SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Kesakitan, Kata Penutup
Oleh Eka Darmaputera

Mengapa Tuhan tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub (yang juga pertanyaan-pertanyaan kita!): ”Apa sebab kesakitan ini?” ”Mengapa mesti ada?” Dan ”Mengapa mesti saya?” Saya tak tahu apa jawabnya.

Tapi apa yang dikemukakan oleh Frederick Buechner masuk akal juga. Menurutnya, Allah tahu takaran kemampuan manusia.

Karena itu Ia juga tahu, bahwa andaikata dijelaskan pun kita toh tak akan mampu mengerti juga. Menjelaskan misteri kesakitan, adalah seperti menjelaskan teori-teori Einstein kepada jebolan kelas dua SD. Percuma!

Bukan hanya sia-sia, tapi juga apa pentingnya? Yang jauh lebih penting -- bila bukan yang terpenting – adalah, setelah itu lalu apa? Bagaimana kita mesti menyikapinya? Menurut Philip Yancey, yang penting bukanlah menjawab pertanyaan ”apa sebabnya?”, melainkan ”apa respon kita?”

Kita tidak perlu risau, karena tidak mengetahui semua rahasia tentang matahari. Yang penting manfaatkanlah sinar matahari itu sebaik-baiknya! Berjemurlah! Mandikanlah tubuh Anda dengan sinar ultra violetnya yang menyehatkan! Ubahlah panasnya menjadi sumber enersi, misalnya untuk menghasilkan air panas!

* * *

KESAKITAN juga begitu. Kita tidak tahu seluk-beluk misteri yang menyelimutinya. Tapi ia akan selalu hadir dalam hidup kita. Bila setelah kita usahakan mengusirnya, ia toh tak mau pergi-pergi juga – lalu apa? Apa sikap kita? Bagaimana respon kita? Pertanyaan yang paling mendesak, menurut saya, bukanlah: ”Apakah Allah bertanggungjawab?”, melainkan ” Apakah tanggungjawab kita?”

Bila kita kembali kepada berita Alkitab, maka yang paling banter Alkitab katakan ketika berbicara mengenai ”Mengapa dan apa sebab kesakitan?”, adalah: Allah hendak menguji manusia. Melalui kesakitan, Allah melakukan ”tes kesetiaan” terhadap anak-anak-Nya.

Stephen Brown, seorang pendeta dari Florida, AS, secara hiperbolis – mungkin berlebih-lebihan – melukiskannya dengan cara yang unik. Katanya, setiap kali ada seorang yang bukan-Kristen terkena kanker, maka Allah membiarkan satu orang kristen menderita penyakit yang sama. Tujuannya? Agar dunia melihat, di mana perbedaan di antara mereka berdua.

Di mana perbedaan itu seharusnya? Sikap atau respon yang bagaimana, yang bisa disebut sebagai ”khas kristiani”?

* * *

BEBERAPA ayat Alkitab menunjukkan sikap atau respon orang Kristen yang seharusnya terhadap kesakitan dan penderitaan. Misalnya, ”Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan” (Yakobus 1:2-3). Atau ini, ”Janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian … Sebaliknya bersukacitalah sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1 Petrus 3:12-13).

Dan ini, ”Bergembiralah sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semua itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu ”(1 Petrus 1:6-7). Dan sebagainya.

Dari antara banyak lagi ayat lain yang berbicara mengenai kesakitan dan penderitaan, 2 Korintus 7:8-9 adalah salah satu ”favorit” saya.

Ayat-ayat ini adalah buah perenungan dan penilaian diri Paulus, setelah ia mengirimkan surat-surat yang amat keras dan pedas kepada orang-orang Kristen di Korintus. Ia bergumul, arifkah dan tepatkah ia mengirim surat setajam itu?

Hasil perenungannya adalah, katanya, ”Meskipun aku telah menyedihkan hatimu dengan suratku itu, namun aku tidak menyesalkannya. Memang pernah aku menyesalkannya, karena aku lihat, bahwa surat itu menyedihkan hatimu - kendati pun untuk seketika saja lamanya - namun sekarang aku bersukacita, bukan karena kamu telah berduka cita, melainkan karena dukacitamu membuat kamu bertobat”

Paulus tidak bersyukur karena ia berhasil membuat orang lain sedih atau sakit hati. Umat Tuhan tidak mensyukuri kesakitan.

Apalagi mensyukuri kesakitan orang lain. Tapi orang Kristen bersyukur dan bersuka cita, apabila kesakitan itu mendatangkan berkat dan manfaat. Dalam kasus jemaat Korintus, ”karena dukacitamu membuat kamu bertobat”.

* * *

SALAH satu manfaat terbesar dari kesakitan adalah itu. Ia amat efektif dalam membawa orang berpaling kepada Allah. Secara konsisten Alkitab menekankan, bahwa yang terpenting dalam kesakitan bukanlah kesakitan itu sendiri, melainkan ”respon kita”. Apakah buah yang dihasilkannya? Apakah ia membawa kita mendekat dan terarah kepada Allah? Atau sebaliknya?

