SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Janji
Oleh Eka Darmaputera

"JANGAN MENYEBUT NAMA TUHAN, ALLAHMU, DENGAN SEMBARANGAN". Hukum ini mengecam keras-bahkan mengutuk-semua bentuk ucapan dan tindakan yang mendegradasikan kata-kata menjadi bunyi-bunyian yang tak berharga dan tanpa makna. Ketika sumpah menjadi sampah, dan janji tinggal janji, tak kunjung tertepati.

Bukankah ini suatu peringatan yang sangat relevan, khususnya menjelang Pemilu tahun depan? Tatkala janji untuk rakyat pasti dijual obral, dan kata-kata manis mengalir deras bagaikan air bah. Tapi nyaris tak satu pun yang bisa dipegang.

Tragisnya, semua orang melihatnya, namun cuma sedikit saja yang nuraninya terganggu karenanya. Janji yang tak terpenuhi itu kian dianggap barang lumrah.

Tapi kini, mengapa "janji" yang begitu murah di mata manusia-begitu mudah dilupakan, semudah ia diucapkan-bagi Allah adalah sesuatu yang serius? A serious business? Jawabnya: sebab Allah sendiri selalu serius dengan firman-Nya. Bagai "merpati", Ia tak pernah ingkar janji. Dan mengenai ini, semua orang beriman pasti mengamini.

"Ia ingat akan firman-Nya yang kudus," demikian kesaksian seorang pemazmur (Mazmur 105:42). "Ia tidak akan melupakan perjanjian yang diikrarkan-Nya," begitu kita baca dalam Ulangan 4:31. Dan Salomo, ketika melantunkan puji-pujiannya pun berkata, "Terpujilah Tuhan yang memberikan tepat seperti yang difirmankan-Nya . tidak ada satu pun yang tidak dipenuhi" (1 Raja-Raja 8:56). Kadang-kadang karena terasa lamban, kita meragukannya. Namun kata Petrus, "Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun orang menganggapnya (demikian)" (2 Petrus 3:9).

* * *

MENEPATI janji adalah sesuatu yang sangat sentral dalam iman Israel, dan seharusnya begitu juga dalam iman kita. Mengapa? Karena bentuk atau "format" hubungan antara Allah dan umat-Nya, adalah "hubungan perjanjian"; "hubungan kontrak".

Di mana yang satu punya kewajiban-sebab itu juga punya hak-terhadap yang lain, secara timbal-balik. Nah, wajar sekali, bukan, bila menepati janji menjadi bagaikan urat nadi bagi kelangsungan hubungan kedua belah pihak?

Kepada Abraham, Allah berfirman, "Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun temurun, menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu". Tapi ini tidak "gratis". Ada konsekuensinya. "Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun temurun" (Kejadian 17:7,9)

Pola hubungan seperti ini berlaku pula baik dalam perjanjian yang Ia buat dengan Israel, maupun dengan kita. Melanggar janji, berarti melecehkan Sang Mitra Perjanjian. Sebaliknya, menepati janji adalah wajib. Ini meliputi baik janji yang kita buat dengan dengan Allah, maupun dengan sesama kita. Setiap janji adalah suci. Dan menepatinya, itu mesti.

* * *

DI SEPANJANG perjalanan hidup setiap orang, pasti 1001 macam janji telah dibuat. Dari yang besar, sampai yang kecil. Dari yang resmi pakai akte notaris, sampai yang tidak tertulis. Dari janji kepada orang lain, sampai janji terhadap diri sendiri. Dan di sepanjang jalan itu pula, bila orang menengok ke belakang, akan jelas sekali kelihatan betapa kotornya jalan-jalan itu. Kotor oleh "sampah" dan "limbah", yang bernama "Janji-janji Yang Tak Tertepati". Broken promises.

Kita berjanji untuk melakukan ini, untuk melihat itu, untuk berada di sini, untuk pergi ke situ. Tapi berkali-kali, bahkan setiap kali, janji-janji itu tidak pernah terpenuhi. Lebih celaka, memikirkannya atau mengingat-ingatnya pun kita tidak.

Hidup berjalan seperti "biasa", seolah-olah tak pernah ada janji apa pun kita ucapkan. Apa lagi, orang pun merasa tidak perlu lagi menagihnya. Sebab, bukankah janji dibuat untuk dilanggar?

* * *

ADA janji yang terselip di setiap kontrak kerja yang dibuat. Si pemberi kerja berjanji memberi gaji dan fasilitas-ini, ini, ini. Di pihak yang lain, si penerima kerja berjanji untuk melakukan bagi perusahaan-ini, ini, ini. Semuanya fair dan transparan. Jelas dan terbuka. Tak ada unsur paksa memaksa. Begitulah kelihatannya.

Tapi benarkah begitu? Bila benar begitu, mengapa ada begitu banyak kecurangan? Di mana pengusaha mengeksploitasi buruh-buruhnya. Dan buruh merongrong perusahaannya. Jawabnya: karena janji yang tidak ditepati! Sejak awal, perjanjian memang dibuat dengan niat tidak bersih. Maksud saya, tidak dengan niat merealisasikannya, tetapi sebaliknya bagaimana mengingkarinya, dengan memanfaatkan "loop-holes" yang ada.

