SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Kesakitan dan Kenikmatan
Oleh Eka Darmaputera

Dalam kenyataan praktis sehari-hari, ternyata ”rasa sakit” banyak manfaatnya. ”Rasa sakit” bukanlah semacam ilalang yang tumbuh di taman yang kehadirannya amat mengganggu dan sulit dilenyapkan. Karena itu, heran, mengapa Tuhan menciptakannya. Dunia tanpa ilalang, jauh lebih menyenangkan. bukan?

”Rasa sakit”, sekali lagi, bukan ilalang. Di tengah-tengah begitu banyak ancaman yang tersembunyi dalam hidup manusia sehari-hari, ia berfungsi memberi peringatan. Seperti klakson. "Tut! Tut!” Dan lebih baik Anda memperhatikan peringatannya. Seorang warga jemaat saya meninggal karena mengabaikan rasa pening-pening sedikit yang tak mau pergi dari kepalanya. Walau ”sedikit”, itu adalah bunyi ”klakson” yang berusaha memberi peringatan–mumpung masih jauh. ”Awas!”

Ada pula manfaat ”rasa sakit” yang lain. Yang ini sering tidak kita sadari, yaitu adanya keterkaitan yang erat antara ”kesakitan” dan ”kenikmatan”. Pain and pleasure.

Seperti daging adalah unsur utama masakan rendang, menurut Philip Yancey, ”rasa sakit” adalah komponen esensial dari setiap kepuasan batin yang kita alami. Semakin besar ”kesakitan”nya, semakin besar ”kenikmatan”nya.

Aneh kedengarannya, bukan? Lha wong sakit kok menyenangkan? Kesulitan kita memahami ”logika” ini, sama sekali tidak mengherankan. Setiap waktu kita memang dicekoki dengan ”dalil” yang berlawanan.

Kita dibesarkan dan dididik dengan pemahaman, bahwa ”kesakitan” adalah antitesis dari ”kesenangan”. Bahwa semua yang menyakitkan itu, tidak nikmat. Dan semua yang nikmat, tidak menyakitkan.

Sebab itu, begitu kepala Anda ”nyut, nyut, nyut”, cepat-cepatlah minum tablet X yang ”pancen oye” Atau Anda merasa agak meriang? Jangan pandang enteng, segera ambil puyer A, maka ”ewes, ewes, ewes, bablas panase”.
Cobalah sekali-sekali Anda datang ke apotik, lalu tanyakan obat pencahar apa saja yang tersedia di situ . Saya jamin, pasti buanyaaak sekali. Yang tablet, yang puyer, yang sirop, yang kapsul, yang gel. Padahal tujuannya ‘kan ya cuma yang satu itu: agar lancar ”B.A.B”nya.

* * *

”RASA sakit” mesti dibasmi segera, sebab merusak kenyamanan dan mengganggu kenikmatan. Begitu orang berpikir. Tapi benarkah cuma itu makna ”rasa sakit” itu, yaitu sebagai ”pengganggu”? Menurut Helmut Thielicke, tidak. Karenanya ia mengecam gaya hidup moderen, sebagai yang telah kehilangan ”pemahaman yang memadai tentang penderitaan”. Pemahamannya cupet, naif, jomplang.

Thielicke benar. Serta merta menolak, memusuhi, dan berpandangan negatif terhadap ”rasa sakit”, seperti tutur Philip Yancey, ”membuat kita putus hubungan serta melenceng dari ”alur sejarah umat manusia, yang selamanya merangkul kesakitan sebagai bagian yang menyatu dengan kehidupan”.

Sebenarnya belum terlalu lama berselang, kita masih menganggap ”rasa sakit” sebagai sesuatu yang normal dan rutin. Tidak nyaman dan tidak menyenangkan, memang, tapi itulah konsekuensi kehidupan.

Mau hidup, ya berarti mau sakit. Mungkin baru berawal dari generasi kita saja, orang menganggap dan memperlakukan kesakitan sebagai ”mahluk asing dari galaksi lain”, yang datang meng-invasi dan mengancam eksistensi kita.

Karena itu, sebelum sempat menjamah tubuh kita, sedapat-dapatnya ”rasa sakit” itu mesti kita perangi dan kita tundukkan. Dan itulah antara lain fungsi teknologi. Dengan teknologi, Anda tidak perlu lagi membebani pundak manusia dengan beban berat, seperti tatkala nenek-moyang kita membangun Borobudur, ada fork-lift. Anda juga tidak perlu memenatkan kaki Anda dengan menaiki puluhan anak tangga, ada escalator. Bahkan tak perlu bersusah-susah belanja sendiri ke pasar atau membeli tiket pesawat terbang ke agen perjalanan, ada internet. Dan seterusnya.

* * *

TEKNOLOGI memang amat membantu. Siapa mengatakan tidak? Karena itu, silakan manfaatkan seoptimal-optimalnya. Tapi saya mohon Anda menyadari, bahwa ada sisi faktualnya yang lain.

Yancey menganalogikan kerja otak manusia dengan sebuah amplifier. Fungsi sebuah amplifier adalah mengoordinasikan 1001 macam aneka masukan (= input) yang berasal dari luar. Sedemikian rupa, sehingga alat-alat elektronis kita hanya menerima masukan yang diperlukan dan telah di”tertib”kan saja.

Otak manusia pun demikian. Ia juga menerima pelbagai macam masukan, melalui sentuhan, penglihatan, cita rasa, dan bau, dan sebagainya. Pada orang sehat, ”rasa sakit” adalah salah satu masukan, yang berfungsi melaporkan apabila ada potensi bahaya.

