SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Kepemimpinan

Hamba yang Baik, Setia, dan Dapat Dipercaya
Oleh Eka Darmaputera

KAMI pernah punya seorang pelayan. Embah Kromo namanya. Atau cukup kami panggil Embah. Ketika saya masih kecil, embah ini, dalam bayangan saya, sudah cukup tua. Saya ingat betul sosoknya. Pendek, bungkuk, wajahnya menyungging senyum, bibirnya merah karena sirih, dan di sudut kanan mulutnya tembakau susur.

”Juadah ketan” dan ”srundeng kelapa” buatannya—hmmm, nyam, nyam—tak ada tandingannya di seluruh dunia! Juga ”mangut lele” serta ”garang asem” olahannya. Dialah si Embah yang kami sayangi bak nenek sendiri—mungkin lebih.

Bagi kami, Embah sudah bukan ”pelayan” dalam arti yang lazim. Ia adalah anggota keluarga. Sebagian dari kami. Karena itu—sebagai anggota keluarga—tidak jarang, ialah yang memarahi dan menasihati kami. Bukan sebaliknya.

Kebersamaan yang indah ini berlangsung, sampai pada suatu hari, ia minta izin untuk pulang ke desanya. Tempat kelahirannya ini—di lereng gunung Sumbing—nyaris tak pernah dijenguknya selama belasan tahun. Ternyata, di situlah Embah mengakhiri hidupnya. Sampai saat terakhir, ia tak ingin membuat kami repot.

Tatkala mendengar berita kematiannya, kami menangis. Diiringi rasa sakit yang menghunjam. Dan pedih yang mendalam. Tak dapat kami percaya, bahwa kami tak akan melihat Embah Kromo lagi.

TAPI apa sih persisnya yang membuat si Embah ini begitu istimewa? Prestasi dan keterampilan kerjanya memang tidak buruk. Namun sebenarnya juga tidak sangat luar biasa. Rata-rata saja. Yang membuat kami begitu mencintainya dan menghormatinya, adalah KESETIAANNYA.

Konon ia mulai bekerja sebagai ”PRT” sejak kakek dan nenek saya mulai berumah-tangga. Waktu itu, Embah pasti masih gadis belia. Ia menyaksikan ketika paman-paman dan bibi-bibi saya dilahirkan dan mengasuh mereka semua.

Kemudian disaksikannya pula bagaimana para bekas asuhannya itu pada gilirannya juga beranak-pinak. Embah ikut mengasuh beberapa di antaranya, termasuk saya dan adik saya.

Jadi ada sekitar lima puluh tahunan lebih ia menjadi bagian dari kehidupan keluarga kami. Lima puluhan tahun, di mana ia membuktikan dirinya sebagai ”pelayan” yang setia dan dapat dipercaya. Selama lima puluhan tahun itu ia diuji, dan lulus nyaris tanpa cela. Ini yang membuat ia istimewa. Amat istimewa. Tak ada duanya.

Karena itu, seandainya Anda bertanya: ”Apa yang membuat seorang ‘pemimpin’ itu istimewa?”. Jawab saya, tanpa ragu, adalah: ”kesetiaan” dan ”kredibiltas”nya. Lalu bila Anda, belum puas, bertanya pula: ”Mengapa demikian?”. Maka jawab saya, kembali tanpa ragu, adalah: sebab ”pemimpin yang baik” seharusnya adalah ”pelayan yang baik”. Karena itu bila seorang ”pelayan”, lantaran kesetiaan serta kredibilitasnya ia dipuji, maka di situ pula kualitas kepemimpinan seorang ”pemimpin” itu diuji.

Menurut Anda, ”gelar” atau ”sebutan” apa sih yang paling melegakan, paling membanggakan, dan paling Anda dambakan, yang Anda harapkan dari Yesus, seselesai seluruh kerja Anda di dunia?

Kalau saya, wah, alangkah berbahagia dan berbunga-bunganya hati saya, sekiranya Yesus berkenan memberi sebutan yang sama dengan yang diberikan-Nya, kepada orang yang dinilai telah mengelola talentanya dengan baik.

Gelar atau sebutan apa itu? Sebenarnya sederhana saja. Yaitu, sebutan ”hamba yang baik dan setia”. ”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia! Engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!” (Matius 25:21, 23).

”Hamba-Ku yang baik dan setia”! Gelar dan sebutan ini, bila benar-benar keluar dari mulut Allah, aduhai, Bintang Mahaputera Kelas Utama pun jadi seperti tak ada apa-apanya!

Dan yang lebih penting, sebutan tersebut juga menunjuk dengan jelas kualifikasi apa yang Allah tetapkan Allah bagi seorang ”pemimpin”. Apa itu? ”Pelayan yang baik dan setia”! ”Terampil dan mampu” memang perlu, siapa bisa menyangkalnya? Tapi karakter, moral dan integritas pribadi lebih perlu lagi!

PAULUS pun punya keyakinan yang sama. Bila banyak pemimpin, pendeta, dan penginjil sekarang, rata-rata ingin jadi primadona dan selebritas, kerinduan Paulus sangat sederhana.

Dengarlah apa yang ia katakan, ”Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercaya” (1 Korintus 4:1-2).

