SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Henoteisme, Sebuah Alternatif? Oleh Eka Darmaputera Setelah "POLITEISME", konsep yang kedua tentang keberadaan Tuhan adalah HENOTEISME. Istilah ini, saya akui, memang jarang disebut orang. Asing kedengaran di telinga kita. Tapi mengapa sih ia jarang disebut-sebut? Sebabnya ialah, karena menurut banyak orang, isinya dianggap tidak menawarkan alternatif pemikiran baru, melainkan sekadar "varian" dari konsep pertama - "politeisme". Seperti "durian Bangkok" atau "durian Petruk" adalah varian-varian "bangsa durian". Kesan tersebut ada benarnya. Tapi, seperti akan Anda lihat sendiri nanti, tidak 100 persen benar. Ada hal-hal atau nuansa-nuansa pada "henoteisme" yang eksklusif, penting dan menarik, bahkan punya dampak sosial yang jauh. Yang terlalu sayang, bila kita biarkan lewat begitu saja. Karenanya, kita akan membicarakannya. Orang-orang yang menganut "henoteisme" - berbeda dengan penganut "politeisme" - siap untuk menerima, percaya dan menyembah satu "Allah" saja. Mereka tidak beribadah kepada "Allah" yang lain, kecuali kepada yang "satu" itu. Namun demikian - berbeda dengan paham "monoteisme" -, mereka toh terbuka dan ikhlas bersedia mengakui keabsahan "Allah-Allah" lain, yaitu "Allah-Allah" yang disembah oleh kelompok-kelompok lain atau bangsa-bangsa lain. Bagi para "henoteis", "Allah" orang lain itu adalah "Allah" juga. Bukan "Allah" palsu atau apa. Cuma saja, "Allah" tersebut adalah "Allah" orang lain. "Allah"-nya; bukan "Allah"ku. "Allah" mereka; bukan "Allah" kita! Analoginya adalah seperti mengatakan, bahwa Megawati Soekarnaputri adalah presiden, tapi begitu pula George W. Bush atau Husni Mubarak atau Roh Moo-hyun. Sama-sama presiden. Tidak ada yang kita anggap kurang, tidak ada yang kita anggap lebih. Sekiranya berjumpa, kita akan menyapa para tokoh tersebut dengan sebutan "Mister President". Walaupun dengan catatan, bahwa Bush dan Mubarak dan Roh bukan presiden kita. * * * DALAM Alkitab sendiri, mungkin tanpa kita sadari, kita masih dapat membaca sisa-sisa "henoteisme" tersebut. Baca saja, misalnya, Hakim-Hakim 11:24. Ketika Yefta berusaha mencegah raja Amon menyerang Israel, "Bukankah engkau akan memiliki apa yang diberi Kamos, allahmu? Demikianlah kami memiliki segala yang direbut bagi kami oleh TUHAN, Allah kami?". Ada yang disebut sebagai "allah-mu" (yaitu, Kamos), tapi ada pula yang disebut sebagai "allah-kami" (yaitu, Yahweh). Dalam bayangan saya, orang-orang moderen pada umumnya menyukai cara berfikir "henoteisme" ini. Sebabnya ialah, karena salah satu hal yang sangat dijunjung tinggi oleh orang-orang moderen adalah apa yang disebut "privasi" ("privacy"). Sikap ini tidak lahir karena ketidakpedulian. Namun seperti setiap orang ingin dihormati "hak-hak pribadi"-nya, ia juga punya kewajiban moral untuk menghormati hak dan kebebasan pribadi orang lain. Bahwa untuk urusan-urusan tertentu, setiap orang berhak memiliki "ruang pribadi" dan "wilayah eksklusif", yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Seperti "diary" atau "buku catatan harian pribadi". * * * KARENA itu, dalam struktur masyarakat moderen ada yang disebut sebagai "ruang privat" - yang membedakannya dari "ruang publik". Yang pertama adalah "wilayah eksklusif" yang tertutup, sedang yang kedua adalah "wilayah umum" yang terbuka. Semakin moderen sebuah masyarakat, semakin luas "ruang-ruang privat"nya. Gaya hidup pribadi, kehidupan pernikahan dan keluarga, serta keyakinan agama, adalah beberapa wilayah kehidupan yang dihormati sebagai "ruang privat", yang tidak boleh dimasuki atau dicampuri oleh orang lain. Ini berbeda sekali dengan yang terdapat pada masyarakat yang "tradisional" maupun masyarakat yang "totaliter". Dalam dua tipe masyarakat yang saya sebutkan itu, nyaris semuanya menjadi "ruang publik". Di mana semua urusan menjadi urusan semua orang. Ada kekuasaan -- biasanya kekuasaan politik dan kekuasaan agama -- yang merasa berwenang penuh mengatur mulai dari potongan rambut Anda (tidak boleh gondrong); selera musik Anda (tidak boleh "ngak-ngik-ngok" atau "ngebor"); berapa orang anak paling banyak boleh dilahirkan (di RRC, cukup satu orang); partai politik apa yang boleh Anda masuki (PKI adalah partai terlarang); partai apa yang mesti Anda pilih (atau kenaikan pangkat Anda akan terhambat); mana agama yang "sah" dan mana agama yang "salah" ("Ahmadiah" itu "sesat"); dan seterusnya. Hidup jadi pengap dan menyesakkan, ketika orang tidak lagi punya ruang gerak pribadi yang bebas. Karena itu kita harus menyambut dengan gembira setiap alternatif, yang bisa menjamin "privasi" setiap orang serta otonomi dari "ruang-ruang privat", terhadap kemungkinan diganggu, dicampuri, dan didominasi oleh pihak luar. * * * "HENOTEISME" menarik, karena pada satu pihak ia memberi kesan mempunyai prinsip pribadi yang tegas. Berani mengatakan, "Allah kami cuma satu. Yaitu yang ini, bukan yang itu! "Yahweh", bukan "Kamos"!". Ia tidak -- seperti pada politeisme - terperangkap oleh relativisme. Dan lebih menarik lagi karena, pada saat yang sama, ia tetap memperlihatkan keterbukaan dan toleransi-nya. Jadi, ada keseimbangan: saya menghormati Anda, dan Anda menghormati saya. Sejalan dengan ajaran Yesus, bahwa "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Matius 7:12), bukan? Ya! Lagi pula sangat demokratis! Salah satu prinsip dasar dari demokrasi, seperti Anda maklum, adalah bahwa "kekuasaan mesti dibagi". Tidak boleh dibiarkan menggumpal dan terpusat di satu tangan. "Henoteisme" menyiratkan keyakinan yang sama. Dari sudut pandang ini, "politeisme" dianggap berpotensi menciptakan anarki dan kekacauan, sedang "monoteisme" diwaspadai sebagi berpotensi melahirkan tirani dan kesewenang-wenangan. * * * NAMUN demikian, jalan pemikiran yang amat simpatik, dan sepintas lalu memberi kesan tidak mengandung persoalan apa-apa ini, ternyata menimbulkan persoalan yang cukup serius, khususnya bila kita terapkan untuk menjelaskan tentang keberadaan Allah. Mengapa? Sebab benarlah kesan sementara orang, bahwa "henoteisme" pada hakikatnya adalah "politeisme terselubung". Ada "Allah"-ku dan "Allah"-mu; "Allah" kita dan "Allah" mereka. Yang disebut "Allah" adalah "Allah" orang tertentu, kelompok tertentu, bangsa tertentu, dan wilayah tertentu. "Allah" individual, "Allah" lokal, "Allah" nasional, "Allah" regional. Kekuatan dan kedaulatannya bisa amat besar, tapi selalu terbatas. Wilayahnya bisa amat luas, tapi selalu parokhial. Kekuasaannya bisa amat luar biasa, tapi selalu nisbi. Di sinilah, mudah-mudahan Anda dapat melihat permasalahannya. Bahwa "Allah" yang terbatas, parokhial, dan nisbi, jelas bukan Allah. Per definisi, Allah itu selalu kekal, tak terbatas, universal, dan mutlak. Henoteisme berbicara tentang "Allah", yang bukan Allah. Allah berbeda dari yang lain, bukan sekadar karena Ia "lebih" - lebih kuat, lebih dahsyat, lebih hebat - , tetapi karena Ia "berbeda". Tidak dapat dibandingkan atau disandingkan dengan apa pun. Ia "maha kuasa" (= omnipotent), "maha mengetahui" (= omniscient), dan maha hadir (= omnipresent). Mampu melakukan apa saja, mengetahui apa saja, dan ada di mana saja. Mutlak, tanpa batas. * * * BUKAN hanya secara teologis saja "henoteisme" menyimpan persoalan besar, tetapi juga secara sosiologis. Sebab konsekuensi dari cara berfikir "henoteisme" ini adalah melihat, memahami dan menata kehidupan secara fragmentaris. Bahwa hidup ini terkotak-kotak dan terbagi-bagi, di mana setiap kotak memiliki otoritas dan otonominya sendiri-sendiri. Dan "antar-kotak" tidak boleh ada intervensi, apa lagi dominasi. Sayangnya, juga tidak ada koordinasi. Apa implikasi praktisnya? Yaitu bahwa "politik" atau "ekonomi" atau "agama" atau "budaya" dipandang sebagai "zona-zona" kehidupan, yang masing-masing berdiri sendiri dengan fungsi, tujuan, mekanisme dan hukum-hukumnya sendiri-sendiri. Misalnya, tujuan "bisnis" adalah memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Tujuan "politik" adalah untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Tujuan "agama" adalah untuk beramal sebanyak-banyaknya. Fungsi-fungsi itu tidak boleh dikacau-balaukan atau dicampur-adukkan. Jangan main politik di wilayah agama. Sebaliknya, jangan mengurus politik seperti mengurus agama. Bisnis adalah bisnis - satu-satunya yang penting adalah meraup keuntungan. Jadi bekerjasama dengan siapa pun, memakai cara apa pun, mengorbankan siapa pun, asal menguntungkan ya oke-oke saja. Agama jangan ikut campur dengan berkotbah soal keadilan dan belas-kasihan dan kesetiaan, dan sebagainya! Itu hanya laku di mimbar gereja, tapi tidak di transaksi bisnis atau di dagang sapi politik. Politik mengurus urusannya sendiri, bisnis mengurus urusannya sendiri, dan agama mengurus urusannya sendiri. Akibatnya? Pada satu pihak, agama hanya akan terarah ke "sorga", tidak punya relevansi apa-apa terhadap kehidupan nyata. Pada lain pihak, politik dan ekonomi yang terpisah sama sekali dari agama, akan menghasilkan politik yang tidak bermoral dan praktik-praktik ekonomi yang tanpa etika. Praktik-praktik tersebut, secara kongkret, membuat kehidupan manusia amat menderita. Konklusi kita: "henoteisme" menawarkan alternatif yang menarik, tapi salah! |