Kepemimpinan Hamba yang Baik, Setia, dan Dapat Dipercaya
Oleh Eka Darmaputera
KAMI pernah punya seorang pelayan. Embah Kromo namanya. Atau cukup kami
panggil Embah. Ketika saya masih kecil, embah ini, dalam bayangan saya,
sudah cukup tua. Saya ingat betul sosoknya. Pendek, bungkuk, wajahnya
menyungging senyum, bibirnya merah karena sirih, dan di sudut kanan
mulutnya tembakau susur.
”Juadah ketan” dan ”srundeng kelapa” buatannya—hmmm, nyam, nyam—tak ada
tandingannya di seluruh dunia! Juga ”mangut lele” serta ”garang asem”
olahannya. Dialah si Embah yang kami sayangi bak nenek sendiri—mungkin
lebih.
Bagi kami, Embah sudah bukan ”pelayan” dalam arti yang lazim. Ia adalah
anggota keluarga. Sebagian dari kami. Karena itu—sebagai anggota
keluarga—tidak jarang, ialah yang memarahi dan menasihati kami. Bukan
sebaliknya.
Kebersamaan yang indah ini berlangsung, sampai pada suatu hari, ia minta
izin untuk pulang ke desanya. Tempat kelahirannya ini—di lereng gunung
Sumbing—nyaris tak pernah dijenguknya selama belasan tahun. Ternyata, di
situlah Embah mengakhiri hidupnya. Sampai saat terakhir, ia tak ingin
membuat kami repot.
Tatkala mendengar berita kematiannya, kami menangis. Diiringi rasa sakit
yang menghunjam. Dan pedih yang mendalam. Tak dapat kami percaya, bahwa
kami tak akan melihat Embah Kromo lagi.
TAPI apa sih persisnya yang membuat si Embah ini begitu istimewa?
Prestasi dan keterampilan kerjanya memang tidak buruk. Namun sebenarnya
juga tidak sangat luar biasa. Rata-rata saja. Yang membuat kami begitu
mencintainya dan menghormatinya, adalah KESETIAANNYA.
Konon ia mulai bekerja sebagai ”PRT” sejak kakek dan nenek saya mulai
berumah-tangga. Waktu itu, Embah pasti masih gadis belia. Ia menyaksikan
ketika paman-paman dan bibi-bibi saya dilahirkan dan mengasuh mereka
semua.
Kemudian disaksikannya pula bagaimana para bekas asuhannya itu pada
gilirannya juga beranak-pinak. Embah ikut mengasuh beberapa di antaranya,
termasuk saya dan adik saya.
Jadi ada sekitar lima puluh tahunan lebih ia menjadi bagian dari
kehidupan keluarga kami. Lima puluhan tahun, di mana ia membuktikan
dirinya sebagai ”pelayan” yang setia dan dapat dipercaya. Selama lima
puluhan tahun itu ia diuji, dan lulus nyaris tanpa cela. Ini yang
membuat ia istimewa. Amat istimewa. Tak ada duanya.
Karena itu, seandainya Anda bertanya: ”Apa yang membuat seorang
‘pemimpin’ itu istimewa?”. Jawab saya, tanpa ragu, adalah: ”kesetiaan”
dan ”kredibiltas”nya. Lalu bila Anda, belum puas, bertanya pula:
”Mengapa demikian?”. Maka jawab saya, kembali tanpa ragu, adalah: sebab
”pemimpin yang baik” seharusnya adalah ”pelayan yang baik”. Karena itu
bila seorang ”pelayan”, lantaran kesetiaan serta kredibilitasnya ia
dipuji, maka di situ pula kualitas kepemimpinan seorang ”pemimpin” itu
diuji.
Menurut Anda, ”gelar” atau ”sebutan” apa sih yang paling melegakan,
paling membanggakan, dan paling Anda dambakan, yang Anda harapkan dari
Yesus, seselesai seluruh kerja Anda di dunia?
Kalau saya, wah, alangkah berbahagia dan berbunga-bunganya hati saya,
sekiranya Yesus berkenan memberi sebutan yang sama dengan yang
diberikan-Nya, kepada orang yang dinilai telah mengelola talentanya
dengan baik.
Gelar atau sebutan apa itu? Sebenarnya sederhana saja. Yaitu, sebutan
”hamba yang baik dan setia”. ”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku
yang baik dan setia! Engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan
memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah
dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!” (Matius 25:21, 23).
”Hamba-Ku yang baik dan setia”! Gelar dan sebutan ini, bila benar-benar
keluar dari mulut Allah, aduhai, Bintang Mahaputera Kelas Utama pun jadi
seperti tak ada apa-apanya!
Dan yang lebih penting, sebutan tersebut juga menunjuk dengan jelas
kualifikasi apa yang Allah tetapkan Allah bagi seorang ”pemimpin”. Apa
itu? ”Pelayan yang baik dan setia”! ”Terampil dan mampu” memang perlu,
siapa bisa menyangkalnya? Tapi karakter, moral dan integritas pribadi
lebih perlu lagi!
PAULUS pun punya keyakinan yang sama. Bila banyak pemimpin, pendeta, dan
penginjil sekarang, rata-rata ingin jadi primadona dan selebritas,
kerinduan Paulus sangat sederhana.
Dengarlah apa yang ia katakan, ”Demikianlah hendaknya orang memandang
kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia
Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah,
bahwa mereka ternyata dapat dipercaya” (1 Korintus 4:1-2).