Pengusaha berusaha membayar serendah-rendahnya ("Bila Anda tidak bersedia, silakan cari perusahaan yang lain saja!"). Sementara para pekerja bermalas-malasan, mencuri apa saja begitu ada kesempatan ("Di sini gaji kecil, tapi 'sabetan'nya bung!").

* * *

SECARA teknis, tidak ada tempat lain di mana janji berhamburan, kecuali di ruang pengadilan. Di tempat di mana kebenaran dicari, dan keadilan ditegakkan.

Di situ ada pembela yang menjamin agar hak-hak terdakwa diindahkan. Ada jaksa yang menuntut agar kebenaran ditegakkan, kejahatan dihukum setimpal, dan hak-hak korban dibela. Dan kemudian ada hakim, yang-atas nama Tuhan-menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan yang sebenar-benarnya.

Semuanya-termasuk para saksi-menjalankan peran yang berbeda-beda, tapi tujuannya sama: mengungkap kebenaran, seluruh kebenaran, dan tiada yang lain kecuali kebenaran. Telling the truth, the whole truth, and nothing but the truth.

Tapi mengapa-seperti terjadi dalam praktik sehari-hari-ruang pengadilan justru menjadi tempat di mana ketidak-adilan dipamerkan, di mana kebenaran dipalsukan, dan keadilan diperjual-belikan-dengan malu-malu maupun terang-terangan? Jawabnya: karena janji dan sumpah telah menjadi sekadar proforma!

Siapa berani mengatakan tidak ada sumpah yang dilanggar, ketika bagi orang-orang besar dan orang-orang kaya berlaku prinsip "asumsi tidak bersalah", sementara para penjahat "kelas teri" sudah dijatuhi mati, bahkan sebelum sempat dibawa ke kantor polisi?

* * *

ADA janji suci lain yang juga sering dikhianati. Dan itu-apa lagi kalau bukan-ikrar pernikahan?! Padahal, di depan altar atau di bawah mimbar, sewaktu ikrar itu diucapkan! Aduhai! Begitu meyakinkan. Begitu mengesankan.

Bagi kebanyakan orang,-baik yang kebanyakan maupun yang kekurangan uang-yang paling memusingkan kepala bila mau menikah, konon, adalah: bilamana, di mana dan bagaimana janji akan diucapkan. Hari apa merupakan hari baik? Lokasi mana paling eksotik dan menarik? Dan bagaimana caranya: di darat, laut atau udara? Pendek kata, yang se-impresif mungkinlah!

Tetapi mengapa pernikahan, yang awalnya begitu cermat direncanakan, dan yang perjalanannya dibekali segudang doa dan harapan, kadang-kadang tak mampu berumur panjang? Penyebabnya yang paling umum adalah, karena seluruh enersi seringkali cuma tertuju pada bilamana, di mana dan bagaimana janji akan diucapkan. Akibatnya, tak cukup lagi daya tersisa untuk melaksanakan janji itu sendiri!

Tambahan lagi, ketika yang bersangkutan telah kembali ke rutinitas kehidupan sehari-hari-ah, mana ia ingat janji apa yang pernah ia ucapkan. Seperti janji-janji lain, ikrar pernikahan pun, begitu mudah diucapkan, begitu mudah dilupakan.

Padahal janji pernikahan, bukanlah janji yang "sekali jadi". Janji pernikahan adalah sesuatu yang mesti terus-menerus diperbarui-setiap hari! Sebab juga setiap hari, daya tahan pernikahan itu diuji.

Banyak orang mengeluh, kecewa, dan putus asa, sebab pernikahannya tidak berjalan seperti yang ia impikan, dan mitra hidupnya tidak se-ideal yang ia harapkan. Bila Anda tengah merasakannya sekarang, o, saya memahami betul pergumulan Anda. Sungguh tidak nyaman!

Tapi Anda tak punya pilihan lain. Anda juga tak punya opsi mundur. Sebab sejak awal-mudah-mudahan sekarang Anda mengingatnya kembali-Anda telah berjanji untuk tetap sehidup-semati! Dalam suka maupun duka; dalam sehat maupun sakit; dalam kelimpahan maupun kekurangan-sampai maut sendiri memisahkan. Bukankah itu yang Anda ucapkan?

Jadi, mengapa baru menyesal sekarang? Perceraian, saudaraku, mungkin salah satu jalan keluar, tapi bukan jalan keluar yang baik! Yang lebih baik adalah, konsentrasikan seluruh daya Anda untuk mempertahankan hidup pernikahan Anda, bukan melepaskannya! Soal gagal, itu urusan nantilah. Untuk sekarang, biar satu saja yang Anda risaukan, yaitu bagaimana memenuhi janji pernikahan Anda.

Semua yang saya katakan itu-bahkan hal-hal yang tidak sempat saya katakan-ingin memperlihatkan satu kenyataan yang tak terbantahkan. Yaitu, betapa titah Tuhan tak pernah usang dimakan zaman! Titah ketiga ini mengingatkan kekudusan setiap janji yang ducapkan, serta mengutuk penghujatan melalui kata-kata, janji, dan sumpah yang diucapkan dengan sembarangan.