Wah, berapa gelintir pemimpin atau pendeta atau penginjil sekarang yang masih demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi ”hamba yang setia dan dapat dipercaya” merupakan dambaan utama? Yang ucapan-ucapannya menyatu dengan dengan tindakan? Yang tak mengalami kepribadian-belah baik sewaktu di mimbar maupun ketika berada di mana saja?

Beberapa pejabat gereja menumpahkan keluhan mereka, tentang betapa sebagian besar waktu dan energi mereka habis tersita, untuk mengurusi pendeta-pendeta yang bermasalah. Dan yang jumlahnya, menurut mereka, kian bertambah.

Mengapa ini? Sebab utamanya, mudah diduga, adalah karena mereka bukan ”hamba-hamba yang baik dan setia”. Bukan ”pelayan-pelayan yang dapat dipercaya”, tapi ”pesolek-pesolek” yang jatuh cinta berat pada diri sendiri, atau materialis-materialis yang rakus dan gila harta. Atau megalomania yang mabuk kuasa. Atau demagog-demagog yang fasih lidah. Atau apa saja. Tapi jelas, mereka bukan ”pelayan-pelayan” yang baik. Karena itu, bukan pula ”pemimpin-pemimpin” yang baik.

BEGITU kerap saya menyebut kata ”pelayanan”, tapi saya baru tersentak sadar, bahwa ternyata saya belum menjelaskan, paling sedikit apa yang saya maksudkan, setiap kali saya menggunakan kata-kata itu. Perkenankanlah saya ”menebus” kealpaan itu—sekarang.

Ini perlu, sebab istilah ”pelayanan”, seperti pernah kita bicarakan, di zaman kita sekarang, telah berkembang menjadi sebuah kata yang manca-makna. Multi-arti.

Istilah ini dipakai mulai dari ”menyerpis mobil’ sampai ke ”menyerpis pejabat”. Di dalam Alkitab, kata ini juga mengandung aspek, dimensi, dan variasi makna yang beragam.

Toh bagi saya—di tengah keberagaman itu—nasihat Paulus di bawah ini, merumuskan dengan jitu, inti atau esensi ”pelayanan” yang paling hakiki. Tulisnya, ”(Hendaklah kamu) tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4).

Dari hati seorang ”pelayan” (baca: ”pemimpin”) tulen, terpancar keelokan dan keindahan sejati dari ”kerendah-hatian”. Sebab ”kerendah-hatian”, saudara, tidak cukup dibuktikan, sekadar hanya dengan kata-kata yang ”merendah”, namun keluar dari hati yang pongah.

Tak cukup diperlihatkan sekadar hanya dengan kepala yang tunduk atau jalan terbongkok-bongkok, namun dengan tangan siap menikam. Dan lebih tidak kena lagi, bila ia coba ditunjukkan dengan sikap bermanis muka.

Bukti paling sahih dari ”kerendah-hatian” adalah ”pelayanan”. Sebab dengan ”melayani”, kita tidak ”mencari kepentingan sendiri” atau ”popularitas diri yang sia-sia”. Sebaliknyalah, kita menempatkan ”orang lain” di pusat kepedulian kita.

”Kepentingan” dan ”kebutuhan” orang lain kita rasakan sebagai kepentingan dan kebutuhan kita sendiri. ”Sesama” menjadi ”lebih utama”. Orang tidak hanya ”memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”.

DI DUNIA ini sebenarnya kita tidak kekurangan orang yang mau memperhatikan kepentingan orang lain. Orang-orang yang dengan niat baik ingin menolong orang lain. Namun demikian, ini tidak otomatis membuat kita surplus ”pelayan”. Sekadar punya niat baik dan berbuat baik, tidak serta-merta menjadikan yang bersangkutan seorang ”pelayan”.

Mengapa tidak? Untuk menjawabnya perkenankan saya memanfaatkan sebuah bahan refleksi karya Anthony de Mello. Tentang seekor kera yang resah melihat ikan-ikan berenang hilir mudik di telaga di depannya. Berulang kali ia berupaya menangkap ikan-ikan itu. Tapi hanya seekor yang berhasil ditangkapnya.

Lalu diapakannya ikan tangkapannya itu? Ternyata ia berlelah-lelah begitu rupa, hanya untuk akhirnya meletakkan ikan itu di atas tanah. ”Apa gerangan yang kau lakukan itu, kera sahabatku ?”, tanya kura-kura terheran-heran. ”Aku menyelamatkan ikan ini dari tenggelam! Sayang cuma berhasil satu ekor saja,” jawab si kera.

Kera itu berniat baik. Ia juga berusaha keras berbuat baik, tapi ”baik” dari sudut pandangnya sendiri. Tapi tidak dari perspektif dan kepentingan si ikan. Tak terlintas di pikirannya bahwa, berbeda dengan dirinya, justru di airlah ikan bisa hidup dengan bebasnya.

Banyak ”pemimpin” kita yang benar-benar punya niat baik. Dan yang, saya tahu, telah bekerja keras mewujudkan niatnya yang baik itu. Tapi karena ia hanya berbuat banyak ”untuk” rakyat, tapi tidak ”bersama” rakyat, ia tidak dapat disebut seorang ”pelayan” yang baik.

Dan sebab ia bukan seorang ”pelayan” yang baik, jelaslah, sayang beribu kali sayang, ia bukan seorang ”pemimpin” yang baik.