SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Jika Aku Lemah, Aku Kuat
Oleh Eka Darmaputera

Paul Tournier-seorang dokter, konselor, dan penulis berkebangsaan Swiss-dalam bukunya Creative Suffering, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, mengungkapkan rasa "surprise"nya setelah membaca sebuah artikel yang berjudul "Orphans Lead the World" atau "Para Yatim Piatu (yang) Memimpin Dunia".

Artikel ini melakukan survei atas 300-an tokoh, yang dinilai mempunyai dampak besar dalam perjalanan sejarah dunia. Setelah melakukan studi perbandingan yang mendalam, para peneliti itu menemukan adanya persamaan yang sangat menarik di antara tokoh-tokoh itu.

Yaitu, bahwa semua mereka telah dibesarkan sebagai yatim piatu. Baik secara aktual atau pun secara emosional. Maksudnya, mempunyai pengalaman buruk di masa kanak-kanak mereka. Termasuk dalam daftar tersebut, adalah nama-nama besar seperti Alexander Agung, Julius Caesar, Maximilien Francois Marie Isidore de Robespierre, George Washington, Napoleon Bonaparte, Ratu Victoria, Golda Meir, Adolf Hitler, Vladimir Ilyich Lenin, Jozef Stalin, dan Fidel Castro.

Tournier sendiri adalah seorang yatim piatu. Bahkan setelah kematian istrinya, ia berkata, ia kembali merasa sebagai yatim piatu lagi di usia tuanya. Tapi kali ini, pengalaman duka tersebut telah membawa perubahan besar baik dalam kepribadian, sikap, maupun pandangan hidupnya. Perubahan yang positif.

Sebelumnya ia menilai setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya-apakah itu keberhasilan atau kegagalan-, sebagai baik atau jahat, pada dirinya. Terserang influenza, misalnya, dengan sendirinya, adalah buruk. Sebaliknya, makan enak adalah baik. Kini ia menyadari, bahwa secara moral peristiwanya sendiri adalah netral. Tidak baik atau buruk pada dirinya. Terserang influenza lalu terpaksa tinggal di rumah, yang ternyata membuat ia terhindar dari kecelakaan kereta api yang fatal, adalah baik. Sebaliknya, makan enak tapi kemudian membuat kadar kolesterol naik drastis, adalah buruk. Iya, kan? Sesuatu itu baik atau buruk, tidak tergantung pada peristiwanya, melainkan pada manusianya.

* * *

TOURNIER juga menulis, "Langka sekali kita menjadi tuan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Sering sekali, hal-hal yang tidak kita maui dan tidak kita sukai, itulah yang justru terjadi. Dan kita hanya bisa menerimanya. Namun begitu, bagaimana kita menyikapi dan meresponi peristiwa-peristiwa yang tidak kita pilih itu, adalah tanggungjawab kita sepenuhnya. Penderitaan an sich pada dirinya tidaklah bermanfaat. Apakah ia kemudian bermanfaat atau tidak, tergantung dari sikap kita. Di situlah tes yang sesungguhnya!

Apakah reaksi yang dikembangkan adalah reaksi positif, aktif, kreatif? Bila demikian, kelemahan bisa diubah menjadi sumber kekuatan. Kegagalan bisa dijadikan titik awal keberhasilan. Dan kesakitan tubuh menjadi wahana bagi pertumbuhan rohani.

Sebaliknya bila responnya negatif, maka kesakitan akan memadamkan semangat dan mematikan vitalitas. Pertolongan yang tepat serta diberikan pada saat yang tepat, akan amat menentukan perjalanan hidup yang bersangkutan selanjutnya. Tournier melihat tugasnya yang utama adalah menolong orang agar mampu memanfaatkan kesakitan menjadi pendorong perubahan yang positif.

* * *

ANDA pasti kenal buah durian. Orang baru dapat menikmati manfaat dan kelezatan buahnya, setelah membelah kulitnya yang tebal. Tindakan itu pasti amat "menyakitkan", tetapi tidak membinasakan. Sebaliknyalah! Ia membebaskan buah durian itu melepaskan segenap potensinya.

Martin Luther King Jr. juga berulang-ulang mengatakan hal yang serupa. "Apa yang tidak menghancurkanku, menguatkanku", katanya. Dan pasti begitu pula sikap para tokoh besar dunia. Gandhi, Solzhenitsyn, Sakharov, Tutu, Mandela.

Dengan sengaja MLK, Jr. memilih Alabama, yang terkenal dengan gubernur dan sheriff-nya yang amat rasialis, sebagai pusat perjuangannya melawan diskriminasi. Di situ, ia dipukuli, dipenjarakan, dan diperlakukan amat tidak manusiawi. Tapi ia menerimanya dengan sadar dan sabar. Ia yakin, bahwa hanya bila orang melihat dan mengalami sendiri jahatnya rasialisme dalam bentuknya yang paling ekstrem, mereka akan tergerak untuk berjuang. Tapi tidak, selama keadaan masih bisa ditolerir.

"Kekristenan," katanya, "menekankan bahwa salib selalu mendahului mahkota. Orang Kristen sejati mesti mau memikul salib. Kalau perlu, sampai salib itu meninggalkan parut luka yang perih. Sebab kota kebahagiaan cuma dapat dimasuki melalui jalan penderitaan".