Pada ayat-ayat yang saya kutip di atas, berulang-ulang dipergunakan kata-kata, ”Bersukacitalah!” ”Bergembiralah!”. Apa kekhasan sukacita ini, dibandingkan dengan sukacita yang diupayakan melalui kata-kata ini, ”Ayo deh, jangan menangis dan cengeng begitu. Anda ‘kan orang beriman! Lihatlah sisi terangnya! Berfikirlah positif! Jangan mengeluh melulu! Sakit Anda ini kan tidak ada apa-apanya diandingkan dengan kesakitan Kristus atau penderitaan Ayub”?

Berbeda sekali! Sebab sebaliknya dari pada mempersalahkan serta memper- masalahkan orang sakit yang mengeluh karena kesakitannya, sukacita kristiani yang sejati tidak pernah menafikan atau menisbikan penderitaan orang. Sebaliknyalah. ia mengakui, bahkan ber-empati sedalam-dalamnya, menempatkan diri dalam solidaritas dengan kesakitan sesamanya. ”Menangis bersama dengan orang yang menangis”.

Bila Paulus mengatakan ”Bersukacitalah”, yang ia maksudkan bukanlah agar orang memaksakan diri terus-menerus tersenyum, seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tidak merasakan apa-apa. Tidak! Sukacita kristiani tidak bertujuan menutupi dan menyembunyikan rasa sakit.

Tidak usah takut dituduh ”kurang beriman” bila Anda terpaksa menyeringai kesakitan! Anda tidak berdosa karena merasa sakit. Yesus pun pernah mengeluh. Paulus pun pernah mengaduh.

* * *

PERBEDAANNYA yang hakiki adalah, bahwa di dalam Tuhan kita masih dapat bersukacita dalam kesakitan kita. Kesakitan tidak kita biarkan menjadi pemberi kata akhir dalam hidup kita. Kita mengerang kesakitan dan mengeluh, tapi – kata Paulus – seperti orang sakit bersalin. Ada keyakinan dan pengharapan yang tidak akan mengecewakan, bahwa pada satu saat semua itu akan berlalu dan digantikan dengan sukacita yang luar biasa! Kesakitan tidak permanen. Ia interim. Sukacita itulah yang tetap.

Karena itu sekali lagi, yang kita syukuri bukanlah rasa sakit itu sendiri. Yang kita syukuri adalah karena melaluinya kita dikaruniai kesempatan dan kemungkinan yang istimewa, untuk ikut ambil bagian dalam kesengsaraan Kristus. Dan inilah jalan satu-satunya bila kita juga ingin mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya.

Kemudian kita juga bersyukur, karena melalui kesakitan yang sementara itu, kita digembleng dan diuji oleh Allah sendiri, untuk kemudian bila lulus menjadi orang yang lebih kokoh, lebih matang, lebih tahan uji. Sukacita kristiani di dalam penderitaan sama sekali bukanlah sukacita yang masokhistis – yang menikmati kesakitan karena kesakitan itu sendiri. Tidak!

Allah ingin agar kita terus ajek bertumbuh, berkembang, dan menjadi semakin dewasa. Potensi untuk itu adalah karunia Allah semata-mata. Tapi bagaimana agar potensi itu menjadi kenyataan, itu bukan lagi urusan Allah melainkan tanggungjawab kita sepenuhnya.

Kitalah yang mesti berusaha sepenuh tenaga untuk memperkembangkan diri. Dan kesakitan adalah unsur yang mesti ada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan itu!

Roma 5:3-5 mengatakan, ”Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan” (Roma 5:3-5).

Di manakah kita dapat memperoleh ”pengharapan yang tidak mengecewakan”? Bukan dalam iming-iming kenikmatan yang ditawarkan dunia, yang manis seketika kemudian pahit selanjutnya. Pengharapan yang tidak mengecewakan adalah pengharapan yang dibangun melalui pengalaman kesakitan, penderitaan, kesengsaraan.

Karena itu kita mesti tekun, mesti ulet, berani sengsara, dan pantang menyerah. Tapi di manakah kita dapat belajar menjadi tekun, ulet, berani sengsara, dan pantang menyerah itu? Kata Paulus, juga melalui pengalaman kesakitan, penderitaan, dan kesengsaraan. ”Kesengsaraan,” katanya, ”menimbulkan ketekunan”.

Roma 8:28 mengatakan, bahwa ”Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia”. Ini tidak berarti bahwa orang-orang yang mengasihi Allah hanya akan mengalami kebaikan.

Sama sekali tidak! Yang ingin dikatakan adalah, betapa pun buruk pengalaman kita, Allah mampu mengubah yang buruk menjadi bermanfaat untuk kebaikan.

Jadi, jangan pernah punya pikiran bahwa Allah mendatangkan penderitaan demi untuk memperlihatkan kebaikan! Alangkah kejamnya Allah yang merekayasa penderitaan seperti ini!

Di manakah Allah ketika kesakitan begitu menyengat? Kata Philip Yancey, Ia ada di dalam kita. Untuk menghasilkan yang baik dari yang buruk. Bukan sengaja menciptakan kesakitan umtuk menghasilkan kebaikan. O, tidak! Sama sekali tidak.