SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Naskah Khotbah (1) KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN KRISTEN YANG PAS (Lukas 7:18-28) Kita akan membicarakan karakteristik kepemimpinan Kristen yang pas, yaitu pas untuk memenuhi kebutuhan di tengah-tengah bangsa kita sekarang yang memiliki terlalu banyak pemimpin tetapi tidak ada kepemimpinan--many leaders, too many leaders, but there is no leadership. Kita juga akan membicarakan karakter dan karakteristik yang pas sehingga dapat mengisi kebutuhan gereja di masa depan, agar gereja tidak menjadi pupuk bawang melulu atau hanya menjadi kambing congek saja dan supaya orang Kristen tidak hanya menjadi pelengkap penderita atau selalu menjadi gerbong yang paling belakang yang terus digoncang dan lebih sering ditinggalkan dari rangkaiannya di stasiun. Kesempatan itu sebenarnya ada, bahkan kesempatan yang luar biasa--kesempatan emas, karena di tengah-tengah krisis yang sangat dahsyat sekarang ini bangsa kita membutuhkan--desperately--dua hal yang tidak ia miliki tetapi yang sebenarnya justru merupakan dua kekuatan, two added values, dua nilai tambah dari kekristenan. Bukankah bangsa kita saat ini, pada satu pihak membutuhkan integritas moral yang kuat, khususnya dari para pemimpinnya, dan di pihak lain, solidaritas integritas nasional serta solidaritas sosial di kalangan warga dan rakyatnya. Pada awal sejarahnya kita tahu bahwa di situlah daya tarik dan kekuatan kekristenan itu, yaitu di dalam reputasi akademis, di dalam hal kecanggihan konsep pemikiran ajaran. Bagaimana kita dapat membandingkan Petrus, Yohanes, juga Paulus, dengan Plato, Socrates, dan Aristoteles. Kita tahu bahwa orang-orang tertarik masuk Kristen bukan karena status sosial orang-orang Kristen yang wah. Paulus sendiri mengakui hal itu di 1 Korintus 1:26: "Ingat saja Saudara-saudara keadaanmu waktu kamu dipanggil. Menurut ukuran manusia tidak banyak orang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang." Jadi mengapa? Kekristenan yang sebenarnya pada waktu itu compang-camping karena tekanan yang berat dari bangsa Yahudi dan pemerintah Romawi, mengapa tetap saja dapat menarik, bertahan, bahkan berkembang? Jawabnya adalah karena keteguhan moralitas dan solidaritasnya, persekutuannya. Kalau kita bertanya, lalu di mana letak persoalan kita? Saya katakan, dua hal itu sebenarnya ada pada kita hanya sayangnya kedua hal itu masih terkubur di dalam tanah, masih berupa potensi bukan energi yang siap pakai. Oleh karena itu, kalau mau, kita bisa menolong bangsa ini namun kita harus mengubah visi kita agar menjadi lebih luas, tidak hanya introver, tetapi juga ekstrover. Kalau kita meneliti Alkitab, akan kita temukan bahwa perintah "Pergilah!" jauh lebih banyak daripada perintah "Masuklah!" Itu berarti kita harus keluar, harus ekstrover. Kita harus mengubah kebiasaan buruk kita yang suka berdebat, suka ngotot, suka ngeyel, menghabiskan energi dan konsentrasi kita untuk hal-hal yang remeh, sepele, sementara api telah hampir membakar rumah. Kita juga harus menjadi orang yang berani bekerja keras. Menjadi pekerja yang berani berpeluh, berani berjuang, atau kalau memakai istilah Paulus, bahkan berani menumpahkan darah. Bukan menumpahkan darah orang lain, tetapi darah kita sendiri kalau perlu. Tidak melempem seperti kerupuk. Tidak lembek seperti bubur. Tetapi teguh tegar seperti paku, yang semakin dipukul, dihantam, ia semakin menghujam. Itulah yang dibutuhkan oleh bangsa dan gereja kita sekarang ini. Mengenai yang terakhir ini, saya sangat prihatin. Saya katakan yang dibutuhkan saat ini adalah orang Kristen yang tegar, berani berpeluh, berani berdarah, berani berjuang, berani lelah. Tetapi yang saya lihat malah sebaliknya. Ada gejala atau trend di mana orang-orang Kristen justru semakin manja, semakin cengeng dan semakin rapuh. Maunya yang gampang, yang cepat, yang enak. Kalau pun Injil, maunya Injil yang gampang. Kalau pun menjadi murid, maunya jadi murid yang enak. Kecenderungan adalah konsumtif, mendapatkan berkat sebanyak-banyaknya, tetapi yang menyenangkan, yang menghibur, seperti yang ditulis oleh Paulus dalam 2 Timotius 4:3,4: "Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng." Itulah