* * *

PENGALAMAN-PENGALAMAN kongkret para tokoh iman tersebut. membuat saya mampu melihat ajaran Yesus yang "aneh" itu - "Kotbah di Bukit" - dalam terang yang baru. Dulu saya berfikir bahwa kata-kata Yesus, "Berbahagialah mereka yang miskin, yang berdukacita, yang lemah lembut, yang teraniaya", dan sebagainya itu, adalah kata-kata penghiburan bagi pengikut-pengikut-Nya yang nasibnya kurang beruntung di dunia ini.

Seolah-olah Yesus ingin mengatakan, "Sebab kalian miskin, kesehatan kalian buruk, dan hati kalian selalu berduka, maka Aku bermaksud menghibur kamu. Aku juga menjanjikan berkat untuk hidup kalian di masa mendatang. Mudah-mudahan kalian lebih lega dan merasa "enakan" sekarang".

Tapi, saudara, Yesus tidak menjanjikan sesuatu untuk masa yang akan datang saja. Ia berkata, "Berbahagialah yang ." ; bukan "Berbahagialah nanti .". Paulus juga mengalami paradoks iman itu sekarang, bukan baru nanti. "Justru dalam kelemahanlah kuasa (Tuhan) menjadi sempurna ". "Jika aku lemah, maka aku kuat" (2 Korintus 12:9,10).

Adalah reaksi yang normal dan wajar, bila orang menerima kesakitannya dengan rintihan, kegetiran, bahkan kegeraman. Karena itu, bila respon dan reaksi orang justru sebaliknya, tentu kita bertanya-tanya kepingin tahu. Apa sebabnya? Apa rahasianya?

Teologi Kotbah di Bukit, kadang-kadang disebut orang sebagai "Teologi Jungkir Balik" (= Theology of Reversal). Bagi yang sinis, sering diejek sebagai "Teologi Terbaik-balik". Tapi bukan cuma di sini Yesus mengajarkan hal-hal yang menjungkir-balikkan norma-norma yang lazim. Ia juga mengatakan, "Yang pertama akan menjadi yang terakhir" (Matius 19:30); "Barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan" (Lukas 14:11); "Yang terbesar di antara kamu harus menjadi yang paling muda; dan yang memimpin menjadi pelayan" (Lukas 22:26). Dan sebagainya.

* * *

MENGAPA ini? Apa sih istimewanya "orang-orang miskin" dan "orang-orang menderita", sehingga memperoleh tempat dan perhatian khusus dari Allah? Seorang biarawati Katolik, Monica Hellwig, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, mendaftarkan "nilai lebih" penderitaan dan kesakitan, tanpa memuja penderitaan dan kesakitan itu sendiri.

Ada sepuluh. (1) Penderitaan membuat orang menyadari kebutuhannya akan penebusan. Membuat ia terbuka untuk Injil. (2) Kesakitan membuat orang sadar akan tergantungannya kepada Allah dan kepada sesamanya yang sehat. Tapi juga saling ketergantungannya dengan saudara-saudaranya senasib. (3) Penderitaan membuat orang tidak mempertaruhkan pengharapan mereka kepada benda-benda, yang cuma memberikan kepuasan semu dan sementara. (4) Penderitaan mendidik orang untuk tidak melebih-lebihkan kemandiriannya, melainkan belajar bersikap rendah hati. (5) Penderitaan membuat orang lebih menekankan ko-operasi (= kerjasama) ketimbang kompetisi (= persaingan). (6) Penderitaan memampukan orang membedakan kebutuhan dari kemewahan. (7) Penderitaan mengajarkan kesabaran. (8) Penderitaan memungkinkan orang mengenali perbedaan antara ketakutan yang wajar dan yang berlebihan. Dan (10) Penderitaan membebaskan orang untuk merealisasikan pangilan jiwanya. Karena tidak mempunyai banyak, yang bersangkutan tidak takut kehilangan banyak.

* * *

SADARLAH saya, mengapa tokoh-tokoh iman harus dan telah melampaui begitu banyak kesakitan dan penderitaan. Sebabnya adalah, karena ketergantungan kepada Tuhan, kerendahan hati, kesederhanaan, kerjasama, ketidak-tergantungan kepada kemuliaan dunia, adalah unsur-unsur mutlak bagi spiritualitas. Kualitas yang sulit diperoleh dari mereka yang bergelimang dalam kelebihan dan kemewahan bendaniah..

Masyarakat Korintus adalah masyarakat yang memuja penampilan eksternal luar ketimbang kualitas internal. Tapi masyarakat mana sih yang tidak? Toh Paulus bangga dengan "kelemahan"nya. Menjadikan salib sebagai pusat pemberitaannya-salib, yang dianggap "kebodohan" dan "kelemahan".

Sejarah hidupnya sendiri telah mengajar dia mengalami, betapa kesakitan dan penderitaan adalah wahana yang efektif bagi anugerah Allah. Jika aku lemah, maka aku kuat. Semakin kita menyadari kelemahan kita, semakin kita akan mencari Allah. Dan semakin kita bergantung kepada-Nya, semakin kuat Ia akan mendekap kita.