SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Jangan Mencuri Oleh Eka Darmaputera SELAMAT datang! Anda baru saja tiba di awal wilayah penjelajahan yang baru! Wilayah itu adalah hukum Tuhan yang berbunyi, JANGAN MENCURI. Perintah ini, dalam Dasa Titah, berada di nomor urut delapan. Nomor dua dari bawah. Dalam permainan bulu tangkis, istilahnya "last two". Tinggal dua poin lagi sebelum "gim". Toh meski begitu, perintah ini jangan sekali-kali Anda anggap remeh atau sepele belaka. Dosa "mencuri" sama sekali tidak lebih ringan, dan tidak pula kurang seriusnya, dibandingkan dengan dosa-dosa lain yang "peringkat"nya lebih "tinggi", seperti "membunuh" atau "berzina". Pada waktu saya mempersiapkan naskah ini, orang sedang ramai-ramainya mempergunjingkan soal "korupsi". Ini, antara lain, gara-gara NU dan Muhamadiyah sepakat melahirkan "Gerakan Anti Korupsi". Dan Magnis Suseno, dalam salah satu ceramahnya, mengatakan, bahwa bangsa kita sedang meluncur dengan deras ke jurang kehancuran, sebab gagal mengatasi korupsi. Setahun yang lalu sebenarnya saya juga sudah me-nulis, bahwa untuk pemilu mendatang ini, tak perlulah kita mencari pemimpin yang hebat dalam banyak hal, atau ahli dalam banyak bidang. Juga tidak terlalu penting, apakah calon pemimpin itu "islam" atau "nasionalis"; "sipil" atau "militer"; "jawa" atau "bukan Jawa". Yang penting adalah, ia mesti bersih dari korupsi, serta berkemauan teguh memberantasnya. Kalau perlu, tulis saya setengah berkelakar waktu itu, kontrak saja Lee Kuan-Yew untuk memimpin negeri ini, misalnya, selama lima tahun! MENGAPA saya begitu "ngotot"? Tidak lain adalah karena keyakinan saya, bahwa bagaimana pun berhasilnya kita dalam banyak hal, tapi kalau kita gagal dalam memberantas kejahatan yang satu ini, maka semua sukses tersebut akan menguap sia-sia. Ibarat menadah air dengan ember bocor -- ya kapan penuhnya? Bahkan bila kita benar-benar mau menangkal terorisme, salah satu syarat pokoknya juga adalah: lenyapkan korupsi! Mengapa? Karena merajalelanya korupsi itulah yang memperlebar jurang ketidak-adilan, dan menusuk perasaan serta melukai hati banyak orang. Mereka yang "terluka" serta "kecewa" inilah, yang mudah sekali direkrut oleh kelompok-kelompok radikal, yang gigih menjanjikan perubahan. Tentu saja mereka tahu, bahwa perubahan saja tidak menjamin bahwa keadaan pasti akan menjadi lebih baik. Tapi, bagi mereka, lebih baik ada kemungkinan perubahan, ketimbang tidak sama sekali. ITULAH secara ringkas, seriusnya "korupsi" itu. Dan apakah hakikat "korupsi" itu, kalau bukan "mencuri"? Barclay mengkategorikan titah "JANGAN MENCURI" sebagai "basic commandment" - sebuah "titah dasar". Artinya, seperti halnya pada sebuah bangunan, bila hancur "dasar"nya, maka ambruk pulalah seluruh strukturnya. "Jangan mencuri" adalah syarat mutlak bagi terselenggaranya suatu kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Ini mudah sekali dibayangkan, bukan? Sebab bagaimana mungkin sebuah masyarakat dapat tetap lengket menyatu, mampu memelihara "kohesi" serta integrasi sosialnya, bila warganya "maling" semua? Bagaimana mungkin mereka hidup bersama, apa lagi menjalin kerja sama? Titah ini, dalam alkitab, sering diulang-ulang, untuk menegaskan betapa seriusnya Allah akan dosa yang satu ini Baca, misalnya, Imamat 19:11 dan Ulangan 5:19. Laknat Tuhan pasti akan turun, bila para pencuri dibiarkan leluasa melakukan kejahatannya (Zakharia 5:3). Dan menurut hukum Tuhan, bila pencuri-pencuri itu masih ingin hidup, maka yang pertama yang harus mereka lakukan, adalah mengembalikan apa yang mereka curi (Yeheskiel 33:15), plus dendanya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menurut saya, pantas belajar dari ketentuan-ketentuan Taurat. Prinsip yang paling menonjol di sini adalah, bagaimana menjamin para korban kejahatan memperoleh kompensasi yang layak, dan para pelaku kejahatan mendapatkan hukuman setimpal atas tindakan mereka. Fair, bukan? Sama sekali tidak cukup, bila seorang pejabat korup, serta merta perkaranya dianggap beres, hanya karena ia telah mengembalikan hasil korupsinya. Wah, enak benar! Dalam Keluaran 22:1-4 disebutkan, bila seekor kambing atau sapi dicuri, maka pencurinya harus membayar kembali lima sapi dan empat kambing. Dan bila ia tak mampu membayarnya? Diri si pencuri itulah yang harus dijual sebagai pembayar utang. Amsal 6: 31 malah menyebutkan hukuman yang lebih berat, yaitu mengembalikan "tujuh kali lipat". Dan untuk jenis pencurian tertentu, hukumannya malah tidak kurang dari hukuman mati. Yaitu, bila yang "dicuri" itu -- atau, lebih tepat, "diculik" - adalah manusia (Keluaran 