Semakin lanjut usia manusia, kepekaan dan kesigapan indera manusia dalam merasakan rangsangan semakin melemah. Untuk mengatasi ini, otak harus memutar tombol ”volume”-nya lebih keras, agar masukan yang melemah itu masih dapat tertangkap. Pada penderita kusta, daya tangkap itu terus berkurang dengan cepat, sampai lenyap sama sekali dan seluruh tubuh tak lagi bereaksi apa-apa.

Budaya moderen, kata Yancey, melakukan yang justru sebaliknya. Yaitu sebaliknya dari pada meningkatkannya, ia malah terus menekan dan memperlemah rangsangan ”rasa sakit” yang vital itu. Dan apa yang terjadi ini sungguh memprihatinkan! Karena ketika tombol volume ”rasa sakit” ditekan habis-habisan, volume masukan yang lain kian menguat.
Pendengaran kita, misalnya. Dengarkanlah jenis musik apa yang membombardir pendengaran orang sekarang! Bandingkanlah berapa desibel bedanya antara dentuman musik Mick Jagger atau Led Zepelin dengan kelembutan karya Strauss atau Mozart.

Atau penglihatan kita. Masukan apa yang diterima orang sekarang melalui penglihatannya? ”Volume” masukan untuk penglihatan kita juga meningkat tajam.

Betapa mata kita disilaukan oleh gemerlapannya cahaya lampu-lampu neon dan fosfor di daerah-daerah hiburan dan pertokoan. Sehingga, seperti pernah ditulis oleh Kierkegaard, kita kehilangan indahnya cahaya syahdu bulan, bintang, dan kunang-kunang.

Atau penciuman kita. Masihkah Anda menikmati segarnya bau tanah yang tersiram hujan? Halusnya keharuman bunga melati di waktu malam? Atau ”semegrak”nya bau kotoran hewan yang telah menyatu dengan tanah? Saya sungguh merasa kehilangan yang sangat akan aroma pedesaan itu. Tak dapat digantikan oleh ”invasi” aneka macam aroma parfum, pewangi pakaian, pengharum udara, dan entah pengharum apa lagi.

* * *

ORANG modern telah menggantikan ”kenikmatan alami” yang asli dengan ”kenikmatan artifisial” – ”kenikmatan buatan” ciptaan sendiri. Itulah inti persoalan kita dengan penyalah-gunaan obat-obatan terlarang sekarang ini! Yang memberi ”kenikmatan buatan” yang, harus kita akui, memang lebih segera dan lebih terasa. ”Volume”nya lebih keras. Tapi akibatnya?

O ya, Anda pun pasti tahu apa nama ”dunia” yang paling menguasai akal, batin dan jiwa manusia sekarang – dari pagi sampai malam; sejak di rumah, di kantor, bahkan dibawa ke mana-mana sebagai teman jalan yang tak boleh ketinggalan? Ya! ”Dunia maya”, tak salah lagi! Kotak kecil bernama ”komputer” itu kini adalah tempat banyak orang menggantungkan segala sesuatu. Sekali ia ”ngambek”, lumpuhlah manusia dibuatnya, bak bayi prematur yang tak berdaya apa-apa.

Persoalannya adalah, susunan syaraf manusia tidak punya ”jalur” khusus untuk ”rasa nikmat”. Jalur untuk ”rasa nikmat” adalah jalur yang sama untuk ”rasa sakit”. Rasa gatal nan tak nyaman karena digigit serangga, disalurkan ke otak melalui jalan yang sama dengan rasa nyaman ketika berada di pelukan kekasih.

Itulah sebabnya, secara alamiah, ”kenikmatan” dan ”kesakitan” tidak dapat dipisahkan. Tolong Anda jawab pertanyaan ini: menggaruk bagian tubuh yang gatal luar biasa sampai berdarah-darah – ini ”sakit” atau ”nikmat”? Minum coklat panas – begitu panasnya hingga lidah kita ”matang” dibuatnya -- di tengah hawa pegunungan yang sedang dingin-dinginnya – ini ”sakit” atau ”nikmat”? Makan mi ayam panas dengan sambal pedas, sampai perut mulas -- ini ”sakit” atau ”nikmat”? Mengapa ”jatuh cinta itu indah”, padahal jatuh cinta juga berarti kurang enak makan dan kurang enak tidur? ”Kenikmatan” dan ”kesakitan” – sulit terpisahkan, bukan?

Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Agustinus, bahwa ”Di mana pun, sukacita yang lebih besar selalu didahului oleh penderitaan yang lebih besar pula”. Tidak pernah orang merasakan nikmatnya makan, seperti ketika ia sedang lapar selapar-laparnya. Atau merasakan kelegaan begitu dalam, seperti waktu ia berhasil ”lolos dari lubang jarum”, dari kecemasan yang sangat mencekam.

* * *

KEKRISTENAN tidak memuja kesakitan. Tapi ia mengajak kita merangkul -nya, sebagai bagian dari berkat Tuhan yang bernama ”kehidupan”. Karena itu, kata Paulus, kemuliaan kebangkitan hanya tersedia bagi mereka yang telah mengalami kehinaan salib. Dan biji gandum akan tetap tinggal satu, kata Yesus, mandul tanpa buah, kecuali bila ia ditanam, busuk dan mati (Yohanes 12:24).

Kita tidak mencari-cari kesakitan demi kesakitan.. Tujuan kita bukanlah untuk menjadi juara menahan rasa sakit! Tujuan hidup kita adalah ”menghasilkan buah” (Filipi 1:22). Demi untuk ”berbuah” itulah, kita tidak serta-merta menghindar bila kita memang harus ditanam, busuk, bahkan mati sekali pun. *