SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Kesakitan, Tuhankah Penyebabnya?
Oleh Eka Darmaputera

Ketika saya mempersiapkan tulisan ini, Andreas Suwito-seorang sahabat dekat-meninggal dunia sewaktu berselancar-udara di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Padahal ia termasuk senior dalam olah raga itu dan, konon, selalu cermat dan hati-hati.

Hampir bersamaan waktu dengan itu, sebuah helikopter tergelincir dari Lantai 23, kemudian jatuh terperosok ke kolam renang Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Mayor Pnb. Affandi Malik, Daisy Hermawan, dan Donovan Ardiansyah menjadi korban. Padahal, konon, pesawatnya laik terbang. Dan penerbangnya pun pilot berpengalaman.

Apakah peran Tuhan dalam tragedi-tragedi itu? Apakah Ia sendiri yang memilih dan menentukan-dari antara milyaran orang, ribuan atlit olah-raga udara dan pilot di dunia ini --, siapa-siapa yang mesti mati hari itu? Apakah Ia sendiri-setelah memeriksa peta dan almanak-yang memutuskan lokasi dan saat, di mana dan bilamana orang-orang muda itu mesti mati terhunjam ke bumi?

Apakah Tuhan berperan bagaikan Kepala Tramtib DKI Jaya yang menggusur perkampungan liar? "Ya, ayo! Benar, kampung itu, rumah-rumah itu, hancurkan! Timbuni dengan tanah longsor! Sapu dengan air bah! Ingat, Tuginah dan Sa-mono boleh jadi korban, tapi jangan Pramono dan Supini. Walau mereka tetangga sebelah!"

Begitukah Tuhan bekerja? Dengan cara seperti itukah Ia menghukum yang berdosa, dan memberi pahala mereka yang berjasa?

* * *

HAMPIR semua orang yang sedang mengaduh dan mengerang kesakitan, saya yakin, percaya bahwa Allah sedang menghukum mereka. Atau paling sedikit, membiarkan mereka menderita. Karena itu teriakan mereka: "Duh Gusti!". "Masya'allah". "Ya Tuhan!" Semua, dengan caranya sendiri-sendiri, menyebut nama Tuhan. Dengan perkataan lain, mereka beranggapan Allah-lah "aktor intelektualis" utama di belakang kesakitan mereka. Ah, kalau saja Allah mau bertindak lain!

Cara berpikir seperti itu memang tak selalu berkonotasi negatif. Tak selalu berarti menghujat atau mempersalahkan Allah. Paulus berpendirian seperti itu juga, namun sedikit pun ia tidak sakit hati kepada Tuhan.

Kita pun telah diyakinkan, bahwa-sekiranya datang dari Allah-kesakitan adalah "berkat" bukan "laknat". Bahwa kesakitan bisa memperkaya, menggembleng, memurnikan, serta mendewasakan spiritualitas kita. Bahwa kesakitan adalah "megafon" Tuhan, yang mendorong manusia meng-introspeksi serta mengoreksi diri setiap kali. Itulah, secara umum, fungsi dan makna kesakitan.

Tapi sayang seribu kali sayang, kesakitan tidak pernah menerpa kita "secara umum". Kesakitan selalu kita alami sebagai sesuatu yang "spesifik", "khusus", dan "pribadi". Kesakitan adalah rasa ngilu yang hebat di setiap persendian saya.

Kesakitan adalah rasa pening luar biasa, bagaikan buldoser menerjang kepala saya. Kesakitan adalah perasaan teraniaya, ketika setiap tarikan nafas harus merupakan perjuangan yang amat berat. Kesakitan adalah perasaan sedih, sunyi, patah hati, sakit hati.

Selalu "spesifik". Dan selalu menyiksa. Perasaan tersiksa ini tidak serta merta hilang, hanya karena kita "secara umum" sudah mengetahui fungsi-fungsi kesakitan. Karenanya, tak ada satu kekuatan pun yang mampu mencegah orang bertanya, "Bagaimana mungkin Tuhan yang Pengasih membiarkan siksa seperti ini?"

* * *

BILA benar kesakitan adalah "megafon" Tuhan, pertanyaan kita adalah: apa sih yang Tuhan ingin sampaikan melalui penyakit liver saya yang tak mungkin tersembuhkan ini? Mengapa penyakit ini, mengapa bukan penyakit lain? Mengapa saya, bukan dia? Mengapa sekarang, tidak 20 tahun lagi. Spesifik.

Philip Yancey menuliskan pengalaman yang menarik, ketika di sebuah pesta salah seorang sahabatnya dengan wajah serius bercerita, tentang bencana gempa bumi dahsyat yang baru saja menimpa suatu wilayah di Amerika Selatan. "Tahukah Anda," demikian teman tadi bertanya, "bahwa korban yang beragama Kristen jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang bukan Kristen?".

Walau yakin bahwa tidak ada maksud buruk apa-apa, cerita teman itu toh membuat Yancey gelisah. "Sekiranya cara berfikir teman itu benar, wah, apa ya kira-kira dosa orang-orang Kristen yang mati itu, sehingga-walaupun jumlahnya kecil-nasib mereka disama-ratakan dengan nasib "orang-orang kafir"?"

Menurut saya, cara berfikir seperti itu sangat tidak kristiani. Sangat "kafir"! Korban musibah kok ditanggapi seperti pertandingan sepak bola saja. Kalau Anda mengatakan, "Brasil 3 - Prancis 0", tanpa perasaan apa-apa, ini oke-oke saja. Tapi kalau misalnya Anda menilai konflik Ambon berdasarkan atas jumlah korban, "Kristen 10 - Muslim 30" - lalu "Hureee!"? Saya tegaskan: Anda bukan orang Kristen sejati! Yesus mati bukan hanya untuk yang 10 orang, tapi juga untuk yang 30 orang itu.

