tolong perhatikan, saya tidak berbicara mengenai "persamaan" (= similarity), tapi kesamaan (= equality)! Maksud saya, sebagai pribadi, Andika berbeda dari Andiki, dan Cornelius berbeda dari Delmethius. Namun sebagai manusia, mereka setara. Mereka berbeda secara eksistensial, tapi sama secara esensial.

Sayang sekali tidak semua orang mempercayainya. Padahal ini punya implikasi yang sangat menentukan bagi pandangan yang bersangkutan mengenai HAM. Sebab kalau orang tidak percaya bahwa pada hakikatnya manusia itu sama, bagaimana mungkin ia percaya bahwa orang punya hak asasi yang sama, bukan?

* * *

SEBAGAI contoh tentang pandangan yang berbeda itu, saya akan menyebutkan dua saja. Ekstrem yang satu adalah "determinisme" atau "fatalisme". Menurut aliran ini, setiap orang sudah ditentukan (= determined) "nasib"nya sejak awal. Dari "sononya" telah ditetapkan bahwa yang satu berdarah biru, sedang yang lain orang kebanyakan. Yang satu masuk daftar urut pewaris tahta, sementara yang lain tetap "kromodongso" sampai tutup usia. Dan semua ini punya konsekuensi dalam hak dan perlakuan; dan selanjutnya dalam pembagian kekuasaan dan kekayaan.

Jadi, menurut aliran ini, yang hakiki pada manusia adalah justru ketidaksamaannya. Sebab ketidaksamaan itu di-"predestinasi"-kan sejak semula, hanya harus diterima, dan mutlak tak dapat diubah. Dalam pewayangan, Petruk adalah seorang abdi yang baik. Tapi sekaligus, ia pasti tuan yang buruk. Mengapa? Karena "kodrat"nya dari awal adalah abdi.

Ketika "Petruk" merampas tahta dan coba mengubah nasibnya dengan mengangkat diri menjadi "ratu", gemparlah dunia para dewa dan kacau-balaulah seluruh alam semesta. Ini bukan terutama karena "Petruk" tidak mampu jadi "ratu", tapi karena "tempat"nya tidak di situ. Dunia hanya akan sejahtera bila semua dengan "mapan" berada di tempat yang telah ditentukan: Jadi kalau tempat Anda adalah raja, memerintahlah! Tapi bila tempat Anda adalah rakyat, taatlah! Jangan dibalik-balik!

* * *

PADA ekstrem yang lain, adalah faham egalitarianisme. Aliran ini justru ngotot meyakini yang sebaliknya. Yaitu bahwa manusia tidak cuma memiliki "kesamaan" yang esensial, tapi juga "persamaan" dalam segala hal. "Semua orang adalah sama dengan semua orang dalam semua hal," begitu kira-kira prinsip mereka.

Karena itu bila ada perbedaan, ini adalah kesalahan yang mesti dikoreksi. Atau kalau toh belum bisa diubah sekarang, ya diterima dulu. Namun hanya dengan sangat terpaksa dan untuk sementara saja. Akibatnya? Sendi-sendi kehidupan juga porak-poranda. Mengapa? Sebab ini juga bertentangan dengan kodrat.

Orang tidak akan produktif dan roda ekonomi akan macet total, bila yang bekerja 12 jam diupah sama dengan mereka yang bekerja 4 jam. Bagaimana orang akan termotivasi bekerja giat, bila seorang insinyur yang amat inovatif, di akhir bulan, dihargai sama dengan seorang opas yang malas?

Bayangkan pula betapa kacaunya sebuah kesatuan militer, ketika hierarki kepangkatan dihapuskan, dan semua orang dari jenderal sampai prajurit mengenakan seragam yang sama - tanpa tanda pangkat? Ini pernah coba dijalankan di RRC., dan gagal total.

Egalitarianisme bukanlah idealisme yang masuk akal. Saya anjurkan, Anda memimpikannya pun jangan! Ia bukan saja tidak mungkin bisa diwujudkan, tapi juga akan merusak tatanan, dinamika dan kreativitas. Kodrat manusia memiliki dua sisi sekaligus, yang mesti diperhitungkan dengan seimbang: baik "perbedaan" maupun "kesamaan". Kesalahan determinisme adalah karena ia hanya memperhatikan dimensi perbedaannya, sedang egalitarianisme melulu dimensi kesamaan bahkan persamaannya.

* * *

MENURUT iman Kristen, nyaris dalam segala hal, manusia tidak memiliki "persamaan" dengan yang lain. Ke"bhinneka"an ini mesti disyukuri sebagai manifestasi kekayaan dan keajaiban kreativitas Allah. Sebab, wah, betapa kelabunya hidup, sekiranya segala sesuatu serba seragam dan satu warna belaka!

Namun sekaligus dengan itu kita juga harus mengatakan, bahwa dalam beberapa hal, manusia memiliki "kesamaan" (bukan "persamaan"!) satu sama lain. Pertanyaannya adalah, dalam hal apa Presiden Mega, misalnya, punya kesamaan dengan Andi Sepa, pemulung sahabat saya? Jenderal Sutarto, yang Pangab, punya kesamaan dengan Mohamad Idris, yang prajurit GAM? Atau kesamaan taipan Nursalim dengan Nurbuat, nelayan yang bekerja di tambak udang plasma-nya di Lampung? Atau Collin Powel dengan al'Hamid yang rumahnya baru saja dihancurkan di Ramallah?

