SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Kesakitan, Belajar dari Yesus Oleh Eka Darmaputera Renungan kita minggu lalu kita akhiri dengan mengatakan dua hal. Pertama, kesakitan dapat bersumber pada kesalahan kita sendiri. Artinya, apa yang kita buat, senantiasa punya akibat. Kitab Amsal penuh pernyataan-pernyataan mengenai ini. Misalnya, "Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak, dan orang yang lamban akan menderita lapar" (Amsal19:15). Namun sebaliknya, "Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahannya akan meluap dengan air buah anggurnya" (Amsal 3:9-10). Kejujuran, ketulusan dan kemurahan hati akan menghasilkan kebaikan. Sedangkan kecurangan, tipu daya dan keserakahan akan memberikan yang sebaliknya. Apakah prinsip Perjanjian Lama ini masih relevan dan berlaku sampai sekarang? YA, walaupun dalam jangka pendek, kejujuran, misalnya, justru menimbulkan banyak persoalan. Tapi yang penting 'kan siapa yang akan tertawa paling akhir, bukan? Sampai kapan pun, saya yakin, hukum "perbuatan tertentu mendatangkan akibat tertentu", tidak pernah kadaluarsa. Membangun pabrik mercon di tengah pemukiman penduduk selalu berbahaya. Tiga kali sehari, selama bertahun-tahun, hanya mengonsumsi hamburger plus kentang goreng, minumnya selalu wiski atau cognac, sambil menyedot asap rokok tiga bungkus sehari, pasti fatal akibatnya. Prinsip ini berlaku untuk semua orang -- Kristen maupun bukan. * * * BAGAIMANA dengan prinsip kedua, bahwa Tuhan-lah penyebab mala-petaka manusia, karena dengan itulah Ia menghukum Israel atas dosa-dosa mereka? Apakah prinsip ini masih "valid" dan berlaku bagi kita sekarang? Menurut Philip Yancey, tidak serta merta. Mengapa? Karena, menurutnya, hubungan "perjanjian" (= covenant) antara Allah dan Israel itu "unik". Tak ada duanya. Seperti tutur Musa kepada Israel, "Engkaulah yang dipilih oleh Tuhan, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya" (Ulangan 7:7). Janji kepada Israel tidak serta merta bisa kita klaim sebagai janji untuk kita. Demikian pula halnya dengan ketentuan-ketentuan bagi Israel. Ini juga tidak secara langsung dan menyeluruh berlaku atas kita. Dalam kasus Israel, setiap hukuman Tuhan selalu didahului dengan peringatan dan teguran para nabi. Israel diingatkan agar menyadari dosa-dosa mereka. Nabi-nabi seperti Amos, Yeremia, Yesaya, Habakuk, Hosea, dan sebagainya, secara rinci dan spesifik menyebutkan dosa-dosa apa saja yang dimaksudkan Allah. Israel dituntut untuk bertobat dan kembali kepada Allah. Barulah bila kesempatan untuk bertobat ini tidak dimanfaatkan oleh Isarel, Allah akan datang dengan penghukuman. Penghukuman itu dalam bentuk apa, itu pun disebutkan secara kongkret. Kepada penduduk Yerusalem, Yesaya memaklumkan, "Tuhan, Tuhan semesta alam telah menentukan suatu hari, (di mana) Ia akan menggemparkan, menginjak-injak dan mengacaukan orang. Di "Lembah Penglihatan" tembok akan dirombak, dan teriakan minta tolong (akan) sampai ke puncak gunung! Elam telah memasang tabung panah. Aram datang dengan pasukan berkereta dan berkuda. Dan Kir membuka sarung pedang ." (Yesaya 22:5-6). Sekali lagi, sangat spesifik. * * * BERBEDA sekali dibandingkan kita sekarang, bukan? Israel-berbeda dari kita-tidak pernah dan tidak perlu bertanya-tanya: "Apa dosaku?", "Mengapa penderitaan ini?, atau "Apa yang dituntut Tuhan?". Apa yang misterius bagi kita, amat jelas bagi mereka. Kesakitan akibat terkena peluru nyasar, atau akibat tawuran yang membabi buta, atau akibat penyakit kanker yang amat lanjut, atau akibat dikhianati serta ditipu teman seiring, jelas berbeda dibandingkan "penderitaan-sebagai-hukuman" yang dialami Israel ! Dan jangan sekali-kali mempersamakannya! Betapa sering dalam hal ini, orang-orang Kristen punya maksud baik, tapi tidak peka dan tidak arif. Mengunjungi saudara-saudaranya yang sakit, mereka tidak membawa kata-kata penghiburan atau kue atau karangan bunga. Tapi menanamkan "perasaan bersalah", "Anda pasti melakukan sesuatu, sehingga Tuhan menghukum Anda begini." Atau ada pula yang membawa oleh-oleh berupa "dakwaan". "Anda kurang percaya dan kurang berdoa sih". Oleh-oleh semacam itu samasekali tidak menghibur atau membantu. Malah menambah kesakitan yang tidak perlu. Sebelumnya cuma sakit raga, kini hati mereka