Wah, berapa gelintir pemimpin atau pendeta atau penginjil sekarang yang
masih demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi ”hamba yang setia
dan dapat dipercaya” merupakan dambaan utama? Yang ucapan-ucapannya
menyatu dengan dengan tindakan? Yang tak mengalami kepribadian-belah
baik sewaktu di mimbar maupun ketika berada di mana saja?
Beberapa pejabat gereja menumpahkan keluhan mereka, tentang betapa
sebagian besar waktu dan energi mereka habis tersita, untuk mengurusi
pendeta-pendeta yang bermasalah. Dan yang jumlahnya, menurut mereka,
kian bertambah.
Mengapa ini? Sebab utamanya, mudah diduga, adalah karena mereka bukan
”hamba-hamba yang baik dan setia”. Bukan ”pelayan-pelayan yang dapat
dipercaya”, tapi ”pesolek-pesolek” yang jatuh cinta berat pada diri
sendiri, atau materialis-materialis yang rakus dan gila harta. Atau
megalomania yang mabuk kuasa. Atau demagog-demagog yang fasih lidah.
Atau apa saja. Tapi jelas, mereka bukan ”pelayan-pelayan” yang baik.
Karena itu, bukan pula ”pemimpin-pemimpin” yang baik.
BEGITU kerap saya menyebut kata ”pelayanan”, tapi saya baru tersentak
sadar, bahwa ternyata saya belum menjelaskan, paling sedikit apa yang
saya maksudkan, setiap kali saya menggunakan kata-kata itu.
Perkenankanlah saya ”menebus” kealpaan itu—sekarang.
Ini perlu, sebab istilah ”pelayanan”, seperti pernah kita bicarakan, di
zaman kita sekarang, telah berkembang menjadi sebuah kata yang
manca-makna. Multi-arti.
Istilah ini dipakai mulai dari ”menyerpis mobil’ sampai ke ”menyerpis
pejabat”. Di dalam Alkitab, kata ini juga mengandung aspek, dimensi, dan
variasi makna yang beragam.
Toh bagi saya—di tengah keberagaman itu—nasihat Paulus di bawah ini,
merumuskan dengan jitu, inti atau esensi ”pelayanan” yang paling hakiki.
Tulisnya, ”(Hendaklah kamu) tidak mencari kepentingan sendiri atau
puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang
seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. Dan
janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri,
tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4).
Dari hati seorang ”pelayan” (baca: ”pemimpin”) tulen, terpancar keelokan
dan keindahan sejati dari ”kerendah-hatian”. Sebab ”kerendah-hatian”,
saudara, tidak cukup dibuktikan, sekadar hanya dengan kata-kata yang ”merendah”,
namun keluar dari hati yang pongah.
Tak cukup diperlihatkan sekadar hanya dengan kepala yang tunduk atau
jalan terbongkok-bongkok, namun dengan tangan siap menikam. Dan lebih
tidak kena lagi, bila ia coba ditunjukkan dengan sikap bermanis muka.
Bukti paling sahih dari ”kerendah-hatian” adalah ”pelayanan”. Sebab
dengan ”melayani”, kita tidak ”mencari kepentingan sendiri” atau
”popularitas diri yang sia-sia”. Sebaliknyalah, kita menempatkan ”orang
lain” di pusat kepedulian kita.
”Kepentingan” dan ”kebutuhan” orang lain kita rasakan sebagai
kepentingan dan kebutuhan kita sendiri. ”Sesama” menjadi ”lebih utama”.
Orang tidak hanya ”memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi
kepentingan orang lain juga”.
DI DUNIA ini sebenarnya kita tidak kekurangan orang yang mau
memperhatikan kepentingan orang lain. Orang-orang yang dengan niat baik
ingin menolong orang lain. Namun demikian, ini tidak otomatis membuat
kita surplus ”pelayan”. Sekadar punya niat baik dan berbuat baik, tidak
serta-merta menjadikan yang bersangkutan seorang ”pelayan”.
Mengapa tidak? Untuk menjawabnya perkenankan saya memanfaatkan sebuah
bahan refleksi karya Anthony de Mello. Tentang seekor kera yang resah
melihat ikan-ikan berenang hilir mudik di telaga di depannya. Berulang
kali ia berupaya menangkap ikan-ikan itu. Tapi hanya seekor yang
berhasil ditangkapnya.
Lalu diapakannya ikan tangkapannya itu? Ternyata ia berlelah-lelah
begitu rupa, hanya untuk akhirnya meletakkan ikan itu di atas tanah.
”Apa gerangan yang kau lakukan itu, kera sahabatku ?”, tanya kura-kura
terheran-heran. ”Aku menyelamatkan ikan ini dari tenggelam! Sayang cuma
berhasil satu ekor saja,” jawab si kera.
Kera itu berniat baik. Ia juga berusaha keras berbuat baik, tapi ”baik”
dari sudut pandangnya sendiri. Tapi tidak dari perspektif dan
kepentingan si ikan. Tak terlintas di pikirannya bahwa, berbeda dengan
dirinya, justru di airlah ikan bisa hidup dengan bebasnya.
Banyak ”pemimpin” kita yang benar-benar punya niat baik. Dan yang, saya
tahu, telah bekerja keras mewujudkan niatnya yang baik itu. Tapi karena
ia hanya berbuat banyak ”untuk” rakyat, tapi tidak ”bersama” rakyat, ia
tidak dapat disebut seorang ”pelayan” yang baik.
Dan sebab ia bukan seorang ”pelayan” yang baik, jelaslah, sayang beribu
kali sayang, ia bukan seorang ”pemimpin” yang baik. |