SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Hukuman, Bagaimana Memahaminya?
Oleh Eka Darmaputera

"JANGAN MEMBUNUH". Begitulah bunyi hukum Allah yang sedang kita bahas. Setelah menelaahnya beberapa kali, kita mendapati bahwa ternyata masalahnya bukan cuma sekadar boleh-tidaknya "hukuman mati", tapi ada masalah yang lebih mendasar lagi. Yakni masalah "hukuman " itu sendiri-mati maupun tidak mati.

Dan soal "hukuman" ini adalah "wilayah kritis", yang perlu baik-baik kita kenali. Nyaris sama pentingnya seperti mengenali tubuh sendiri, supaya orang dapat mengoptimalkan yang bermanfaat, dan meminimalkan yang mudarat.

Mengapa masalah "hukuman" saya katakan sebagai "wilayah kritis"? Sebab di wilayah inilah-lebih dari pada di wilayah-wilayah lain-pelanggaran HAM paling sering terjadi. Banyak penderitaan yang tidak perlu, mesti dialami. Dan dosa yang sebenarnya bisa dihindari, dilakukan juga-disadari maupun tidak disadari.

AH, sekiranya saja orang memahami dengan benar, apa maksud serta tujuan mulia "hukuman" itu sebenarnya! Seandainya saja orang memahami apa fungsi hukuman dalam kehidupan kita bermasyarakat, dan kemudian melaksanakannya dengan benar! Alangkah indahnya! Sayang sekali, tak banyak yang memahaminya.

Ada yang mengartikan "hukuman" sebagai tindakan pembalasan terhadap kesalahan atau kejahatan yang dilakukan orang. Makin besar kejahatan, makin berat hukuman. Saya akui, pemahaman seperti itu tidak seluruhnya salah. Pelaku kejahatan memang harus membayar mahal. Kalau perlu, mahal sekali!

Tapi bila "hukuman" adalah sekadar "pembalasan", maka mudah kita bayangkan betapa maraknya hidup di muka bumi ini oleh konflik dan balas-membalas yang tak berkesudahan. Tak ada lagi ketentraman! Tak ada lagi kenyamanan!

Para pejuang pembebasan Palestina meledakkan pusat pertokoan, untuk "menghukum" Israel sebagai "balasan" atas didudukinya Tanah Air mereka dengan semena-mena. Sebagai reaksi, tentara Israel pun segera "menghukum" (=membalas), menyerbu mereka tanpa pandang bulu. Penduduk dibantai. Rumah-rumah dibuldoser. Ruang gerak penduduk dibatasi, mereka dikurung di tanah sendiri.

Berhentikah permusuhan dengan ini? Tidak! Kekejaman hanya menyemaikan rasa dendam serta menyulut aksi-aksi "teror" berikutnya. Dan pada gilirannya, aksi-aksi "teror" ini memicu tindakan represi yang lebih sewenang-wenang.

Sampai-sampai, Yaser Arafat pun dipertimbangkan akan diisolasi, diusir atau dibunuh. Proses balas-membalas ini akan terus berpilin-pilin tanpa akhir. Ketika "hukuman" dipahami sebagai tindakan "pembalasan" semata-mata.

* * *

YANG lebih parah lagi adalah, tatkala "hukuman" dilakukan sebagai wahana pelampiasan dendam dan amarah. Walaupun kemungkinan besar, yang bersangkutan memang punya alasan kuat untuk murka. Seorang ibu berang sekali, ketika anak-tirinya menolak minum obat. Dalam amarahnya, anak itu dibentak, dicubit, dicekik, dipukul. Dan keesokan harinya, anak berusia lima tahun itu telah tergolek tanpa nyawa.

Bila "amarah" menjadi faktor paling dominan, maka hukuman adalah untuk "menyakiti". Semakin si terhukum mengerang-erang kesakitan, semakin si penghukum keasyikan. Nafsu amarahnya terpuaskan. "Tau rasa, lu!", katanya.

Lalu apa manfaatnya "hukuman"? Jawab saya: "Tidak ada". Tidak bermanfaat apa-apa, kecuali sebagai penyalur naluri "sadisme" yang tersembunyi pada kemanusiaan kita. Dan ini lebih buruk ketimbang binatang. Sebab menurut mereka yang tahu, binatang itu pantang menyakiti kecuali bila terpaksa, demi mempertahankan kehidupan.

Setelah memberikan dua contoh kecil tentang pemahaman yang salah tentang "hukuman", kini secara ringkas kita akan membahas pemahaman yang benar.

Pertama, hukuman perlu karena hukum perlu. Tidak ada masyarakat yang dapat berkembang-bahkan bertahan-tanpa hukum. Hukum adalah fondasi sekaligus perekat, yang mencegah masyarakat dari disintegrasi, yaitu hancur terserpih-serpih. Hukum melindungi yang lemah, sekaligus mencegah yang kuat dari bertindak semaunya.

Namun demikian-karena dosa-selalu saja ada kecenderungan di hati manusia, untuk melanggar dan melawan hukum. Dan di dalam kehidupan bersama, selalu saja ada kejahatan yang terjadi.

Situasi seperti ini sungguh berbahaya, karena bila dibiarkan hukum akan kehilangan wibawanya. Dan bila hukum tak lagi berwibawa, yang akan menggantikan kedudukannya adalah "hukum rimba". Alias, keadaan tanpa hukum.