luka, tidak sejahtra, dan ragu. * * * ITU sebabnya, kita perlu membaca dan memahami berita Alkitab secara baru. Kita juga perlu mencari "model" lain untuk coba menjawab pertanyaan, "Siapa di balik kesakitan dan penderitaan manusia?". "Model" yang baru itu adalah YESUS. Kita tahu bahwa Yesus adalah "Allah yang menjadi manusia". Allah Maha Pencipta yang adi-kodrati, menjelma menjadi makhluk, menjadi manusia yang kodrati. Allah yang serba tak terbatas, dengan ikhlas membatasi diri-Nya, menjadi sama seperti kita-terikat oleh hukum alam. Bisa merasakan lapar, haus, sedih, gembira dan .. sakit! Karena itu, bagaimana Yesus merespon kesakitan dan penderitaan, bagi kita adalah cermin yang ideal mengenai sikap yang benar dalam menghadapi sakit dan penderitaan. Apa saja yang dapat kita katakan mengenai Yesus dalam kaitan ini? Pertama, Ia menghadapi realitas kesakitan dengan "takut" dan "gentar" "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya," begitu Ia mengungkapkan perasaanNya (Matius 26:38). Karena kemampuan-Nya untuk merasakan kesakitan itu, Ia menjadi peka terhadap orang-orang yang "senasib". Ia tidak sekadar mengkotbahi mereka dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan. Kuasa ilahi yang dimiliki-Nya tidak Ia pakai untuk menghukum, melainkan untuk menyembuhkan! Namun walaupun begitu, toh "mujizat penyembuhan" (yang memang dilakukan-Nya, dan digemari banyak orang!) tidak pernah Ia jadikan pusat pelayanan-Nya. Apalagi sebagai alat pemikat. Prinsip Yesus adalah, "percaya dulu, maka mujizat terjadi", bukan "pamerkan mujizat sebanyak-banyaknya, supaya sebanyak-banyaknya pula orang takjub lalu percaya". Cuma sekali-sekali, pada saat-saat yang Ia anggap perlu, Ia memperlihatkan kuasa-Nya. Tapi pada umumnya, Ia memilih untuk menghormati hukum alam. Bahkan pada saat yang paling gawat pun, ketika Ia akan ditangkap. "Kau sangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat untuk membantu Aku?" (Matius 26:53). Tapi bukan itu yang Ia lakukan. Ia rela pergi bersama-sama dengan para penangkap-Nya. Oleh karena itu, Ia pun ingin agar kita dengan rendah hati bersedia menerima keterbatasan kodrati kita, termasuk realitas bahwa kita bisa sakit dan menderita, dan bahwa sakit serta menderita itu tidak enak. Tidak terlalu mudah cari mujizat. * * * BAGAIMANA pendapat Yesus mengenai "penanggungjawab utama" kesakitan dan penderitaan manusia? Ia tak pernah memberi jawaban "instan", yang tinggal aduk langsung reguk. Tapi yang jelas adalah, bagi Yesus, keduanya tidak ada dalam skenario Allah. Allah yang Ia perkenalkan adalah Allah yang bersedia menanggung penderitaan manusia, karena itu alih-alih sengaja membuat manusia menderita. Imposibel-lah! Bagaimana kalau Iblis yang kita jadikan tertuduh utama? Tentu saja Iblis berperan besar, tapi jangan kita pikir ia bisa seenaknya berbuat apa saja tanpa perkenan Allah. Tidak sehelai rambut pun gugur dari kepala kita, kata Yesus, tanpa diketahui oleh Bapa yang di sorga! Kalau begitu, manusia sendirikah penyebabnya? Manusia tentu bertanggungjawab. Tangan mencencang, bahu memikul. Tapi Yesus segera memperingatkan, bahwa belum tentu kesakitan dan penderitaan adalah buah kesalahan yang bersangkutan. Menjawab pertanyaan murid-murid-Nya, mengenai dosa siapa yang menyebabkan seseorang buta sejak lahir? Yesus menjawab, itu bukanlah akibat dosa yang bersangkutan! (Yohanes 9:2-3). Tapi "karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia". Jadi tetap tidak ada satu jawaban yang pasti. Ini disebabkan bukan karena jawabannya yang sulit, melainkan karena pertanyaannya yang salah! Seharusnya pertanyaan kita bukanlah "mengapa?" atau "apa sebabnya?" atau "siapa yang menyebabkannya?". Semua pertanyaan ini menunjuk ke masa lampau. Yang Yesus kehendaki adalah kita melihat ke depan. "Oke, sekarang saya sakit. Apa yang sekarang dapat dan harus saya lakukan, supaya 'pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan' melalui keterbatasan saya ini?". Kalau bisa begini sikap kita, wah, kita dapat menghindarkan banyak frustrasi yang tidak perlu. Sungguh! Karena itu doa saya bukan saja supaya saya sembuh. Tapi apakah saya sehat atau sakit, saya masih bisa berguna bagi Kerajaan-Nya. Apakah saya sehat atau sakit, saya dimampukan menjadi saksi nyata dari kebaikan-Nya. * |