Ada empat hal. Kesamaan pertama, adalah, bahwa semua orang adalah CIPTAAN ALLAH yang sama. Ini, saya kira, tak perlu kita percakapkan lagi. Kesamaan kedua, adalah, bahwa semua orang diciptakan sebagai GAMBAR ALLAH. Jadi, apakah ia Mega atau Andi Sepa, Sutarto atau Mohamad Idris, Nursalim atau Nurbuat, Coillin Powel atau al'Hamid, semuanya adalah "gambar Allah".

Yang seorang tak ada yang lebih atau kurang dibandingkan dengan yang lain. Dengan perkataan lain, semua orang punya hubungan yang istimewa dengan Allah, yaitu sebagai "gambar"Nya. Dan karenanya semua orang adalah makhluk bermartabat mulia, yang tidak boleh diperilah tapi juga tidak boleh diperhamba.

Kesamaan ketiga dan keempat adalah, bahwa setiap orang dan semua orang adalah PENDOSA dan sekaligus penerima tawaran PEMBENARAN dari Allah. Atau, mengutip Paulus, " Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan ke-muliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan Kristus Yesus".

* * *

DARI empat hal yang saya sebutkan di atas, dua yang terakhir adalah yang paling kontroversial. Di mana letak kontroversi-nya? Pertama-tama, karena mungkin hanya orang Kristen saja yang percaya dan mengatakan bahwa "semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah".

Semua orang? Ah, yang benar saja dong! Kalau dikatakan "banyak" atau "sebagian besar" orang telah berbuat dosa - ya okelah. Tapi melakukan generalisasi begitu saja, bahwa "semua orang telah berbuat dosa", bukankah keterlaluan? Paling sedikit secara teoritis, kita harus membuka kemungkinan bagi adanya orang yang tidak pernah membunuh, berbohong, berzima. mencuri, atau melakukan hal-hal yang lazim disebut "dosa".

Masakan main hantam kromo dengan a priori mengatakan, bahwa semua semua orang telah berbuat dosa?! Apa ini tidak berarti secara gegabah mempersamakan Martin Luther King Jr dengan pembunuhnya?

Secara tersirat, dalam bagian Kotbah di Bukit yang sedang kita bahas ini, Yesus memang memperkenalkan sebuah konsep yang sama sekali baru tentang "dosa". Konsep yang mengejutkan!

Ia, misalnya, berkata, "Kamu telah mendengar firman Jangan membunuh ; siapa yang membunuh harus dihukum, tapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum. . Kamu telah mendengar firman: Jangan berzina. Tapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya. ."

* * *

MEMBACA ini, reaksi spontan orang biasanya adalah menolak dan mendebatnya. Ini adalah manifestasi tersembunyi dari "defense mechanism" orang yang merasa bersalah tapi tidak mau dipersalahkan. Sebab itu kali ini saya anjurkan agar yang pertama-tama Anda lakukan adalah merenungkannya, dan mencari kebenarannya. Bila ini Anda lakukan, percayalah, Anda akhirnya pasti akan mengatakan, "Benar juga, ya?!".

Bukankah benar mengatakan, bahwa "tindakan" itu adalah anak kandung "keinginan"? Tindakan hanya akan ada, bila pertama-tama ada niat. Karena itu, pembunuhan lahir dari kebencian. Zina lahir dari hawa nafsu dan pikiran kotor.

Bukankah benar pula mengatakan, bahwa bila kita tidak ingin berbuat dosa, maka kita harus membunuh dosa itu sejak ia masih berada dalam kandungan. Lenyapkanlah dosa, sementara ia masih berwujud keinginan. Artinya: stop melamunkan itu! Seperti kata sebuah pepatah India, "Bunuhlah kobra sementara ia masih telur". Dosa telah mulai, ketika Hawa mulai tertarik melihat yang dilarang!

Martin Luther King Jr memang jauh berbeda kualitas maupun karakternya, dibandingkan dengan pembunuhnya. Tapi dapatkah kita mengatakan, bahwa MLK tidak pernah - walau sekali - mempunyai keinginan yang jahat? Dan ini juga berlaku bagi siapa saja. Tak seorang pun dapat membanggakan diri, bahwa kita "lebih manusia" atau "lebih ilahi" dari pada yang lain, karena tak pernah punya niat buruk.

Paling sedikit dalam hal itulah, semua orang adalah sama-sama pendosa. Sama-sama tergantung kepada anugerah pembenaran Allah. Semua kita pada hakikatnya sama saja: perlu membunuh kobra sementara ia masih telur.

Jangan seorang pun merasa terlalu yakin diri, "Ah, saya sih tak mungkin tergoda soal-soal begituan!". Tapi jangan pula bersikap sebaliknya, yaitu merasa tidak percaya diri, sehingga kita terlalu mudah menyerah melawan keinginan. sebelum sempat melawan! *