SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Kesakitan: Belajar dari Ayub
Oleh Eka Darmaputera

Menyimak penjelasan Alkitab mengenai sebab-musabab kesakitan, wah, bisa bingung kita. Sebab kadang-kadang berbicara begini, kadang-kadang berbicara begitu. Itu, bila kita cuma membaca huruf-hurufnya saja. Tapi kalau kita mau sedikit lebih bersusah-payah, yaitu berusaha menangkap jiwanya, kesan kita pasti berbeda.

Pembahasan yang paling mendalam dan paling menyeluruh di dalam Alkitab mengenai kesakitan dan penderitaan, ternyata cuma memunculkan satu kesimpulan saja. Tidak dua, tiga atau beberapa. Kesimpulan itu, dapat kita temukan di kitab AYUB. Sebuah kitab yang amat tua. Tapi persoalan yang digelutinya, tak pernah lapuk oleh usia. Sebab yang dibahasnya adalah persoalan semua orang; persoalan kita; kini, di sini.

Dalam kitab ini, Ayub diperkenalkan sebagai seorang yang "saleh dan jujur; takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (1:1). Anehnya, ia juga kaya raya. Ini yang barangkali yang berbeda dengan realitas di zaman kita, bukan? Sebab di zaman kita, mana mungkin bisa kaya raya, kalau "saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan"!

Melalui tokoh kita ini, Allah ingin memperlihatkan tipe seorang yang "ideal" dan berkenan di hati-Nya. Karena itu, tulis Philip Yancey, kalau ada manusia di muka bumi ini yang tidak pantas menderita akibat perbuatannya, orang itu adalah Ayub.

Tapi apa yang terjadi? Dalam sekejap semua kekayaan Ayub lenyap. Seluruh anggota keluarganya musnah, kecuali istrinya. Tapi kemudian terbukti, istrinya itu cuma menambah depresi sang suami. Lalu kesakitan menjamah langsung tubuh Ayub. Ia dibuat menderita sangat oleh penyakit kulit yang hebat, yang menyerangnya dari ubun-ubun kepala sampai ke telapak kaki.

Hanya dalam hitungan hari -- mungkin jam -- seluruh kutuk neraka seolah-olah ditumpahkan ke setiap relung kehidupan Ayub. Tanpa ada yang disisakan atau di"dispensasikan". Namun toh dalam bayangan saya, yang paling menyakitkan bagi Ayub, bukanlah yang saya sebutkan itu. Melainkan "rasa ditinggalkan"; "rasa dikhianati".

* * *

BETAPA tidak. Selama ini ia percaya dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah yang pengasih dan adil. Tapi apa yang ia alami? Seratus persen bertolak belakang! Karena itu, seperti kita, wajarlah bila yang secara spontan meluap dari hatinya dan terucap dari mulutnya, adalah pertanyaan: "Mengapa semua ini?" Mengapa saya? Apa salahku? Apa sih yang sesungguhnya dimaui Tuhan?

Kepada Ayub disajikan dua pilihan jawaban, yang semuanya ditolaknya mentah-mentah. Pilihan pertama diberikan oleh teman-temannya. Kata mereka, "Benar, Yub, melalui kesakitanmu Tuhan memang ingin mengatakan sesuatu. Sebab tidak ada akibat tanpa sebab, 'kan? Tuhan tidak mungkin bertindak sembarangan. Kepada yang setia, Ia menyediakan pahala. Kepada yang berdosa, Ia menyediakan hukuman. Fair! Karena itu, Yub, demi kebaikanmu sendiri, berhentilah mengeluh. Akui dosa-dosamu!"

Pilihan kedua dikemukakan oleh sang istri. "Ah, sudahlah, Bang, berhentilah merajuk! Sebab apa kubilang? Tuhan yang Abang ikuti dengan setia itu, ternyata tidak setia, bukan? Juga - berbeda dengan yang Abang selalu bilang - tidak pengasih dan penyayang. Omong kosong semua itu, bah! Ia sama saja seperti dewa-dewa lain, senang pamer kuasa dan gemar mempermainkan manusia. Karena itu: "Kutukilah Allahmu dan matilah!" (1:9)

Ayub sempat "grogi" juga. Nyaris terhanyut ke dalam pemikiran, bahwa Allah itu sadis dan semena-mena. Senang "mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah" (2:23). Dan sayangnya, "tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua!", guna memberi keadilan (2:33). Sehingga kejahatan tidak selalu mendapat hukuman, sebaliknya kebaikan tidak otomatis mendatangkan ganjaran.

* * *

SUNGGUH menarik mengikuti perdebatan antara Ayub dan teman-temannya. Emosi Ayub sering meledak-ledak. Sebaliknya, sahabat-sahabatnya tetap tenang, dingin, rasional. Pandangan teologi mereka pun jernih, teguh, "sehat" . Orang sering tergoda lebih sepakat dengan para sahabat, ketimbang dengan Ayub.

Menurut Yancey, ini wajar semata.. Sebab, katanya, argumentasi para sahabat itu memang amat mirip dengan pandangan konvensional orang-orang Kristen sekarang! Boleh saja kita katakan, hati kita tertuju kepada Ayub. Tapi betapa sering, tanpa kita sadari, sikap kita adalah sikap para sahabat!

Secara fundamental, Ayub menolak pemahaman teologi mereka. Ia tetap bersikeras bertahan, bahwa tidak seharusnya dan tidak semestinya ia mengalami kesakitan seperti itu. Ia memang tidak lebih suci dibandingkan orang-orang lain, tapi pasti juga tidak lebih berdosa. Apalagi bila dibandingkan dengan mereka yang sehat dan makmur, tapi sebenarnya koruptor, munafik, dan penjilat.

