SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

JUJURLAH, MASIHKAH ALLAH BERMAKNA?
Oleh Eka Darmaputera

Pikir-pikir, malang benar "nasib" Allah seringkali kita buat. "Hina"-nya serta "rendah"-nya Dia, kita perlakukan. Kita memang menyebut-nyebut kata itu setiap saat. Dengan takzim, dengan khidmat, dengan hormat sewaktu kita menyanyikan himne-himne pujian, tatkala kita mengucapkan doa-doa permohonan. Namun, benar-benarkah kita mengingatNya? Ataukah, kita sekadar ber"bla-bla-bla"? Dengan latah mulut kita menyebut Dia "Maha Kuasa." Namun, dalam kenyataan, benar-benarkah Dia yang menguasai hidup kita? Ataukah ada yang lain?

Akuilah, betapa kita sebenarnya cuma mengingat Dia dan mempedulikan-Nya, sekali waktu. Artinya, sekali-sekali dan sewaktu-waktu. Kapan, misalnya? Teristimewa di kala musibah atau kemalangan singgah di hidup kita. Ketika bah melanda, penyakit mewabah, gunung muntah-muntah, gedung-gedung pencakar langit tumbang tiba-tiba, dan sebagainya. Pada saat itulah, biasanya kita dibuat terhenyak menyadari kekecilan, keterbatasan, serta ketidakberdayaan kita seraya menyesali semua yang salah, semua yang jahat, dan semua yang tak semestinya kita lakukan. Tak heran, setelah 11 September 2001, konon, lebih banyak orang Amerika mulai kembali berdoa.

Lalu di manakah Allah di tengah semua itu? Apakah makna keberadaan dan kehadiranNya—bila ada? Bagi kebanyakan orang,, musibah, bencana, dan penderitaan mengingatkan betapa dahsyatnya dan betapa mengerikannya, bila Ia sampai murka lalu mulai menggerakkan tangan pembalasan-Nya! O, kita mesti segera mengambil tindakan guna meredakan dan memadamkan api amarah itu! Fungsi agama, khususnya ritual-ritualnya--baik dengan atau tanpa sesajen--adalah membuat Allah tenang dan senang sehingga tidak "mengganggu" kita; atau, bila telah keburu murka, ya memadamkannya.

Syukurlah, situasi gawat-darurat seperti itu tidak terus-menerus terjadi, setiap kali dan sepanjang waktu. Seperti telah saya kemukakan di atas, terjadinya cuma sekali-sekali dan sewaktu-waktu. Sedangkan sebagian terbesar kehidupan manusia berada dalam situasi "normal."

Normal, artinya, perjalanan kehidupan berada sepenuhnya di dalam penguasaan dan pengendalian kita. Kitalah, manusia, yang menentukan hitam putihnya kehidupan. Apa yang benar dan apa yang salah. Juga kita yang menentukan arah kehidupan, ke kiri atau ke kanan. Cuma kita, tiada yang lain. Begitulah pikiran banyak orang.

Secara verbal dan secara formal, kata "Allah" kita sebut-sebut dalam nyanyian-nyanyian yang kita lantunkan, dalam doa-doa yang kita naikkan, dalam khotbah-khotbah yang kita siarkan. Namun secara fungsional dan eksistensial, dalam praktek kehidupan nyata dari hari ke hari, Allah sebenarnya tidak kita perlukan lagi. Selama manusia mampu sepenuhnya memegang kendali kehidupan, untuk apa Allah?

* * *

Jadi, imaji atau gambaran Allah seperti apa yang sebenarnya kita bangun ini? Jawab saya: imaji Allah sebagai "si Tukang Tambal." Lord of the Gap. Ketika ada lubang "melompong" yang mengganggu, dan itu belum mampu kita tambal sendiri, kita memerlukan seorang tukang tambal. Apabila dalam kehidupan, kita diancam oleh kekuatan-kekuatan yang jauh melampaui baik daya otak maupun daya otot kita; berhadapan muka dengan misteri-misteri yang tak mungkin terpecahkan baik oleh keluhuran budi maupun oleh kecemerlangan prestasi ilmu pengetahuan kita; ketika ada kesenjangan (gap) antara keterbatasan insaniah kita dan kebesaran (magnitude) tantangan di luar kita; di situ Allah berfungsi. Untuk menambal lubang.

Bila jalan yang kita lalui bagaikan kubangan, membuat perjalanan kita jauh dari nyaman, kita pasti segera teringat dan bertanya sambil mengumpat, "Di mana sih kuli-kuli peambal jalan itu? Bah, apa gunanya membayar pajak, bila jalan tetap bopeng seperti ini?!" Namun bila semua jalan yang kita lalui serba halus dan mulus semata, dan mobil kita dapat melaju 120 kilometer/jam lebih tanpa hambatan, siapa sih yang begitu kurang kerjaan, bertanya-tanya dan mengingat-ingat di mana kuli-kuli penambal ja-lan itu? Itulah sebabnya, saudaraku, mengapa di awal renungan ini saya mengatakan, betapa malang "nasib" Allah seringkali kita buat. Allah, secara fungsional, adalah "si kuli penambal jalan" itu.