21:16; Ulangan 24:7). PADA zaman moderen ini, harus kita akui, "kesempatan" - dan karena itu "godaan" -- untuk "mencuri" terbuka lebih lebar. Sebaliknya, kesadaran orang akan keseriusan "dosa mencuri" justru terus menurun. Hukuman yang amat berat - bahkan jauh lebih berat dari semestinya - saya akui, memang kadang-kadang dijatuhkan. Tapi korbannya selalu adalah "orang-orang kecil". Dihajar atau dibakar ramai-ramai. Ini, menurut penilaian saya, lebih merupakan pelampiasan amarah masyarakat, terhadap ketidak-seriusan dan ketidak-becusan aparat hukum menghadapi para koruptor besar, ketimbang kesadaran para pengeroyok itu akan seriusnya "dosa mencuri". Masyarakat memendam rasa marah, karena koruptor-koruptor ini - dengan alasan "asumsi tak bersalah"-lah atau karena "belum dikenai hukuman yang berkekuatan tetap"-lah - masih bisa dengan "angler"nya menikmati kebebasan mereka. Diberi kesempatan untuk menghapuskan barang bukti, atau lari ke luar negeri. Ini baru mengenai mereka yang sempat tersentuh oleh hukum. Padahal yang lebih banyak adalah koruptor yang lebih besar, tapi yang justru karena "besar"nya itu mereka seakan-akan "kebal hukum". Mereka tak perlu menyewa pembela, cukup mengalirkan "gizi". Maka aparat hukumlah, yang dengan semangat tinggi akan membela "penggede-penggede" ini. Ironis sekali! Dan sungguh menggeramkan hati. Tapi sialnya adalah, akibat orang-orang yang "kebal hukum" dan sekaligus "tebal muka" ini, yang jadi bulan-bulanan kegeraman masyarakat adalah para "kambing hitam". Yaitu, siapa lagi, kalau bukan rakyat kecil, yang tidak jarang terpaksa "mencuri" untuk sepiring nasi. DI ZAMAN modern ini, saya katakan, kesempatan dan godaan untuk mencuri terbuka lebih lebar. Di pasar-pasar atau toko-tokon swalayan, para pelanggan memilih dan mengambil sendiri barang-barang yang mereka inginkan. Dulu tidak. Barang-barang ini dulu hanya terpajang di belakang meja penjaja. Pelanggan hanya bisa menunjuk, dan si penjual yang akan mengambilkannya untuk Anda. Semua ini kini telah menjadi "barang biasa". Tanpa terasa, telah membuat kita kehilangan kepekaan kita, terhadap perasaan saudara-saudara kita yang kurang berada. Ketika mereka menyaksikan benda-benda serba menarik itu, menari-nari di depan mata mereka. Mereka bisa mengelusnya, menggenggamnya, dengan tangan mereka! Masih dapatkah kita rasakan besarnya "godaan", dan betapa "tersiksanya" mereka, sebab cuma bisa memandang dan memegang doang ? Masih dapatkah kita bayangkan, perasaan para ibu yang bayi-bayinya menangis kelaparan, tapi mereka tak mampu membeli susu? Lalu di toko-toko ini, di depan mata mereka, susu-susu kaleng dengan merek bermacam-macam, berlomba-lomba minta ditimang dan dibawa pulang. Dan bayi-bayi di gendongan mereka menangis lagi. Bagaimana kalau demi bayi mereka, maka satu kaleng saja, dan untuk satu kali ini saja, mereka mengambilnya? DI SAMPING kesempatan dan godaan yang bertambah besar, kejahatan "mencuri" sekarang juga mengambil bentuk yang kian beraneka-ragam. Sampai-sampai ketentuan-ketentuan hukum pun hampir selalu ketinggalan, tak mampu mengejar kecepatan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru. Hampir selalu ada waktu sela, di mana kejahatan dilakukan, tetapi tak dapat dituntut, karena hukumnya belum ada. Bila Anda ingin memperoleh gambaran yang jelas mengenai betapa "kreatif"nya manusia itu, di sinilah letaknya! Yakni dalam menciptakan modus kejahatan yang baru. Orang, misalnya, berbicara tentang "kejahatan kerah putih". Dinamakan demikian, karena kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang yang ber"kerah putih" dan ber"dasi". Mereka tidak mendongkel pintu atau mencongkel kaca spion. Tidak mengacung-acungkan "kapak merah" untuk merampas tilpon seluler. Tidak pula, bagaikan "bajing loncat", melompat ke truk penuh muatan, untuk menggerogoti isinya. Tidak! Berbeda dengan "penjahat kerah biru", mereka melakukan kejahatannya dari belakang meja, di ruang yang sejuk, bersenjatakan pena, tilpon dan komputer. Tapi hasil kejahatan mereka berlipat-lipat. Zaman memang telah berubah. Bentuk-bentuk kejahatan juga telah berganti rupa. Lebih "sopan" dan lebih "halus". Tapi bahayanya sebenarnya jauh lebih besar. Sebab sekarang, kita cenderung membiarkannya. Mereka yang melakukan kejahatan tanpa ketahuan, malah kita acungi jempol. Padahal membiarkan pencuri dengan leluasa melaksanakan kejahatannya, menurut Firman Tuhan, pasti mendatangkan laknat. Seperti membiarkan tikus-tikus menggerogoti dan kemudian menghancurkan sendi-sendi sendi kehidupan bersama. Merapuhkan seluruh tubuhnya. Dan mempercepat proses pembusukannya |