Namun demikian, ini tidak berarti ia punya alasan yang sah untuk meninggalkan Allah. IA MEMANG TIDAK LAYAK MENDERITA, TAPI ALLAH TETAP LAYAK MENERIMA KESETIAANNYA!

Di sinilah keindahan, keunikan dan kehebatan isi kitab Ayub! Yaitu bahwa kesetiaan kita kepada Allah, tidak boleh kita gantungkan kepada apakah Ia memberikan yang kita inginkan atau tidak. Ini adalah mental pengemis dan pengamen murahan! Kualitas iman yang paling rendah! Ketika senang, Tuhanku sayang; tapi ketika sedikit saja dikecewakan, Tuhanku malang.

Yang menarik adalah, Tuhan lebih berpihak kepada Ayub ketimbang kepada para sahabat. Ya, walaupun para sahabat itu dengan gigihnya membela Allah. Seperti kata Gus Dur, Allah tidak perlu dibela! Allah berkata, "Murka-Ku menyala terhadap kalian, karena kalian tidak berkata benar tentang Aku, seperti hamba-Ku Ayub" (42:7).

Kalau benar teologi para sahabat itu mirip dengan teologi kita sekarang, maka penilaian Allah ini punya implikasi serius. Yaitu, secara tidak langsung, Allah juga mempersalahkan kita! Kita mesti segera mengintrospeksi diri serta melakukan koreksi. Untuk itu, kita perlu mengetahui dulu, apa sebenarnya isu yang paling pokok dan pesan yang paling utama dari kitab Ayub.

* * *

MENURUT Philip Yancey, isu paling pokok dari kitab ini adalah: APAKAH MANUSIA BENAR-BENAR BEBAS? Atau, serba tergantung dan terkondisi?

Setan mewakili pendapat yang mengatakan, bahwa manusia itu tidak bebas melainkan serba terkondisi. Manusia, menurut Setan, terkondisi untuk taat dan setia kepada Allah. Tidak benar-benar mengasihi Allah! "Cabutlah semua kemudahan dan fasilitas, dalam sekejap ia pasti akan berbalik melawan Allah!".

Sebaliknya Allah hendak membuktikan, bahwa kebebasan itu ada. Bahwa kasih dan kesetiaan Ayub kepada Allah, adalah hasil pilihan dan keputusan yang bebas. Ada atau tidak ada fasilitas - bahkan di tengah penderitaannya yang ekstrem --, Ayub tetap akan memperlihatkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Allah!

Kisah Ayub yang sepintas terasa sangat tragis, adalah ajang pembuktian siapakah yang benar: Tuhan atau Setan? Manusia itu punya kehendak bebas, atau tidak? Apakah ada cinta yang tulus, tanpa pamrih dan tanpa syarat, atau selalu ada "udang di balik batu?" Sekiranya Ayub sampai murtad, ini berarti Iblis menang. Iman yang tulus itu tidak ada. Kasih yang tanpa pamrih juga tidak ada.

* * *

TERBUKTI Ayub - dengan segala kepahitan dan kegetirannya - berhasil mempertahankan loyalitasnya. Dan ini sangat dihargai oleh Tuhan. Sebab Ia memang mengharapkan orang-orang yang MENCARI DIA, BUKAN TERUTAMA KARENA PEMBERIAN-NYA. TETAPI SEMATA-MATA KARENA DIA ADALAH DIA -- ADA ATAU TIDAK ADA YANG DIBERIKAN-NYA.

Tuhan menginginkan iman berkualitas nomor satu. Orang-orang Kristen yang tidak ber"mental pengemis", yang mendekat hanya karena ada yang diharap. Melainkan orang-orang yang ber"mental patriot". Orang-orang Kristen yang dengan tulus berkata, "Saya rasa tidak sepantasnya saya harus menanggung kesakitan ini. Tapi bagaimana pun, Tuhan tetap pantas menerima kasih dan kesetiaan saya. (Sebab) apakah saya mau menerima yang baik dari Allah, tapi tidak mau menerima yang buruk? (1:10)".

Dengan latar belakang pemikiran demikian, seharusnya pahamlah kita sekarang, mengapa Tuhan membiarkan kita hidup di tengah-tengah dunia yang "tidak fair". Kita tentu memimpikan sebuah dunia yang serba "fair", di mana yang baik diberkati, dan yang jahat dibasmi. Dan anak-anak Tuhan yang baik tak usah menderita. Fair, bukan?

Ya. Tapi bila "dunia yang fair" seperti itulah yang Ia karuniakan, maka Tuhan tidak ubahnya akan seperti orang tua, yang tak pernah membiarkan anaknya belajar berjalan sendiri, karena takut anaknya jatuh dan terluka. Ia mengurung anaknya di dalam kamar yang "aman". Di mana di situ tersedia lengkap makanan, permainan dan semua kebutuhan. Kecuali kebebasan.

Aman dan nyaman. Tapi Anda pasti bisa menebak, anak macam apa yang akan dihasilkan oleh "Allah yang fair" seperti itu. Menjadi anak seperti itukah, harapan Anda? Dunia dan kehidupan seperti itukah, yang Anda idam-idamkan? Atau sebuah dunia yang mungkin tidak "fair", dunia yang mungkin sarat dengan penderitaan - dunia Ayub -- , tapi dunia di mana cinta yang tulus dan merupakan hasil keputusan bebas -- bukan cinta otomatis -- dimungkinkan?