Ketika sukses demi sukses dengan setia mengikuti kita, maka yang paling banter akan kita katakan adalah, "Matur nuwun, Gusti, Engkau telah merestui usahaku." Plus, mungkin, kita beri Dia tips atau persen sekadarnya. Tapi jangan lupa, sukses itu adalah usaha"KU"! Selama proses berlangsung, Tuhan sepenuhnya berada di balik awan. Pasif total. Ia sudah cukup puas, bila nanti setelah pekerjaan selesai, kita hampiri Dia dengan membawa ucapan terima kasih. Di sisi lain, kita pun sudah cukup puas, bila Ia tidak mengganggu usaha"KU" itu. Itulah yang biasanya terjadi, bila situasi berada dalam keadaan normal, aman, dan terkendali.

Namun bila sebaliknyalah yang terjadi, yaitu tatkala kegagalan dan kekecewaanlah yang seperti anjing dengan setia mengikuti kita sambil mengibas-ngibaskan ekornya, o, Allah tidak lagi kita biarkan cuma duduk-duduk di balik awan. Kita akan menarik-Nya turun, dan menuntut pertanggungjawaban-Nya. Pernahkah Anda perhatikan, betapa Iblis jauh lebih beruntung dalam hal ini? Sepanjang hidup saya yang telah cukup lanjut, belum pernah satu kalipun saya mendengar satu orang Kristen pun yang memaki, mengumpat dan mempersalahkan Iblis, akibat kemalangan yang ia alami dalam kehidupan. Pernahkah Anda?

Tapi, wow, betapa acap dan betapa biasa telingaku mendengar orang-orang Kristen menuding-nuding Tuhan dengan muka merah dan mata menyala, sebagai penyebab, si biang keladi, dari kegagalan-kegagalan mereka sendiri. "Di mana Engkau, Tuhan, pada saat aku membutuhkan-Mu? Mengapa Kau biarkan ini terjadi? Mengapa aku? Mengapa penyakit ini? Mengapa sekarang? Bagaimana Engkau begitu tega, padahal katanya Engkau baik dan murah hati? Kurang baik atau kurang setia bagaimana aku terhadap-Mu? Kurang banyak atau kurang apa lagi persembahan yang telah kuberikan kepada-Mu? Bila begini, apa gunanya aku membayar 'pajak' selama ini?!"

* * *

Secara fungsional, dalam bayangan kita, Allah adalah Allah yang memuntahkan lahar dan mengguncang bumi; bukan sumber rahmat dan pertolongan. Ia adalah Allah yang pemberang, pendendam, dan pembalas, berada di balik setiap derita dan musibah yang menimpa kita. Persoalan yang paling krusial adalah, apakah Allah yang kita tuduh berada di latar belakang setiap malapetaka, juga berkuasa mengendalikan dan menguasainya?

Saya duga, dengan serta-merta, secara formal, kita akan mengatakan, "Tentu saja! Allah kita luar biasa! Allah kita Maha kuasa! Serba heran dan serba ajaib Dia!" Tapi, secara fungsional, sungguh-sungguhkah Ia Maha kuasa? Dan secara eksistensial, sungguh-sungguhkah Ialah Penguasa hidup keseharian Anda? Sebab tak ada gunanya, bukan, mengatakan betapa indah, betapa cemerlang, dan betapa hangat cahaya matahari, tapi Anda cuma mengatakannya namun tak pernah menikmatinya, sebab memilih mengeram diri terus di bilik Anda yang sempit dan tertutup rapat?

Sudah waktunya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Krisis kehidupan beragama di Indonesia sama sekali tidak disebabkan oleh kurangnya orang yang bersedia mematuhi formalitas-formalitas agama. Justru sebaliknya! Jumlahnya amat banyak, dan terlalu ketat! Persoalan kita adalah karena "roh" agama tidak lagi menyentuh, menyusupi, dan menggarami seluruh relung kehidupan keseharian manusia. Agama menjadi kostum. Yang tanpa roh. Yang kehilangan jiwa.

Pertanyaan sekitar fungsionalitas Allah juga penting dan krusial, karena bila jawaban kita negatif, konsekuensinya adalah menahbiskan kekuatan-kekuatan angkara ke atas tahta yang paling berkuasa dalam hidup manusia. Kuasa-kuasa itu menjadi "Allah" kita yang sebenarnya. "Allah" kita yang fungsional. Dan bila ini yang terjadi, alangkah mengerikannya!

Tetapi bila kita mengatakan, Allah kita--secara formal, fungsional, maupun eksistensial--adalah Allah yang Maha Kuasa, betapa pun hidup kita barangkali masih terbentur-bentur di labirin kehidupan yang pekat, tapi kita melihat ada secercah cahaya pengharapan jauh di depan. Dan, ini cukup untuk bekal kita melanjutkan perjalanan dan perjuangan.

Untuk membahas ini, saya masih ingin mengundang Anda membicarakannya lebih panjang dan lebih mendalam lagi minggu depan. Mudah-mudahan Anda tertarik memenuhi undangan ini.