* * *

YANCEY selanjutnya menulis, "Pikiran saya lalu terbawa ke peristiwa-peristiwa tragis, yang korbannya justru hampir seluruhnya adalah orang-orang Kristen. Pembantaian massal di Armenia; kecelakaan bis yang mengangkut rombongan paduan suara di Yuba City, California; banjir besar yang menyapu bersih seluruh kompleks Campus Crusade di Estes Park, Colorado; waduk bobol yang menghantam kompleks Sekolah Alkitab di Toccoa Falls. Jelaslah, betapa beriman kepada Allah tidak menjamin orang bebas dari tragedi!".

Jadi, apakah Allah berperan dalam kesakitan dan penderitaan manusia? Atau tidak? Bila Ia sama sekali tidak berperan, alangkah mengerikannya! Sebab hidup manusia seolah-olah dibiarkan bergulir sendiri, seperti mobil yang berlari kencang tanpa ada sopir yang mengemudikannya. Tapi bila berperan, apakah perannya? Seberapa besar? Seberapa menentukan?

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, orang Kristen tidak punya pilihan lain kecuali mencari jawabannya dari Alkitab. Apakah kata Alkitab, mengenai pelaku dan penyebab kesakitan serta penderitaan manusia? Tapi bila itu yang kita lakukan, ternyata Alkitab bukanlah "buku kunci" untuk pertanyaan-pertanyaan itu.

Mengapa? Alkitab tidak punya satu jawaban. Alkitab tidak punya satu teori besar mengenai penyebab kesakitan dan penderitaan manusia. Secara sepintas, Alkitab paling sedikit punya empat macam jawaban.

PERTAMA, adalah ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa TUHAN-lah si "biang kerok". Dalam Kejadian 38:7 dikatakan, "tetapi Er, anak sulung Yehuda itu, adalah jahat di mata Tuhan, maka Tuhan membunuh dia". Allah, bagaikan "pemain tunggal", dengan tangan-Nya sendiri bertindak mendatangkan hukuman atas manusia. Allah-lah yang berada di belakang sepuluh tulah yang menimpa Mesir. Ia pula yang - sendirian-berperang di depan Israel, menghancur-lumatkan bangsa-bangsa Kanaan.

Namun ini toh baru salah satu pilihan jawaban. Alkitab juga menyajikan pilihan "menu" yang KEDUA. Yaitu, bukan Tuhan, melainkan SETAN, yang menjadi penyebab utama kesakitan dan penderitaan manusia. Lukas 13:10-18 bercerita mengenai penderitaan seorang perempuan. Penderitaannya begitu hebat, hingga ia tidak dapat berdiri tegak. Dan juga begitu lama, 18 tahun lamanya. Dan yang menyebabkan semua itu? Lukas jelas-jelas mengatakan: ia dirasuk "roh""! (ayat 11)

Setelah dua macam jawaban itu, eee, ternyata masih ada yang KETIGA. Ini dapat kita baca dalam kitab Ayub, dan menawarkan semacam kombinasi atau perpaduan dari dua jawaban di atas. Ayub 2:4-7 dengan sangat jelas mengemukakan, bahwa SETAN-lah yang menciptakan dan mendatangkan kesakitan, namun dapat melakukan itu hanya setelah memperoleh izin dari ALLAH.

Akhirnya - walau bukan yang terakhir --, adalah jawaban KEEMPAT. Jawaban ini seolah-olah dengan setengah mengejek berkata, "Mencari-cari "biang kerok" penderitaan kok jauh-jauh amat sih?! "Allah"-lah, "Setan"-lah, "Roh-roh jahat"-lah. Salah semua! Bila sakitnya ada pada kita, maka penyebabnya ya juga ada pada kita. As simple as that."

Pandangan seperti itu adalah ciri khas kitab Amsal yang serbapraktis dan selalu membumi. Tanamlah yang jahat, itu pula yang Anda akan tuai! Ikutilah jalan yang salah, maka ke tujuan yang salah pula Anda akan tiba!

"Siapa menggali lubang akan jatuh ke dalamnya; dan siapa menggelindingkan batu, batu itu akan kembali menimpa dia." (Amsal 26:27). Alhasil, siapakah biang kerok' kesakitan Anda? Jawab di empunya Hikmat: ya Anda sendiri! Manusia sendiri! Keempat kemungkinan jawaban itu sama-sama menariknya, sama-sama masuk akalnya dan sama-sama yangpunya dasar yang kuat di dalam Alkitab. Tapi, di antara yang empat itu mana yang benar? Mana yang sebaiknya kita pilih?

Alkitab bungkam seribu bahasa. Tidak mau menjelaskan mana yang pantas jadi "favorit". Tapi kita toh tidak boleh cuma berhenti sambil kebingungan. Kita harus mengubah cara kita membaca dan memahami Alkitab. Kita harus mencari "model" jawaban yang lain. Sayang sekali, ini baru dapat kita lakukan minggu depan.

Untuk sementara, yang dapat segera kita simpulkan adalah: ada penderitaan yang tak dapat kita hindari, karena kita tidak tahu asal-usul, penyebab, maupun tujuannya. Tapi ada pula penderitaan yang sebabnya terletak pada kesalahan kita sendiri. Salah pilih mengundang akibat buruk. Wrong choices lead to painful consequenses. Kesakitan ini dapat dan harus kita hindari! Untuk sementara, latihlah diri Anda melakukan yang satu itu. Pilihlah yang benar, walau mungkin tidak spektakuler. Jangan dulu berpikir yang ruwet-ruwet, yang cuma menambah kesakitan.