Untuk mengantisipasi ini, hukum berfungsi mencegah agar yang tidak diinginkan itu tidak terjadi. Yaitu dengan "menghukum" pelanggar-pelanggar hukum. Demikianlah "hukum" dan "hukuman" merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.

Ini tidak berarti bahwa hukum itu selalu baik. O, tidak! Banyak hukum yang buruk, karena dirumuskan oleh orang-orang jahat, dan dilaksanakan oleh orang-orang jahat pula. Karenanya, hukum tidak hanya perlu ditegakkan. Tapi juga secara teratur diperbarui dan dikoreksi. Dan pelaksanaannya diawasi.

Kedua, hukuman perlu karena keadilan perlu. Sungguh tidak adil, bukan, bila dalam masyarakat, orang yang berbuat jahat dibiarkan dengan bebas menikmati hasil kejahatannya, sementara si korban kejahatan dibiarkan menangisi kemalangannya?

Setiap kali kejahatan menimbulkan korban, luka-luka yang diakibatkannya harus diobati, keseimbangan yang sempat terganggu mesti dipulihkan, dan si penyebabnya dihukum setimpal. Bila "hukum" diperlukan untuk melindungi kepentingan semua orang, maka "hukuman" diperlukan untuk melindungi kepentingan para korban kejahatan. Dengan memberikan kepada mereka rasa keadilan.

Ketiga, hukuman perlu karena kejahatan perlu dicegah. Manusia adalah makhluk pelupa. Pada satu pihak, tidak semua hal memang perlu diingat. Wah, "gudang" penyimpanan data di otak kita tentu akan segera penuh, bila semua mesti masuk ke situ. Namun demikian, di lain pihak, dalam proses "cuci gudang" seringkali terjadi, hal-hal yang seharusnya disimpan jadi ikut terbuang. Untuk hal-hal tertentu itu, manusia perlu selalu diingatkan-dari waktu ke waktu.

Hukuman adalah bentuk peringatan, agar manusia selalu ingat bahwa kejahatan mengandung konsekuensi. Nanti sekiranya Amrozi jadi dieksekusi, masyarakat diingatkan bahwa terorisme tidak dibiarkan berlalu tanpa harus membayar apa-apa. Dibutuhkan tindakan-tindakan "dramatis", agar para perencana kejahatan menjadi gentar dan ciut hati, lalu membatalkan niat mereka.

Keempat, hukuman perlu untuk pengobatan. Kita telah membicarakan, betapa hukuman diperlukan untuk melindungi kepentingan si korban. Tetapi bahwa hukuman juga diperlukan untuk kepentingan si pelaku kejahatan? Ah, apa pula ini?

Ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Totok, anak tetangga saya, misalnya, punya kebiasaan yang buruk sekali. Yaitu bermain-main di jalan yang ramai di depan rumahnya. Akibatnya entah berapa kali pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan, karena tiba-tiba harus injak rem dan banting setir, agar tidak menabrak anak itu.

Ayah dan ibunya tentu telah menasihatinya berulang-ulang. Tapi semua itu tidak mempan. Totok tetap saja bermain di jalan, kini bahkan mengajak adiknya yang baru tiga tahun umurunya. Dalam keadaan seperti ini, suatu tindakan "dramatis" perlu dilakukan. Baik demi kepentingan para pengguna jalan, maupun . demi keselamatan jiwa si Totok sendiri. Totok perlu dihukum "keras". Cukup keras untuk membuatnya jera.

Hukuman adalah itu. Ia punya dimensi pendidikan, yang kadang-kadang baru terasa efektivitasnya bila dilaksanakan dengan "keras". Itu sebabnya, dalam perspektif etika kristen, hukuman dilaksanakan bukan sebagai "pelampiasan rasa amarah" atau sebagai "pembalasan", tetapi . sebagai "ungkapan kasih"! Kasih yang menghendaki kebaikan yang dikasihi. Seperti kata Barclay, "hukuman" bersifat "remedial". Mengobati. Pahit, tapi perlu.

* * *

NAMUN demikian, akhirnya kita toh harus mengatakan, bahwa "mencegah lebih baik ketimbang mengobati". Ini, semua orang tahu. Logikanya terang benderang. Sayangnya, bukan itu yang dilakukan, bukan? Banyak kali orang tunggu dihukum, baru berhenti (sejenak) dari melakukan kejahatan.

Kita semua-kecuali yang tidak waras, tentu saja-tidak menyukai terorisme. Perintah "Jangan membunuh", dalam kaitan ini, lalu diartikan sebagai menghukum seberat mungkin pembunuh-pembunuh berdarah dingin itu.

Salahkah itu? Tidak! Tapi alangkah eloknya, bila kita tak perlu menghukum karena dapat mencegah niat jahat mereka. Misalnya, dengan menciptakan keadaan di mana orang tidak perlu "terpaksa" melakukan kekerasan. Yakni dengan menegakkan keadilan. Dengan membina suasana kerukunan yang mantap, toleransi yang sehat, serta solidaritas sosial yang kuat. Dengan menanamkan nilai-nilai kebersamaan sejak dini, melalui sistem dan proses pendidikan yang tepat-di rumah, di sekolah, di masyarakat.

Ukuran "hukum" yang sukses adalah tatkala "hukuman" tak perlu dijalankan!