yang sedang terjadi sekarang. Kecenderungan hedonistik manusia ini lebih menyedihkan lagi karena seolah-olah sengaja dirangsang, dieksploitir oleh puluhan, mungkin ratusan, aliran yang tidak jelas juntrungannya kecuali keuntungan dan ego. Bukan hanya dalam hal teologi, tetapi juga dalam etika, moral. Orang-orang Kristen di Indonesia telah diporakporandakan oleh gejala yang parah ini. Setelah melihat semua ini, mari kita mempertimbangkan satu model kepemimpinan yang ada di dalam Alkitab, bukan untuk dijiplak atau difotokopi mentah-mentah, karena kita tahu bahwa Alkitab bukan buku manual kepemimpinan dan bukan buku manual untuk apa pun. Memang Alkitab berbicara mengenai kepemimpinan karena masalah kepemimpinan adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, dan ini adalah masalah yang tidak dapat terhindarkan dari kehidupan orang per orang. Pilihan kita cuma dua: Kita dipimpin, atau kita memimpin. Yang lebih sering kita alami adalah kedua-duanya yaitu kita dipimpin dan juga kita memimpin. Apa yang penting bagi manusia adalah penting bagi Alkitab. Tetapi harus kita ingat bahwa Firman Tuhan itu selalu lebih, selalu melampui, selalu beyond, transenden terhadap kebutuhan dan kehidupan empiris manusia. Oleh karena itu Alkitab tidak hanya menyajikan satu model kepemimpinan yang ideal. Di dalam Alkitab model itu selalu berubah dan bervariasi sesuai dengan situasi dan kebutuhan yang ada. Itu sebabnya model kepemimpinan Musa berbeda dengan model kepemimpinan Yosua; bentuk kepemimpinan hakim-hakim berbeda dengan bentuk kepemimpinan raja-raja. Samuel pernah merangkap tiga fungsi sekaligus yaitu imam, nabi, dan raja, tetapi kemudian ketiganya terpisah ketika Israel menjadi Monarkhi. Di Perjanjian Baru kita juga melihat hal yang sama. Pada awalnya gereja purba sudah merasa cukup dipimpin oleh para rasul dengan semua kharisma mereka. Tetapi Kisah Rasul 6 segera mencatat, memberi kesaksian bahwa kebutuhan dan situasi baru menuntut suatu bentuk kepemimpinan yang lain, suatu bentuk struktur organisasi yang lain. Mulailah apa yang disebut diaken, syamas diakonoi. Kisah Rasul 11 kemudian memperkenalkan jabatan lain yaitu presbuteros, jabatan penatua atau tua-tua. Kisah Rasul 13 berbicara mengenai nabi-nabi yang memimpin jemaat di Antiokhia. Kemudian entah bagaimana dan dari mana, episkopos hadir dan ada variasi baru di dalam Kisah Rasul. Kalau kita mempelajari surat-surat Paulus, variasi itu jauh lebih kaya lagi. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan melalui semua ini? Semuanya hendak mengatakan bahwa prinsip kepemimpinan Kristen yang pertama adalah keanekaragaman atau pluriformitas bentuknya, fleksibilitasnya, kelenturannya, keluwesannya. Dan bukankah memang benar bahwa Tuhan itu seringkali jauh lebih luwes, jauh lebih fleksibel daripada kita, manusia dan pemimpin-pemimpin gereja. Inilah asas pokok kepemimpinan Kristen, yaitu keanekaragaman atau pluriformitas kepemimpinan. Tetapi saya juga harus segera menambahkan satu prinsip lain yang membentuk dwitunggal dengan prinsip pertama tadi, yakni, kepemimpinan Kristen itu hanya mengenal satu pemimpin. Dwitunggal prinsip kepemimpinan Kristen itu adalah beranekanya bentuk kepemimpinan, dan adanya satu pemimpin. Di dalam beranekaragamnya situasi yang terus-menerus fluktuatif dan berubah, boleh dan harus ada beraneka ragam bentuk, tipe, model, struktur kepemimpinan supaya kepemimpinan dapat dijalankan dengan efektif, tepat guna, dan daya guna. Tetapi di dalam keadaan apa pun dan di dalam model kepemimpinan yang bagaimanapun, hanya boleh ada satu Pemimpin. Pemimpin dengan huruf besar yaitu Tuhan Allah. Tidak bisa lain, karena ini sebenarnya mengekspresikan iman yang monoteistis, yang konsekuen dengan Alkitab yang mengatakan: "Jangan ada allah lain di hadapan-Ku." Tetapi ini juga mengekspresikan salah satu godaan terbesar. Salah satu kelemahan terbesar manusia--dan yang paling fatal adalah kecenderungannya untuk menjadi seperti Allah. Sejak manusia yang pertama sampai sekarang, bukankah itu yang kita jumpai di kantor manapun, baik pemerintah, swasta, maupun di gereja. Orang-orang yang berlagak dan mengklaim dirinya seolah-olah ia adalah tuhan-tuhan kecil dan allah-allah kecil. |